17 December 2008

Bintang di Langit Madinah

Dua puluh hari kujejakkan langkahku
Di tanahMu
Kumasuki rumahMu
Kuhampiri masjid NabiMu
Setiap detik kukagumi indahnya masjidMu, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi
Agungnya Masjidil Haram menggetarkan bathinku
Cantiknya Masjid Nabawi dengan warna yang mengingatkanku akan indahnya surgaMu

Kunikmati setiap saat yang kulalui di masjidMu Ya Rasul
Kagumi setiap ukiran dan sapuan warna pastel masjidmu yang indah
Kutahan nafas ketika kubahmu perlahan membuka lebar
Tatkala langitMu menyapa dan angin sejukMu menerpa wajah yang terkantuk menunggu panggilan shalatMu
Kukagumi langitMu yang biru dari lantai marmer Masjid RasulMu

Saat malam menjelang, kupandangi kubah yang bergeser
Membiarkan langit malam menjadi tontonan hambaMu
Kukagumi langitMu dan bulanMu Ya Allah...langit di atas Nabawi

Maafkan kelancanganku Ya Rabbi…
Tak mampu kutahan tanya hatiku
Kemana gerangan bintang-bintangMu

Dua puluh malam kulalui di tanahMu Ya Allah…
Tak kulewatkan semalam pun tanpa menengadah ke langitMu
Kemana gerangan bintangMu bersembunyi Ya Rabbi…
Tidakkah kau ijinkan mataku mengagumi indahnya malam bertabur bintang ditanahMu
Kurindu menyaksikan gemerlap bintang dilangitMu

Setiap kali kutengadah di setiap malam sesudah kembali dari MasjidMu
Setiap kali tanya hatiku bergema
Kemana gerangan bintang-bintangMu Ya Rabbi…

Maafkan aku Ya Tuhan,
Bukan maksudku tidak mensyukuri nikmatMu
Kehadiranku di rumahMu dan masjid-masjidMu
Menjadi nikmat tak terhingga bagiku, hanya…
Kurindu menatap gemerlap bintang-bintang di langitMu…
Menjelang berakhirnya dua puluh tiga hari kunjunganku di tanahMu


Genap di malam ke dua puluh dua kuhirup segarnya udara di kota RasulMu
Ketika hati ini lelah bertanya
Ketika mata ini tak lagi mencari
Kutangkap satu kerjap cahaya bintangMu di langit
Saat kunikmati kebab di pinggir taman
Kau beri aku kejutan indah
Aku tahu Ya Allah
Kau Maha Pengasih
Setelah penantianku lebih dari dua puluh malam
Kau beri aku kesempatan menikmati indahnya gemerlap bintangmu
Meski hanya satu bintang
Terima kasih Ya Allah
Telah memberiku satu bintang hiasi langit Madinah

Oleh: Nela Dusan
Madinah, 11 Jan 2007

08 December 2008

Wukuf

Hari ini aku nantikan perjumpaan denganMu
Kukenakan pakaian putihku yang terbaik
Pakaian yang kupilih sendiri untuk
Perjumpaanku denganMu di Arafah

Sebagaimana aku berjumpa denganMu di Arafah
Demikian kiranya perjumpaanku denganMu di padang Masyar kelak
Hanya pakaian putihku bukanlah pilihanku, bukan pula yang terbaik

Hari ini di Arafah kubayangkan saat pertemuan denganMu
Bukan pertemuan di Arafah
Tetapi saat pertemuan di Padang Masyar
Pada saat ampunan sirna
Pintu tobat tertutup

Ya Allah,
Jangan biarkan aku berada di luar
pada saat Kau tutup pintuMu
Kutempuh perjalanan berdebu
Untuk sampai ke tempat ini
Betapa syukurnya aku atas kesempatan yang Kau berikan padaku
Untuk mendatangimu di sini
Di Arafah

Sebelum Kau kumpulkan kami di Padang Masyar
Kau ijinkan aku menghadapMu
di Arafah
Dengan pakaian putih terbaikku
Dengan selembar sajadah
Tengadah kepadaMu
Ampuni aku Ya Allah

Betapa syukurnya aku
Bersimpuh diatas pasir berdebu
Dengan pakaian putihku yang terbaik
menghadapMu pada saat Kau bukakan pintu ampunMu dan limpahan berkahMu kepada semua mahluk yang memohon kepadaMu selagi wukuf di Arafah

Arafah, 29 Dec 2006

Oleh: Nela Dusan

05 November 2008

Perjuangan Abadi

Syukurku pada hari ini, berhasil berjumpa denganMu
Sesalku malam ini, betapa cepatnya waktu berlalu
Harus kukemas semua bawaanku keluar dari Arafah
Pakaian putih yang masih melekat, menandai pertemuan istimewa dengan Sang Tuan Rumah
Arafah, sebentar lagi kutinggalkan engkau.

Meskipun berat untuk beranjak, namun bergegas kaki bergerak menaiki kendaraan yang menunggu
Selamat tinggal Arafah, entah kapan aku bisa berkunjung lagi

Semalam suntuk menuju Mekkah untuk thawaf ifadah
Tak terbayang kelelahan para pengendara
bersabar ditengah lautan manusia dan kendaraan,
semalam suntuk di Muzdalifah
Sejak kaki ini menaiki bis, tertidur, terjaga, kembali lelap hingga terjaga lagi, sepuluh jam berlalu
Sampai jualah kami di Masjidil Haram, Rumah Allah

Pagi itu di saat Raja Arab menghadiri shalat ied
Aku terus melanjutkan tawaf ifadah dengan hati bergelora,
Dapatkah kuselesaikan rukun hajiku dengan sempurna?
Ya Allah betapa kuingin selesaikan rukun hajiku dengan sempurna

Menyudahi tujuh putaran tawaf ifadah,
Dilanjutkan dengan Sa’i
Terbayang tangisan Siti Hajar dan bayinya
Bersatu dalam tekad,
Betapa air mata dan keringat membasahi wajah
Cinta, permohonan belas kasihan dan usaha tanpa menyerah
Meluruhkan Penguasa Surga yang menyaksikan dari singgasanaNya
Cukuplah usahamu ya Siti Hajar,
biarlah Kuhadiahi engkau setetes air,
tidak hanya untuk anakmu, tetapi untuk anak dari anakmu,
cucu dari cucu-cucumu,
Sebuah sumber air yang kau sebut zamzam.

Terseok-seok langkahku, menyeret kaki yang terasa bagai menginjak paku
Ya Allah, ijinkanlah aku selesaikan Sa’i ku sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh nenek dari nenek-nenekku, Siti Hajar.
Tak ada tandingannya rasa pedih yang dirasakannya
Tidak pula rasa sakit kaki ini meski seperti diiris sembilu, aku harus mampu

Genap tujuh kali kujalani perjalanan dari Safa menuju Marwa
Genaplah rukun haji kami jalani,
Saling memotong beberapa helai rambut
Saling berpelukan memberi selamat,
Selamat menjadi seorang haji dan hajjah
Terselip perasaan haru tak terlukiskan
Setengah tidak percaya, aku telah menjadi hajjah
Beginikah rasanya berhasil menjadi seorang hajjah?
Sejenak semua rasa berkecamuk di dalam dada
Ya Allah, benarkah aku telah menjadi seorang hajjah?
Sekejap terbayang kecemasan, bagaimana aku seharusnya sebagai seorang hajjah?
Ya Allah, patutkah aku menyandang gelar hajjah?

Terbayang kembali perjuangan Siti Hajar, peluh dan tangisnya
Betapa berat perjuangannya dulu,
Kenapa aku mesti cemas sementara aku telah berkesempatan membasuh diri
Kenapa aku mesti bimbang menetapkan langkah,

Perlahan tetapi pasti, Kau kembalikan ketenangan jiwaku
Aku mantap ya Allah, aku ikhlas ya Allah melangkah mendekatiMu
Bimbinglah aku selalu Ya Rabbi, dalam hijrahku ke jalanMu

Nela Dusan
Masjidil Haram, 30 Desember 2006

04 November 2008

Sebuah Negara Tanpa Batas

Siapa bilang Amerika Serikat sebuah negara adidaya atau Inggris sebuah kerajaan yang terhebat yang bisanya menjajah tanpa berkesempatan dijajah
Jerman negara yang sukses menata harga diri diantara reruntuhan sejarah kelam atau Perancis inspirator lahirnya perjuangan menumbangkan tirani feodalisme

Siapa bilang Jepang adalah negara paling maju yang rakyatnya rajin dan giat bekerja atau Cina yang telah lama mengubur dalam-dalam impian negara tanpa kelasnya

dengan berpaling dan merengkuh kapitalisme
Singapura atau Malaysia tetangga kita yang rajin mencari peluang eksploitasi di kampung kita

Negara hanyalah nama berikut batas-batas wilayah yang teorinya harus saling dihormati
yang tidak sembarang kita bisa saling lintas batas atau seenaknya datang dan pulang
punya kepala negara yang mestinya seorang hamba sahaya rakyat, bukan sebaliknya
berdiri di atas sekeping tanah dimana ditancapkan bendera dan dikumandangkan lagu kebangsaan

Jika tahun depan kita baru menonton perebutan kursi presiden,
Hari ini Amerika menyaksikan akhir persaingan calon presiden mereka,
John Mc Cain atau Barack Obama?
Sampai terjawab, pertanyaan itu terus mengumandang
Heran, memang ada bedanya?

Langkah telah diayunkan, rencana telah terukir
Akankah Mc Cain memiliki kesehatan berpikir dan berjiwa besar menarik pasukannya dari Irak atau berkonsentrasi membenahi urusan domestiknya berbeda dari pendahulunya
Akankah Obama memiliki keberanian dan kearifan
Yang mampu membedakan antara mudharat dan manfaat

Kita sangka presiden Amerika Serikat demikian berkuasa
Satu-satunya manusia di muka bumi ini yang boleh berjalan ke sana kemari
Menginjakkan kakinya dimana dia inginkan, kecuali secuil tanah di Arab sana
Yang baru bisa diinjaknya setelah terucap kalimat syahadat dari mulut dan hatinya

Kita percaya presiden Amerika Serikat demikian berkuasa dan terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya
terbiasa dijilat pemimpin dunia kelas kambing murahan

demi menambah perpanjangan masa berkuasa
Atau sekedar memperoleh kesempatan berkuasa
Dengan bermodalkan menjual dan memeras bangsanya
Pemimpin palsu karbitan
Apakah kita yakin semua itu karena kedigdayaan seorang Presiden

Sebenarnya sudah lama peran dan kuasa presiden di suatu negara itu sirna
Digantikan oleh presiden direktur atau CEO suatu perusahaan multi nasional
yang tidak mengenal batas teritori, apakah ia didirikan di Amerika, Jepang, Jerman, Inggris atau Indonesia sekalipun

Yang memiliki pengikut di seluruh dunia melalui papan pencatat Nasdaq, Hang Seng,
yang mengeruk uang investor seluruh dunia melalui NYSE, LSE, BEI, apapun namanya
Yang memiliki perangkat undang-undang sendiri dengan apapun namanya kode etik, prinsip-prinsip bisnis yang berlaku tanpa memandang batas negara
Demi kepentingan dan keuntungan segelintir pemegang saham atau pemangku kepentingan
Yang kerap berbenturan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan
Yang seringkali berlindung dibalik kekuasaan atau terang-terangan menggunakan perangkat kekuasaan


Masihkah kita berharap banyak dari perubahan suatu pemerintahan
Kenapa mesti meributkan McCain atau Obama jika efeknya buat kemashalatan bangsa Amerika sendiri masih dipertanyakan, apalagi bagi kita

Rasuna, 4 November 2008
Nela Dusan

02 November 2008

USIA AISYAH KETIKA MENIKAH DENGAN RASULULLAH SAW

Artikel ini saya ambil dari email yang dikirim seorang sahabat. Semoga bisa memberikan jawaban atas masalah yang mungkin mengganjal hati kita sekaligus membersihkan nama nabi junjungan kita.

Wassalam,
Nela


Beberapa waktu lalu -saat saya berada di Berlin- ada yang menanyakan tentang isu kontroversi pernikahan Rasulullah saw dengan Aisyah yang masih berusia anak-anak. Pertanyaan ini terulang saat saya mengisi sebuah acara LBT PWK PII Mesir, Senin, 27 Oktober 2008, saat saya mempresentasikan renungan menapaki jejak Rasulullah saw. Saya jadi ingat bahwa pertanyaan seperti ini bukan yang pertama kali. Saya juga pernah mendiskusikannya dengan istri saya. Setelah saya cek lagi dalam computer saya, alhamdulillah saya menemukan sebuah file yang mungkit bermanfaat untuk menjawab kontroversi pernikahan tersebut. Mengingat hari-hari ini isu ini muncul kembali dengan adanya praktik pernikahan seperti ini dengan bersandarkan dalil dari hadits Rasulullah saw tersebut. Semoga bermanfaat
Wassalam
Saiful Bahri
Cairo, 29.10.2008
Dari milist: Forum_LingkarPena: Sep 16, 2005-10:44 am
Terjemahan dari artikel berbahasa Inggris, dari : The Ancient Myth Exposed, by T.O. Shanavas, di Michigan. (c) 2001 Minaret. From The Minaret Source: http://www.iiie.net/
USIA AISYAH KETIKA MENIKAH DENGAN RASULULLAH
Seorang teman beragama Kristen suatu saat bertanya kepada saya, ”Akankah Anda menikahkan saudara perempuan Anda yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?” Saya terdiam. Dia melanjutkan,”Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa Anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi Anda?” Saya katakan padanya, ”Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan Anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya.
Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah.Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan seperti itu.
Nabi merupakan manusia tauladan. Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita, muslim dapat meneladaninya. Bagaimana pun, kebanyakan orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, tak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua tersebut.
Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur dibawah 18 tahun , dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam organisasi-organisasi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima.
Jadi, saya percaya, tanpa bukti yang solid pun selain perhormatan saya thd Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis brumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar adanya. Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya. Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tsb sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisyam ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun.

BUKTI #1: PENGUJIAN TERHADAP SUMBER
Sebagaian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadits yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari Bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga.
Adalah aneh bahwa tak ada seorang pun yang di Madinah, di mana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Madinah termasuk yang kesohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini.Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisham tinggal disana dan pindah dari Madinah ke Iraq pada usia tua.Tahzibu at-Tahzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : ”Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq” (Tahzibu at-Tahzib, Ibn Hajar Al-`Asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).
Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: ”Saya pernah diberitahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tahzibu at-Tahzib, IbnHajar Al- `Asqala’ni, Dar Ihya al-turath al-Islami, Vol.11, p. 50).
Mizanu al-I`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup para periwayat hadist Nabi saw mencatat: ”Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanu al-I`tidal, Al-Dzahabi, Al-Maktabatu’l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).
KESIMPULAN: berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah jelek dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.
KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam:
pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama dan Abu Bakar menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad saw mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Madinah al-Munawwarah
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah

BUKTI #2: MEMINANG
Menurut Thabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun.Tetapi, di bagian lain, At-Thabari mengatakan: ”Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya” (Tarikhu al-umam wa al-muluk, At-Thabari (died 922), Vol. 4,p. 50, Arabic, Dara’l-fikr, Beirut, 1979).
Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan At-Thabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613 M, Yaitu 3 tahun sesudah masa jahiliyah usai (610 M).
Thabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikahi. Intinya: Thabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya.
KESIMPULAN: Al-Thabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.

BUKTI # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah
Menurut Ibn Hajar, ”Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah” (Al-isabah fi tamyizi ash-shahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978).Jika statement Ibn Hajar adalah faktual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.
KESIMPULAN: Ibn Hajar, Thabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar.

BUKTI #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’
Menurut Abdur Rahman ibn Abi Zannad: ”Asma lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah” (Siyar Al-a’lam An-nubala’, Al-Dzahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-risalah, Beirut, 1992).Menurut Ibn Kathir: ”Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]” (Al-Bidayah wa an-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr al-`arabi, Al-jizah, 1933).
Menurut Ibn Kathir: ”Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau bebrapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun” (Al-Bidayah wa An-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr al-`arabi, Al- jizah, 1933)
Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: ”Asma hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 atau 74 H.” (Taqribu At-tahdzib, Ibn Hajar Al-Asqalani, p. 654, Arabic, Bab fi’l-nisa’, al-harfu’l-alif, Lucknow).
Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (622M).Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah berumah tangga.
Berdasarkan Ibnu Hajar, Ibn Katir, dan Abdur Rahman ibn Abi Zannad, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun.
Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar ? 12 atau 18..?
kesimpulan: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.
BUKTI #5: Perang BADAR dan UHUD
Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim (Kitabu al-jihad wa as-siyar, Bab Karahiyati al-Isti`anah fi al-Ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu momen penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: ”ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.
Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu al-jihad wa as-siyar, Bab Ghazwi an-nisa’ wa qitalihinna ma`a ar-Rijal): ”Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].”Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr.Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu al-Maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b): ”Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.”
Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud
KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.
BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)
Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: ”Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan (Sahih Bukhari, kitabu at-tafsir, BabQaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr).
Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. Jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah n Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon). Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikahi Nabi.
Kesimpulan: riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun.
BUKTI #7: Terminologi Bahasa Arab
Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya ttg pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: ”Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya ttg identitas gadis tsb (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.
Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah.
Bikr disisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaiaman kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin“.
Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p.210,Arabic, Dar Ihya al-turath al-`arabi, Beirut).
Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah ”wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya.
BUKTI #8. Teks Qur’an
Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?
Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri sendiri.
Ayat tsb mengatakan : ”Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?” (Qs. 4:6)
Dalam hal seorang anak yang ditinggal orang tuanya, Seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.
Disini, ayat Qur’an menyatakan ttg butuhnya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka.
Dalam ayat yang sangat jelas di atas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, gadis tsb secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambi tugas sebagai isteri. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun.
Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan,”berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?” Jawabannya adalah Nol besar. Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?
Abu Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua. Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur’an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Quran.
Kesimpulan: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karean itu, cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.
BUKTI #9: Ijin dalam pernikahan
Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan sebuah pernikahan.Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan.
Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan menanggapi secara keras ttg persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun.
Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadits dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.
Kesimpulan: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami ttg klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik.
SUMMARY:Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun. Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah saw dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernah keberatan dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat.
Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable. Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.
Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.

http://saifulelsaba.wordpress.com/2008/10/29/usia-aisyah-saat-dinikahi-rasul-saw/

Diterjemahkan oleh : cahyo_prihartono.

28 October 2008

Has Shock Doctrine Found Its Way Home?



We have been presented so many stories and facts about global financial crisis which was said initially rooted in subprime credits provided loosely in the United States. I have read in some websites explaining about what subprime credit means. Principally subprime credit means a credit provided by US mortgage banking to group of debtors called NINJA. In this case Ninja has no relationship to what we know as Japanese Ninja. NINJA stands for No Income No Job and No Assets. So evidently, the banking industrialists in US, especially the ones engaging as mortgage banks have committed irresponsible banking practices, i.e., evidently violated the 5C banking principles which every economy school student must have known. Anyway, subprime credit only one of many other causes of the financial market crisis in US and now global financial market.


Antony Mueller, founder of the
Continental Economics Institute said:
“The current economic disaster is the result of the combination of negligence, hubris, and wrong economic theory. For decades, an economic and monetary policy has been practiced based on the illusion of, "It doesn't matter." At first it was, "Deficits don't matter." From that, the policy of "it doesn't matter" got extended to money creation, the credit expansion, the stock-market bubble, and the housing boom. Now, we're being told that buying financial junk by the central bank to beef up banks and brokerages also doesn't matter.”


I am interested in finding the real cause of this financial market crisis. For I am neither a financial expert nor an economist, I tried to find all the information here and there. One of the references that really impressed me was a book written by Naomi Klein titled Shock Doctrine. This situation is exactly described well in her book. The difference is on the crisis spot, if most of the crisis detailed in the book happened in almost every place other than United States, now, it happened right in the core of the USA.


To me, this crisis is rooted from the combination of greediness, laziness, stinginess and selfishness. I am a believer of a theory where money and prosperity can be generated only by employment, people economic. The more employments, the better. As we may not forget that most people are living in sub-poor to middle class society, no exception for Indonesia or USA. No country on earth is able to eliminate poor level society to zero percent. I do not believe in money work mechanism as normally applicable under capitalism (which I suspect referred to as wrong economic theory by Antony Mueller) where the money put in the bank and let other people use the money somewhere and we receive handsome interest payment regularly.


To gain something we have to work, no doubt about it. It is the obligation of Government in every country to provide employment to its people. Now, what we can expect in Indonesia, no significant infrastructure has been developed. How can people generate income if they do not have work to do? No wonder criminal cases are increased, most drugs related business are very tempting to desperate people in this kind of situation.


After the cold war era, most countries have changed their faces from pink or red color regime to capitalist regime of economy. Under the capitalist regime as dreamt and urged by Milton Friedman, the guru of Chicago School Economy, the economy will find its balance if there is no intervention whatsoever from government. This idea has inspired the trend of privatization all over the world, affected and dictated by Friedmanist cronies, known as Chicago Boys in South part of America or popular as Berkeley Mafia here in Indonesia, of course.


It is hard for me to understand as to why we should accept the idea that privatization is the solution to the crisis while we all know that many of those state companies being privatized were money machines that support state finance. Anyway, I am just pretending naively, of course the more privatizations, the more controls those sharks will hold. The sharks called multi national companies. Of course there is interesting upside of certain amount of commissions for brokers known as international investment banks or more like piranhas. It is all about money, nothing else.


It is so ironical, that last time we have financial crisis in 1998, IMF has eventually successfully pushed some kind of financial rescue package or known as ‘structural adjustment’ which includes deregulations in investment law, tightening of monetary policy, deduction of subsidy and privatization of state owned companies. Many of our important and strategic state companies have been privatized, including banking sectors. Now we will see when those private sectors suffered from huge bad debts, it might be the time for government to step in, bail out the debt. Perhaps, when those companies become healthy again, then there will be another design to take over them by international private companies.


During my office at IBRA doing some debt restructuring before finally selling them off, I witnessed that the financial crisis in Indonesia and most Asia countries have weakened our economy which then weakened the political position of Indonesian government at that time. IMF showed up as the ‘hero’ in providing a loan to rescue the situation. Anyway, it came not without something. In line with shock doctrine theory the IMF saw the crisis as the opportunity to apply the theory in practice, such as deregulations in investment law, removing trade barriers, minimizing government interference in market, cutting out subsidy or lowering social spending and privatization.


Given the experience in 1998, I started to think maybe this time IMF will drop by to the United States and lend its powerful hands to the US government, with the cost and implications of course to be borne by lowest level of society in the USA. It will be interesting to observe how IMF will work its ‘structural adjustment’ in its homeland. Will it have a heart to hurt people of the country which have supported it since the beginning? or is it just another bad luck for American people, just as happened to us in Indonesia.


I think it is not totally untrue what Antony Mueller said:
“The current financial crisis is not of a cyclical nature. The financial turmoil is the symptom of the structural imbalances in the real economy. Over decades, expansive monetary policy has gone hand in hand with implicit and explicit bailout guarantees, and this has distorted the process of capital allocation. Under such perverted conditions, those investors will win most who cast away the restraints of prudence. It is a game that can go on for a long time — up to the point when the irrationality has become systemic.”


Is it really the phenomenon of the downfall of capitalism or is it the domino effects that ‘certain people’ wish to get in the end? We will find out later.




By: Nela Dusan (Gusnelia Tartiningsih)
Rasuna, 13 October 2008

27 October 2008

In memoriam Ibu Retty Surjanah

Innalillahi wa innailaihi rojiun...

Baru kemarin siang kita semua alumni SMA Negeri 31 angkatan 87 ketemu menyambung silaturahmi, sempat terselip percakapan dengan beberapa teman yang menyebut nama almarhumah, bahkan Sri sempat bercerita menanyakan sesuatu kepada ibu Syafrida mengenai almarhumah, meskipun sempat terbersit keingintahuan tapi entah kenapa pertanyaan itu tidak terucap. Kenapa dengan ibu Retty? Sakitkah atau ada hal lain? Sungguh tidak sampai lidah ini bertanya.

Hari ini saya baca email dari Jack, ibu Retty sudah tiada. Ibu Retty punya tempat tersendiri di hati saya, sejenak memori melambung kembali ke tahun 86-87, seperti putaran proyektor. Ada saya dengan seragam putih abu2, terkadang (sering sebenarnya) dengan Umar (semoga masih ingat ya Mar), berdiri berhadapan dengan beliau, dengan pertanyaan yang sama, jawaban yang sama dan hukuman yang bervariasi. Semua dengan kesalahan yang itu-itu juga, selalu terlambat.

Bagi saya saat itu, kepala sekolah kita itu jauh dari tokoh ideal seorang guru yang memenuhi kriteria kita pada jaman itu. Orangnya kaku, galak, sangat disiplin (apalagi buat saya yg sangat serampangan saat itu), lurus, to the point, tidak menganggap popularitas sekolah sesuatu yang penting dibangun, seperti halnya dia tidak menganggap penting menjadi populer atau tidak di mata anak didiknya.

Lihat apa yang sudah dia lakukan untuk SMA 31 saat itu, khususnya tahun angkatan kita, pencapaian yang sampai saat ini masih saya rasakan fantastis, terutama untuk ukuran sekolah yang berlokasi di pelosok seperti itu lebih dari 170 anak mendapat tempat di berbagai universitas negeri dan STAN. Bahkan barangkali jumlah anak 31 yang masuk FHUI pada tahun 87 merupakan jumlah terbanyak, melebihi sekolah2 ngetop lain di Jakarta ini. Tapi, kita tidak terbiasa menyombongkan diri di luar (barangkali karena tidak tahu caranya), kita terbiasa diajarkan bersikap sederhana, sesederhana kepala sekolahnya. Saya kira ibu Retty secara diam-diam telah mengajarkan kepada kita semua mengenai kesederhanaan dan kesahajaan sikap. Tanpa kata-kata beliau mengajarkan kita melalui contoh, sikap hidupnya sendiri, ntah saya yang kuper atau tidak update informasi, tapi yang jelas saya tidak pernah mendengar selentingan atau gosip apapun mengenai komersialisme atau konsurmerisme dalam kehidupannya, tidak selama yang saya kenal beliau.

Kita adalah anak-anak sekolah 'kampung' yang mampu berdiri sejajar dengan anak-anak jebolan sekolah top dimanapun dibelahan lain di Jakarta ini. Meskipun memiliki kepala sekolah yang sangat keras, namun saya tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa masa tiga tahun saya di SMA 31 merupakan salah satu masa dalam hidup ini yang ingin saya kenang sampai saya jompo nanti, dan pasti ibu Retty, tokoh sentral kehidupan saya saat itu, tidak akan lepas dari pembicaraan saya. Selamat jalan ibu Retty Surjanah, semoga Allah mengampuni dosa dan kekhilafan Ibu dan menerima semua amal ibadah Ibu yang tulus. Amin.

23 October 2008

Simple Philosophy of the Pencil




Nice analogy. I love it. This comes from the book written by Paulo Coelho, Like the Flowing River. I really love reading one of the chapters. It's about the philosophy of pencil which was told by a grandma to her grandson. The following is not an exact excerpt, but it is taken from the book.

Here we go.



Pencil has five qualities which, if we manage to hang on to them, will make each of us a person who is always at peace with the world. They are:

First quality: like pencil, we are capable of great things but we must never forget that there is a hand guiding our steps. We call that hand God. He always guides us according to His will.

Second quality: now and then, we have to stop writing and use a sharpener. That makes the pencil suffer a little, but afterwards, it is much sharper. So we, too must learn to bear certain pains and sorrows, because they make us better persons.

Third quality: the pencil always allows us to use an eraser to rub out any mistakes. This means that correcting something we did is not necessarily a bad thing; it helps to keep us on the road to justice.

Fourth quality: what really matters in a pencil is not its wooden exterior, but the graphite inside. So always pay attention to what is happening inside us.

Fifth quality: it always leaves a mark. In just the same way, we should know that everything we do in life will leave a mark, so try to be concious of that in our every action.

Quite true, isn't it?

Nela Dusan
Rasuna, 23 October 2008

08 October 2008

Amazing Race, Amazing Life

Now, every Thursday evening, I have my favorite TV show broadcasted. Since last week, the reality show, Amazing Race Asia the 3rd has started. 10 finest teams across Asia have been selected and have competed in a race which sometimes pushes the racers to the bottom limit of their endurance, mentally and physically.
Ever since I saw the series of Amazing Race Asia or America, I kept mumbling when I finished watching the show, ‘so amazing, what amazing race’. I found it brilliant to create such a reality show. Moreover, I found the show title exactly reflects it, ‘Amazing Race’, it really is.
I saw participants that represent Malaysia, Singapore, Hong Kong, Philippine, Thailand, India, and Korea, but I saw none from Indonesia. Imagine, 200-million population country. Even Malaysia, whose population only 10% of Indonesia, has successfully sent its two couple of racers in this third Amazing Race Asia and so far, they have done impressively.
In the first and second Amazing Race, Indonesia had participants. Even in the first Amazing Race, the Indonesian brothers were able to keep up until the second last round, being the fourth best team out of ten teams. If we followed their races from the start until the pit stop in Dubai, in which they finally had to give up, we would be very proud of them and it was a heartbreaking to see they just lost it. Anyway, they had tried so hard.
Now, let us see this third Amazing Race Asia. Where are Indonesians? Are we that pathetic as no pair of Indonesian competent enough to lead their way and be equal with other Asian representatives?
It is so ironic, while the Amazing Race is designed to reach the bottom limit of mental and physical endurance of men; the race has been joined by people who might know nothing about the hardness of life. They come from middle to high level of society of countries which might be not as poor as Indonesia. Then, why Indonesian who would have used to live in such a hardship could not let them pass the qualification of the race. The race which is specially designed to go beyond normal life, the kind of life most Indonesian experiences daily. With everything is so difficult around us, high price, low income, things and pressure you should cope with as long as you live in Indonesia, actually Indonesian should have mentally prepared racers. Does it not sound like challenges in Amazing Race only it happens all the time in our actual life? Or, perhaps the big political event in 2009 affects it. Maybe, the best of our people are now concentrating for the amazing race of Indonesian version in the 2009 election. There is no time to participate in such Amazing Race reality show.
Another irony, when the difficulties are intentionally created to be conquered, we are absent. Yet, when such hardship has been successfully coped with by other Asian nations, particularly ASEAN countries, Indonesia still could not get a grip let alone get up. While to others the hardship and challenges of life have become TV show, we are experiencing them without camera let alone rewards.
Why could not we find just two finest Indonesian people that can represent their 200 million brothers in the third Amazing Race Asia? Perhaps, because to us, the hardship is not a TV show but it is part of the life itself. So, why bother to participate in such a race and be watched in TV. Still, I keep wondering why there could not be just two Indonesian people taking part in the race of Asian people.
In the show, every participant is pushed and forced to keep up with and complete the race. Even though they have to go through the night without sleeps. No unfinished race is allowed, every challenge must be dealt with conclusively to enable the racers to reach every pit stop. It is interesting to learn how men can endure under such circumstances amazingly.
In Amazing Race, both Asia and America, the pressures can dismantle and uncover the real character of its participants. There are patient, tolerant persons or emotional and moody kind of persons. We sometimes see some kind of mean and rude persons, pathetic persons, weak or kind of a blaming on other person type of people. They sometimes use very tricky and evil strategies to get rid off their competitors just to reach pit stop earlier than others. The rule of the game is so simple, never finish last at every pit stop, otherwise you will be eliminated. So simple, yet the process to achieve it very much startling and so hard. It is said that this particular Amazing Race Asia is the toughest race ever.
One of the interesting facts is nice team tends to be the winner of each race episode. Actually, it takes more than just brain or even muscles. It gets a complex formula to win the race. Internal factors that can drive the couple to win the race are solid cooperation between partners, trust in each other, be dependent on and relied upon on each other at the same time. High motivation and fighting spirit in every racer also contributes a lot to the success.
All teams have equal opportunity to win or lose because nobody can control external factors, such as delay in transportation, no public transportation available, unnecessary miscommunication with drivers can cause a team be eliminated. Any team can finish first at one pit stop but it can also be the second last team who arrived at another pit stop or even the last team arrived then eliminated.
I see similarities between Amazing Race and our lives as human being, regardless nationality. In the Amazing Race, we have to fight to avoid being the last team who reaches the pit stop and eventually struggle to be number one at the final pit stop at the end of the race season. In life, we often encounter challenges and race into competitions, fair or unfair ones.
Notwithstanding the complex factors, internally and externally, it was proven that during the first Amazing Race, the Indonesian couple could keep up their fight before giving up at the last two pit stops during the first Amazing Race Asia because they had counted more on their brain, rather than their muscles. Analogically, our nation, being one of the racers, is likely to win the fight of this life if we use our brain instead of muscles. Just like Amazing Race, the life is also affected by brain superiority, namely, planning, preparation, strategy and implementation.
Ironically, it seems that in our nation life muscles have dominated more than brain. The pathetic fact is when other Asian countries could get up and reach out from the crisis in 1998, as it happens now in the United States, Indonesian seems to go nowhere as it was 10 years ago. Where do we go wrong?
If we compare it with the Amazing Race in which every racer must finish the challenges conclusively, regardless how long it takes to finish it, it seems Indonesian people have failed or at least have not successfully concluded its challenges and reached its pit stop. Our nation has not completed the homework attributable to the crisis which has been suffered since ten years ago. Whilst, other countries have reached their pit stops quite long ago. It seems if we have not dealt with our home works conclusively, namely, domestic economy, social and political problems, it is likely that we will be the last team who reaches the pit stop.

Despite the similarities between Amazing Race and the amazing life, there is a significant difference. As to Amazing Race, it is so important to try hard to be the first and avoid being the last, there is no such a thing in real life. It does not matter whether we start first or last as long as we can reach pit stop safely. Without prejudice to other countries’ problems, it is possible that problems they faced were less complex than ours. The point is, no matter what, we have to try hard to solve our problems. We have to start to confide in each other and show others that we can be relied upon and trustworthy as much as we expect other people vice versa, for the sake of our nation.
Taking into account all the external factors, there is no guarantee that the existing more advanced countries will stay advance forever or Indonesia can not chase them one day. There is always a chance that Indonesia can position itself in an equal level to other countries.
So, it is clear that it takes more than just a bunch of brainy people to lead this nation but people who have vision and sense of nationalism, people who are humble enough to set aside their personal, group or foreign agenda for the sake of this nation survival in the amazing race of this precious life. It is okay if our country gets up a bit later than other countries, as long as we settle our challenges and ready to move toward next pit stops.

As it is in Amazing Race, let us hope that the next pit stop will not make our nation be eliminated. Just as the popular tag line of the host of Amazing Race, “The last team checks in may be eliminated”. How is it Indonesia?

Rasuna, 18 September 2008
Nela Dusan

21 September 2008

A Nightmare to Ibu Kartini's Dream

Most of students or children in Indonesia are familiar with a special day that comes in the month of April, precisely 21 April. Every year schools will celebrate Kartini Day. Just to refresh our memory, in case some of us have already forgotten, Kartini was a heroine to Indonesian women.

Kartini had broken the traditional way of thinking commonly existed at that time that girls were not entitled to have equal opportunity for education liked boys. One of traditional values lived during that old times was girls or female gender stayed at home and there was no room for women outside their houses. Those views were shared among people at all level, even in the aristocratic family liked Kartini’s family, let alone the commoners. Kartini had successfully opened the eyes of society at that time that females did have the right to have the equality in education.

Kartini lived in the era in which the discrimination of sex or gender was quite a normal view. At that time, women were the second or even third class of people in society. Girls, Females or Women were appreciated more to their physical quality, such as sexual appearance, their fertility, the ability to get pregnant. There was not much room left for intelligence appreciation. However, Kartini was quite lucky that she married to a man who could appreciate women in a wider and positive sense. He accepted or even supported Kartini’s idea of improving women in educations.

To cut the long story short, let us see what happened today to most women in Indonesia. My mother went to school for girls back in Padang Panjang, near her hometown, called “Diniyah Putri”. It was during the 50’s era. So, it was like 50 years after the Kartini era. At least it proved that the fights fought by Kartini paid well.

Lately, I have seen a commercial ad of a consumer product on television. The promotion theme is “Play With Beauty”. I was interested in watching the commercial ad because of its attractive colors in interesting animation.

The ad showed the transformation from an ordinary decent girl or young lady to a super duper hot and sexy woman right after she found the product being commercialized. It is understandable that the transformation should be shockingly or extremely shown in the ad, taking into account they are promoting beauty product. Still, I do not think that the transformation from a decent person to a wild one would be the objective of the ad, or would it be?

The ad shows how the product made the girl or young woman become a hot and sexy lady walking like a Halle Berry in the Catwoman. She charmed all masculine figures around her, from a male squirrel to grandpas. Until that point I kept following the flow of the ad and waited with curiosity, what actually the ad tried to tell us. Finally, I found out that the confident sexy walks led her to her final destination after the transformation. It was a place where signboards showed “lounge”, “hotel”, etcetera. So there she goes, to the amusement centre, nightlife.

Simple conclusion: “If a simple girl has transformed to a pretty woman, she would end in the sparkling and glittering nightlife. Who else wants to feel such an experience?” Was that really the message that the ad maker wanted to convey? If yes, then the ad successfully conveyed it as my brain absorbed it well. If that was not what they meant then the ad was totally a failure. Is it true that beautiful women only fit to such a nightlife world? Can’t beautiful women find better and more respectful works or activities, other than being the object of male obsessed passion only? Are we heading back to the era before Kartini was even born? The era where women were treat like products.

Any ad broadcasted on television should have taught a moral value suitable to the ones that lived in people as targets of such ad, in this case Indonesia. If the ad did not send any certain moral value message, at least it should not encourage the spectators to ensue the actions which were conflicting with the moral values that lived in such society. I am of the opinion that the ad reflected the shallowness of people who involved in the creating of such ad. Unconsciously, this kind of hedonistic lifestyle will only benefit men more. And women will pay for it at the end of the day.

It was obvious that the ad showed how woman was harassed in a very cheerful way. Apparently, not many women seemed to be aware of that harassment but I felt insulted.

Surprisingly, we saw no reaction from Non Governmental Organization (NGO), particularly, women’s rights defender NGO as they felt the insult in such ad. Perhaps the understanding that the ad was classified as arts made those women defenders accepted it. I am not surprised if the women defenders NGO did not react in the name of human rights. It is a crazy world, if someone who posed naked in ‘public’ and some government guys made a fuss of it, this would soon drag so much reaction from people, especially women organization, NGOs. They all would fight on the same grounds, for the sake of human right and state of art.
It is so pity that some Indonesian women seemed to have lost their senses on when they should fight and when they should shut their mouth up. Perhaps this reflects the ironic reality on how many Indonesian women were confused to position themselves. On one hand, they refused to be harassed but on the other hand, some of them clearly needed such harassment to support their existence, so ironic.

I wrote this article without having any view that I am better person than other people, particularly the ad makers, as I am also sure that they are not thinking the same way either. I am just a spectator who watched their product and idea. Anyhow, I have a little daughter who also watched television; including the ad per se. Should we send those little innocent angels with false messages?

I believe there are many other ways to describe beauty rather than imprinting ‘be beautiful, then men will come after you”. Is it not a deceitful message that the beauty of a woman just to satisfy men’s desires?

Moreover, the ad gave false impression that the existence of women on this earth is just to please men, whilst we know that duties and missions of men and women as God’s creatures in this world are the same. Women are created with equal rights but now, women positioned themselves as servants of men in a very passionate but undoubtedly low way. It seems like some men have forgotten their extra duties and responsibility as heads of family, leaders to their folks, not predators.

Beauty without brain and decent moral value would not bring any good to the so- called beautiful woman and her society.

Generally speaking, all people know exactly how long the beauty could stay. After certain age when the beauty fades away, then what next? What a shallow point of view showed by the ad. Is it correct that in order to sell a certain retail product we should hurt dignity of women generally? If we failed to justify the sense and sensibility of a very short and simple television broadcast, how come some of us insisted to fight on the elimination of LSF (Lembaga Sensor Film/Film Sensor Body)? To me, the LSF is still needed. At least we still have a Body that protects the interest of group of people who do not want to watch such irresponsible and shallow television broadcasts.


Rasuna, 15 April 2008
Gusnelia Tartiningsih (Nela Dusan)


This article was published in Opinion column of Jakarta Post on 21 April 2008

08 September 2008

MEMBERI ATAU DIBERI?


Terkadang kita menemui situasi dimana kita melupakan bahwa betapa banyaknya nikmat dari Allah Tuhan Semesta Alam yang telah kita terima selama ini. Dalam suatu percakapan pribadi antara saya dengan salah seorang teman mengenai ketidaksukaan teman saya itu terhadap tindakan suaminya yang meminjamkan uang kepada salah seorang saudaranya yang digambarkannya seorang pemalas yang bisanya membuat repot saudara.

Saya menanyakan kepada teman saya tersebut seperti apa gerangan kerepotan yang disebabkan oleh saudara iparnya itu. Menurut teman saya iparnya itu sungguh pemalas, sebenarnya dia mampu untuk mencari nafkah tetapi dia terlalu malas untuk berusaha.

Sebenarnya ucapan teman saya itu tidak salah juga, memang semestinya seorang manusia yang memiliki tanggung jawab kepada anak dan istrinya harus mau bekerja dan berusaha untuk mencari nafkah. Kuncinya hanyalah berusaha, karena Allah juga sudah menyebutkan dalam Al Qur’an, tidak akan berubah nasib suatu kaum jika kaum itu sendiri tidak berusaha mengubahnya. Sesungguhnya rejeki itu datang setelah kita berusaha, namun kita tidak bisa juga memastikan datangnya rejeki sepasti setelah kita selesai berusaha. Kewajiban manusia adalah berusaha sekuat tenaga, berdoa dan selanjutnya biarlah Allah Yang Maha Pemberi yang akan menentukan imbalan termasuk rejeki kepada hambaNya yang telah berusaha tadi, itulah salah satu bentuk sikap tawakal.

Saya tidak ingin membahas mengenai bentuk usaha atau kemalasan seseorang ataupun menilai apakah seseorang memenuhi kriteria kepantasan untuk mendapat bantuan dari orang lain. Saya hanya ingin membahas mengenai segala hal yang berada di bawah kendali kita masing-masing, sesuatu yang dapat kita putuskan apakah kita menginginkannya atau tidak, apakah kita mampu melakukannya atau tidak, tidak ada hubungan dengan manusia lainnya.

Sering saya berandai-andai dalam benak saya, jika kita renungkan sejenak betapa hidup ini sebenarnya sederhana, meskipun di dalam suatu masyarakat terdapat beragam kelas atau ‘kasta’, namun sebenarnya jika disimpulkan semuanya tidak lepas dari wujud tindakan ‘memberi atau diberi”.

Jika kita dihadapkan pada suatu pertanyaan apakah kita lebih menginginkan posisi memberi atau posisi diberi? Saya pribadi selalu bergidik jika membayangkan pertanyaan itu dihadapkan kepada saya. Demi Allah yang Surga berada dalam genggamanNya, jawaban dari pertanyaan itu tidak semudah menjalaninya. Bagi saya pribadi, insyaa Allah jawaban ini bukan jawaban yang keliru, saya lebih memilih memberi. Mungkin para teman dan sahabat saya mentertawakan saya, tentu saja, siapa yang tidak ingin memberi yang notabene berada dalam posisi mampu atau istilah awamnya ‘kaya’.

Jika kita pilah dua kata kerja pasif dan aktif ini sesungguhnya membawa konsekuensi yang luar biasa seriusnya. Saya juga tidak ingin membahas bagaimana caranya menjadi golongan ‘memberi’ alias orang kaya, saya hanya ingin kita saling mengingatkan apakah artinya menjadi seorang kaya, tanpa berpikir saya merupakan salah satu dari golongan tersebut.

Kekayaan merupakan suatu yang sangat relatif, kaya bagi saya barangkali baru sekedar sejumlah uang sebesar satu hari bunga bank bagi sekelompok orang atau teman-teman yang lain. Miskin menurut ukuran saya bisa jadi menyangkut suatu jumlah uang yang merupakan satu bulan bahkan satu tahun bahkan seumur hidup penghasilan bagi seseorang. Jadi sungguh tidak ada gunanya mempermasalahkan kaya atau miskin dalam hal ini.

Kebanyakan orang barangkali memilih jawaban yang sama dengan saya, yaitu memberi karena identik dengan kekayaan duniawi, setidaknya menurut kacamata masing-masing. Perlu kita sama-sama ingat bahwa posisi memberi dan diberi merupakan hak prerogatif Allah SWT setelah mendengarkan doa dan melihat usaha kita tentunya.

Saya ingin kita meninjau posisi kita masing-masing dalam pemetaan hidup ini, apakah konsekuensi dari status ‘memberi’. Jika kita kebetulan dalam posisi ‘memberi’ tentunya kita harus selalu mensyukuri segala rahmat dan rejeki yang telah dilimpahkanNYa kepada kita, sehingga kita termasuk ke dalam golongan manusia yang telah dilebihkan rejekinya (tidak berarti kita jadi boleh tidak bersyukur jika kebetulan dalam posisi bukan memberi). Namun, dalam prakteknya secara sadar atau tidak, kita seringkali bersikap tidak amanah dan mengingkari janji yang telah ‘built in’ dalam setiap rejeki yang kita peroleh tersebut. Sekedar tanya, kira-kira apa konsekuensi yang akan kita hadapi nantinya?

Jika kita seorang bendahara atau pejabat dalam suatu departemen pemerintah bersikap tidak amanah, maka KPK akan siap menjerat kita. Jika kita seorang bendahara atau pimpinan suatu perusahaan swasta yang telah bersikap tidak amanah terhadap tugas kita, tentunya akan ke polisi jugalah urusannya. Sekarang, jika kita tidak amanah terhadap peranan kita sebagai pemberi yang sebenarnya tidak lebih dari penyalur atau distributor rejeki yang sudah dialirkan melalui kita oleh Allah SWT, gerangan konsekuensi seperti apakah yang akan menunggu kita?

Allah, Zat Yang Maha Pengasih dan Pemurah, Dia juga seorang raja ilmu matematika yang tentunya tidak akan pernah salah perhitungannya. Jika kita sering khawatir mengenai ketelitian para auditor internal atau eksternal yang dapat menemukan kesalahan-kesalahan kita, kenapa pula kita bisa melenggang pongah dari perhitungan raja dari segala raja auditor di alam semesta ini, termasuk yang akan mengaudit para auditor yang ‘menyeramkan’ yang ada di BPK atau BPKP Indonesia ini sekalipun kelak di hari Pembalasan.

Dibalik status memberi terkandung sikap kesadaran untuk menjalankan amanah dari Allah yang sebenarnya termasuk dalam salah satu doa yang sering kita panjatkan kepada Allah SWT, “ya Allah limpahilah aku rejeki yang halal, berkahilah hidupku…dsb”. Lantas setelah rejeki itu diturunkan olehNya, kita bersikap mengingkari pada saat berhadapan dengan manusia lain yang sedang dalam kesulitan. Bagaimana jika orang yang dalam kesulitan itu dikirimkan oleh Allah SWT untuk menguji kita? Hidup berkah yang seperti apa yang kita impikan, jika untuk membantu orang dalam kesulitanpun kita enggan.

Terkadang kita merasionalkan segala alasan sehingga menjadikannya alasan yang valid untuk menolak membantu mereka. Misalnya, kita berdalih, “saya telah bekerja keras sehingga sudah selayaknya saya menikmati hasilnya, sedangkan mereka adalah kaum pemalas.” Atau, “bagaimana saya bisa tahu kalau harta yang saya tinggalkan cukup untuk masa depan anak saya?” Jawabannya tentu saja tidak kita ketahui, namun urusan anak-anak, apalagi yang masih dibawah umur, yang kita tinggalkan merupakan urusan mereka yang hidup. Dalam banyak tempat Allah berfirman mengenai hak anak yatim, kewajiban bersikap amanah terhadap harta mereka sampai mereka mampu mengurus sendiri harta peninggalan orang tua mereka bahkan lengkap dengan ancaman neraka jahannam bagi yang melalaikannya. Sesungguhnya Allah telah menyatakan jaminan-jaminan tersebut, haruskah kita mempertanyakannya lagi dengan bersikap menimbun harta bagi anak-anak kita.

Kita semua memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual dalam menilai kepatutan suatu bantuan dengan mempertimbangkan kemampuan kita masing-masing. Jika kita menyadari bahwa kita berada dalam kondisi mampu, hendaklah berlapang hati untuk memberikan bantuan tersebut, tanpa dasar riya, namun demi memperoleh ridho Allah SWT. Bukan perkara sulit bagi Allah untuk membalik nasib seseorang dari miskin menjadi kaya, semudah membalik nasib seorang yang kaya raya menjadi miskin papa dan hina.

[3.180]
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Terkadang kita dihadapkan pada situasi dimana kita mencurigai ketulusan atau kebenaran cerita dibalik suatu kebutuhan saudara atau teman kita yang meminta bantuan kepada kita, bagi saya sepanjang kita punya kemampuan untuk membantu, biarlah hal itu menjadi persoalan dan tanggung jawab antara orang tersebut dengan Allah SWT. Insya Allah, perbuatan kita membantu dia tidak juga mengurangi rejeki yang dialirkan kepada kita. Bahkan besar kemungkinannya jumlah uang yang diperoleh oleh seorang melalui jalur manipulasi tersebut tidak juga membawa berkah, apalagi menjadikannya lebih kaya dari sebelumnya. Yang terpenting bagi kita adalah sikap amanah, kita telah menjalankan amanah yang menyertai harta kita sebagai wujud rasa syukur kita karena Allah memilih kita untuk berada dalam posisi ‘memberi’.
Jika membahas masalah ini kita berpedoman pula pada hadis Rasullulah mengenai “Tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah” (H.R. Bukhari Muslim). Sungguh menjadi mampu layak dicita-citakan oleh setiap orang, namun kesadaran akan konsekuensi dari kemampuan tersebut yang selalu harus kita ingat. Namun, menjadi mampu atau kaya bukanlah tujuan hidup ini. Kondisi mampu bisa kita jadikan ladang amal bagi kita. Harta bagi seorang manusia beriman akan memiliki arti pada saat orang itu masih bernyawa. Sungguh naif jika kita berpikir harta itu berguna bagi anak cucu kita sementara justru tidak memberi manfaat bahkan mendatangkan mudharat bagi akhirat kita sendiri, naudzubillah minzalik. Hanya amal ibadah kita yang dapat menolong kita dari neraka jahannam, bukan harta yang kita tumpuk saat ini. Karenanya, marilah kita berdoa semoga kita termasuk ke dalam golongan yang pandai menafkahkan harta kita di jalan Allah agar berguna bagi modal kita di akhirat nantinya.
Kita harus bisa menjadikan harta yang kita miliki saat ini sebagai penambah amal ibadah kita, seperti amal ibadah seorang guru yang ikhlas kepada muridnya, seorang dokter yang rendah hati kepada pasiennya, seorang alim ulama memberikan pencerahan kepada umatnya. Jika ada seorang kaya yang kebetulan tidak dilimpahi kelebihan dalam suatu ilmu yang bermanfaat yang bisa dibagikan atau diamalkannya, dia justru tetap dapat membawa berkah bagi orang lain dengan jalan menafkahkan hartanya di jalan Allah, bersedekah, membantu sesama saudara dan manusia lainnya. Namun sebagian dari kita malah bersikap riya, bermaksiat atau malah bergiat mengkoleksi istri atau wanita seperti layaknya mengkoleksi mobil-mobil atau motor-motor mewah.

[2.195]
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Tidak jarang seorang manusia justru menjadi binasa setelah meraih kekayaan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Saya menganggap hal tersebut sungguh ironis, karena sebagian manusia bercita-cita menjadi kaya karena kelelahan akibat kemiskinan yang terus mendera. Sesungguhnya Allah memberikan kita semua cobaan melalui kekayaan dan kemiskinan. Kekayaan tanpa kesadaran dan akal cenderung menyebabkan manusia menjadi pongah, sombong dan tamak. Salah satu penyakit hati, yaitu kesombongan, merupakan penyakit hati yang telah terbukti membinasakan sejak dari jaman nabi Adam AS hingga hari ini.

[47.38]
Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).

Marilah kita merenungkan kembali sikap dan posisi kita dalam peta kehidupan ini, janganlah kita berdoa agar berada di posisi ‘memberi’ namun bersikap ‘diberi’ jika berhadapan dalam situasi dimana kita harus membantu sesama manusia. Semoga Allah SWT melimpahkan hidayahNya kepada kita semua sehingga kita bisa bijaksana dalam menjalaninya.

Rasuna, 31 Agustus 2008

Nela Dusan (Gusnelia Tartiningsih)

23 August 2008

DOA DI USIA 40


Dalam diam aku mendengar tanya
Apakah yang kuinginkan sebagai kado ulang tahunku?
Hari ini genap usiaku 40 tahun
Usia yang baik untuk memulai hidup

Aku memimpikan hari dimana aku masih memiliki kesempatan
Untuk mendatangi Tuhanku
Memohon ampun dan berdoa kepadaNya
Aku mengharapkan Tuhan memanjangkan nyawaku
Agar sampai hari ulang tahunku yang ke 40
Karena aku tahu saat itu hari yang bakal membawa berkah bagiku
Hari yang baik untuk memulai hidup

Ya Allah, aku memohon ampun kepadaMu
Permohonan ampun seorang manusia yang tidak tahu malu
Ampuni aku ya Rabbi untuk semua kebodohan dan kesia-siaan yang kulakukan
Dalam paruh hidupku

Ya Allah, aku berdoa kepadaMu
Permohonan doa seoarang anak yang boleh jadi sempat durhaka
Kepada kedua orang tuanya, semasa hidup mereka
Aku bermohon doa kepadaMu,
Demi letih lelah bundaku membopongku selama sembilan bulan dalam kandungannya
Demi air susu bundaku yang membuatku dapat tumbuh menjadi balita
Demi air mata kesedihan bundaku menyaksikan kenakalanku
Demi air mata bundaku yang jatuh ke dalam melihatku semakin menjauh

Aku bermohon doa kepadaMu ya Rabbi,
Demi ketegaran ayahku membesarkanku
Demi kebijaksanaannya mengasuh dan mendidikku
Aku bermohon sangat kepadamu ya Rabbi,
Berilah mereka ampunanmu, kasihanilah ayah dan bundaku Ya Rabbi

Ya Allah, aku berdoa kepadaMu
Untuk keselamatan suami dan anakku
Masukkanlah anak cucuku ke dalam golongan mahlukMu yang kuat
Jangan engkau biarkan mereka menjadi kaum yang lemah,
yang mudah terperdaya hawa nafsu
Peliharakan mereka Ya Allah,
Selamatkan mereka dunia akhirat
Pertemukanlah kami kembali kelak di surgaMu

Ya Allah, perkenankanlah doaku
Doa yang Engkau janjikan
Sampaikanlah usiaku menjadi 40 tahun
Agar dapat kumohonkan ampunanMu
Agar dapat kumintakan rahmatMu

Hari ini genap usiaku 40 tahun
Kuhampiri Engkau hai Zat Yang Maha Memberi
Karuniakanlah segala kebaikan yang pernah Kau limpahkan
Kepada orang-orang saleh yang menjadi kesayanganMu
Masukkanlah aku ke dalam golongan yang selalu dalam lindunganMu
Janganlah Kau sesatkan aku setelah Kau beri aku petunjuk

Ampuni aku ya Allah
Jadikanlah aku manusia yang memberikan manfaat bagi manusia lain
Tanpa menjadi jumawa
Jauhkan aku dari semua jenis kesombongan
Seperti kesombongan seorang Karun yang Kau benamkan dalam perut bumi
Atau kesombongan seorang Firaun yang kau tenggelamkan di dasar lautan
Jauhkan aku dari kesesatan
Baik yang nyata
Maupun kesesatan yang dibalut pujian


Nela Dusan
Rasuna, 23 Agustus 2008

17 August 2008

INDONESIA, QUO VADIS?

Hari ini kita merayakan ulang tahun ke 63 kemerdekaan negeri yang semestinya dapat tumbuh menjadi salah satu negara terbesar dan paling sejahtera di muka bumi ini. Waktunya mengkaji lagi apa yang sudah kita punya setelah 63 tahun merdeka. Jika seorang manusia, maka usia 63 terbilang usia lansia, usia dimana seharusnya seseorang mendapatkan penghormatan sebagai orang tua, usia yang semestinya cukup membuat seseorang menjadi lebih bijaksana, seseorang yang pada akhirnya mulai menyiapkan dirinya untuk menutup bab akhir dalam hidupnya, siap menghadap sang Khalik.

Namun tidak semua orang berusia 63 tahun cenderung pada hal-hal yang positif, atau menyambut panggilan nuraninya kembali ke fitrah sebagai mahluk ciptaan Yang Maha Pencipta. Banyak diantara manusia yang menginjak usia 63 dan lebih, bertingkah seperti mahluk yang tidak berakal. Manusia yang seperti itu juga tersebar di semua golongan, mulai dari gelandangan, pekerja, pengusaha sampai dengan pejabat pemerintah. Jumlah mereka pun tidak sedikit, bahkan sepertinya hari demi hari, semakin banyak orang di negeri kita ini yang melakukan ‘hijrah’ justru ke jalan yang salah.

Kembali kepada pokok pembicaraan kita, usia 63 tahun Indonesia. Apa yang sudah kita punya? Kebobrokan, korupsi, keserakahan, kemiskinan, kemelaratan dan berujung pada kehilangan harga diri. Semuanya adalah faktor yang disebabkan oleh ulah manusia Indonesia sendiri, belum lagi kondisi alam Indonesia yang terletak di pertemuan dua rangkaian gunung berapi di dunia ini, pertemuan dua lempeng benua yang memang tidak akan pernah berhenti bergerak, seperti yang sudah ditakdirkan oleh Allah Pencipta semesta alam, semua juga terjadi di bumi kita tercinta ini, Indonesia.

Sebelum kita menjadi kufur nikmat, hanya menyuarakan sisi negatif dari negeri ciptaan Tuhan YME belaka, kita harus selalu ingat betapa berlimpahnya karunia yang diberikan olehNya yang terkandung di dalam bumi kita tercinta ini. Emas, berlian, minyak bumi, batu bara, kayu, bijih besi, gas, bahkan hasil laut, perikanan, sebut saja, semuanya ada di bumi Indonesia. Apa lagi yang kurang ? Namun, coba lihat, apa yang kita dapat dengan semua modal yang sudah diberikan Tuhan kepada kita selama ini? Sepertinya tidak banyak. Kenapa ?

Satu pertanyaan sederhana, kenapa ? pertanyaan yang memaksa kita untuk berpikir dalam menjawabnya. Banyak kemungkinan jawaban yang bisa diberikan untuk pertanyaan sederhana tersebut, dari semua bagi saya yang paling masuk akal adalah karena sebagian besar kita, bangsa Indonesia, telah kehilangan harga diri. Harga diri itu telah lenyap karena telah ditukarkan dengan sejumlah materi yang tidak seberapa harganya.

Jika kita mau merenung sedikit, kenapa negara Malaysia yang berpenduduk cuma sekitar 20 juta manusia itu sepertinya sudah tidak punya ‘hormat’ sedikitpun terhadap saudaranya yang jumlahnya 200 juta yang hari demi hari justru menjadi tambang emas buat sebagian masyarakat negeri jiran tersebut. Benar bukan bahwa di bumi Indonesia inilah warga dan negara Malaysia mendapatkan rejeki, dari kebun kelapa sawit ‘bekas kepunyaan’ bangsa Indonesia yang ada di Sumatera, Kalimantan, kayu-kayu gelondongan ilegal milik rakyat Indonesia yang diselundupkan ke negeri tetangga kita dengan ‘kerja sama’ dengan oknum manusia Indonesia sendiri.

Kita sering terjebak dalam pembicaraan yang sifatnya kasuistis, seperti beberapa tahun yang lalu, pada saat kepulauan ambalat menjadi topik hangat, nasionalisme bangsa seperti tergelitik, lalu kasus perlakuan pendatang haram dari Indonesia yang diperlakukan tidak manusiawi di Malaysia, semua orang merasa sakit hati, yang terakhir kasus pemukulan wasit karate asal Indonesia dan penangkapan istri diplomat kita di Malaysia, kita semua marah, lantas apa yang terjadi ? jawabannya hanya gelengan kepala, ‘tau ah gelap’ kira-kira demikian artinya.

Kita kaya tapi kita juga sangat miskin. Pada akhirnya kita semua harus menyadari bahwa untuk menegakkan harga diri juga diperlukan kekuatan ekonomi. Saya heran, untuk membeli amunisi kita tidak mampu, tetapi saya pernah melihat mobil berplat hijau alias tentara keluaran pabrikan mewah, sekelas Harrier dan Range Rover berkeliaran di jalan-jalan Jakarta. Sungguh ironis, untuk membeli amunisi bagi pertahanan militer kita tidak punya uang, tapi untuk bermewah-mewah di jalan sepertinya ada uang.

Sungguh ironis, negara sekaya ini tidak memiliki kekuatan pertahanan yang memadai. Negara kita kaya tapi sayang yang kaya adalah individunya, pejabatnya, pemimpinnya bukan negaranya. Jangankan berperang melawan Amerika, melawan Malaysia yang penduduknya 10 persen Indonesia saja pun belum tentu kita mampu. Kita punya prajurit yang banyak, tapi apa arti angkatan bersenjata jika tidak memiliki peluru, tentara minus senjata barangkali jadi lebih mirip dengan pramuka atau hansip ya. Jika pun Bung Karno masih ada saat ini, pasti beliau pun hanya akan tersenyum dan angkat bahu jika ada yang meneriakkan yel-yel ‘ganyang Malaysia’, yah Malaysia saat ini tidak sama dengan Malaysia jaman dulu bung.

Kita kaya, tapi kekayaan itu mengalir ke luar negeri, baik melalui pemindahan resmi yang dilakukan oleh para investor asing yang beritikad baik, maupun pemindahan arus uang yang illegal yang berasal dari transaksi illegal oleh pihak-pihak yang illegal, termasuk di dalamnya hasil jarahan kekayaan alam, konon termasuk hasil korupsi pejabat pemerintahan sipil maupun polisi di perbatasan, semua orang tahu, semua orang maklum.

Ironis bukan, uang hasil jarahan negeri kita mengalir keluar dengan mudah namun sangat sulit untuk kembali dengan alasan hukum, kepatuhan Indonesia akan rejim peraturan global mengenai pencucian uang justru semakin membuat kita menjadi miskin. Kita kaya tapi kita harus berhutang dari luar negeri yang barangkali berasal dari uang haram para oknum Indonesia sendiri, dalam bentuk beragam jenis investasi oleh beragam SPV. Jadi kita sudah dua kali rugi, sudahlah dijarah, tidak bisa meminta balik pula.

Orang Indonesia cenderung maklum jika melihat seorang petugas polisi berstatus orang kaya di mata masyarakat, terang aja, dia kan polisi. Mungkin pada kesempatan lain, terang aja, dia kan hakim, dia kan jaksa, dia kan camat, pegawai departemen, dsb. Lah kita semua tau berapa sebenarnya gaji seorang perwira polisi, jaksa, hakim, pegawai negeri, dsb, lantas dari mana mereka bisa membeli apartemen, rumah di pondok indah, mobil Cheyenne, X5, menyekolahkan anak di Amerika atau sekurangnya Australia, dsb. Mungkin menjadi salah satu ‘kelebihan’ dari orang Indonesia, memaklumi segala sesuatu, tidak peduli apakah suatu hal itu positif atau negatif. Termasuk juga pada saat Dubes kerajaan Arab Saudi menyatakan bahwa seorang TKW yang dipukul sampai mati oleh majikannya adalah takdir, sepertinya semua pejabat Indonesia turut mengamininya.

Kematian seseorang memang takdir, tetapi itu adalah bagi yang bersangkutan, sang korban. Bagi orang yang ditinggalkan menyisakan persoalan hukum tentunya, bahkan negara Saudi Arabia yang berasaskan hukum Islam berdasarkan Al Qur’an berani menyepelekan persoalan itu dengan pernyataan takdir, bukankah hukum Islam masih berlaku di sana? bukankah keadilan juga sudah dijamin berdasarkan Al Qur’an? kenapa hukum qhisash tidak diberlakukan bagi si pembunuh TKW? apakah karena yang terbunuh adalah seorang TKW yang dalam kamus orang arab barangkali diterjemahkan sebagai budak menjadikannya halal? Mungkin karena korbannya seorang budak dan yang melakukan pembunuhan, jika benar terjadi, adalah tuannya (majikannya) sehingga terdapat loophole hukum di sana. Jika pun ada loophole, bagaimana peran nilai-nilai universal yang selalu didengungkan oleh kalangan Barat, yaitu hak asasi manusia dalam kasus TKW tersebut? tampaknya kasus TKW tersebut pun tidak dikategorikan kasus yang menyangkut manusia, apakah TKW bukan manusia?

Kalau memikirkan masalah perlakuan majikan para TKW Indonesia khususnya di Arab dan Malaysia atau di Negara manapun para TKI itu berada, rasanya perut ini menjadi mules. Tidak adakah satu orangpun di Departemen Agama yang memahami hukumnya pembunuhan oleh majikan seperti ini berdasarkan syariat agama dan memperjuangkan hak korban sehingga tercapai keadilan? tidak adakah satu orangpun di Departemen Tenaga Kerja Indonesia yang mampu membela hak-hak tenaga kerja Indonesia yang notabene warga negara Indonesia.

Tampaknya privilege hukum belum ditakdirkan menjadi milik seluruh warga negara Indonesia, masih meliputi orang-orang ‘pilihan’, entah karena jabatannya atau karena uangnya. Padahal kalau kita mau sedikit merenung, kita mestinya menyadari betapa besarnya sumbangan para TKI itu terhadap pembangunan bangsa ini, mereka telah memberikan sumbangan devisa kepada negara. Ditengah-tengah perilaku sebagian warga yang menghambur-hamburkan devisa, mereka justru bak pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka menghidupi keluarga dengan taruhan harga diri dan nyawa.

Tidakkah semestinya pemerintah Indonesia berterima kasih kepada mereka karena sebagian kewajiban Pemerintah kepada warga Negara yang mungkin telah memilih mereka waktu pemilu silam telah ditunaikan oleh para konstituen itu sendiri tanpa mengeluh, tanpa merasa dieksploitasi oleh negara, demi sesuap nasi. Tidakkah Pemerintah menyadari bahwa semestinya penyediaan lapangan kerja juga merupakan tanggung jawab kepada rakyat Indonesia.

Tampaknya menjadi kebiasaan umum orang Indonesia untuk bersikap reaktif jika terjadi sesuatu tetapi selanjutnya lupa memikirkan kenapa suatu hal buruk tersebut terjadi. Sepanjang sejarah manusia, keberhasilan menyelesaikan suatu masalah sangat bergantung pada kemampuan kita mengevaluasi duduk perkara suatu masalah. Tidak bisa kita menyelesaikan masalah dari akibat. Kita harus menyelesaikan masalah dari sebab. Menyelesaikan masalah dari akibat ibaratnya membasmi kanker yang hanya ada di liver sementara akarnya ada di paru-paru, tetap saja tidak tuntas.

Lebih jauh lagi, hal lain yang sangat penting untuk dicermati jika kita ingin menyelesaikan persoalan dari sebab adalah kemampuan kita menganalisa dan mengevaluasi data dan fakta sehingga sampai pada kesimpulan yang tepat, dengan begitu akar masalahlah yang kita selesaikan, tidak kasuistis sifatnya. Mungkinkah para petinggi negeri ini menyelesaikan setiap persoalan yang ada dengan hati yang jernih, pikiran yang terang, bebas dari nuansa kepentingan pribadi atau golongan? Adakah kemampuan kalian untuk melakukan hal itu wahai segenap pemimpin negeri ini? Atau barangkali persoalannya adalah lebih kepada masalah kemauan daripada kemampuan.

Kembali pada kondisi umum Indonesia yang menurut pandangan saya yang bodoh ini sudah hampir sekarat, apakah akar masalah yang harus diselesaikan oleh para petinggi negeri ini sesungguhnya? Barangkali jawaban bodoh saya adalah kembalikan dulu harga diri kita sebagai suatu bangsa, barulah kita bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi tidak hanya dengan negara tetangga kita, tetapi seluruh negara dan bangsa di dunia ini. Oknum anak bangsa telah merusak dan menghancurkan fitrah kita sendiri sebagai bangsa yang sejatinya bangsa yang besar dan kuat.

Tampaknya kebutuhan akan adanya suatu perubahan dalam sikap dan akhlak manusia Indonesia sudah sangat mendesak. Adakah seseorang yang nekat menjadi pemimpin dan menjadi lokomotif bangsa ini tanpa ditunggangi motif ekonomi?

Saya merindukan pemimpin yang amanah dan tidak takut miskin jika dengan demikian dia bisa menegakkan kebenaran di negara ini, pemimpin yang tidak perlu merasa berutang budi pada siapapun sehingga harus menutup mata pada semua penyimpangan atau ketidakbenaran yang saat ini terjadi.

Seorang pemimpin yang mampu menyadarkan sebagian besar bangsa Indonesia yang sedang kesurupan demokrasi, yang mengingatkan kita semua bahwa demokrasi adalah tidak lebih dari alat atau media mencapai tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang lebih baik, bukan menjadi tujuan akhir seperti yang tampak sebagai fenomena yang umum paska lengsernya almarhum Suharto. Kembalikan demokrasi kepada hakikatnya, jangan lanjutkan demokrasi kebablasan ala Indonesia.

Saya merindukan pemimpin yang memiliki visi yang ditularkan kepada seluruh bangsa ini, visi yang membangkitkan kembali harga diri semua anak bangsa. Barangkali menyenangkan kalau di negara kita tidak ada orang yang teramat kaya namun juga tidak ada yang teramat miskin. Barangkali terdengar sangat sosialis di telinga para kapitalis. Kita tahu, sudah tidak ada lagi yang namanya sosialisme di dunia ini, semua sudah berganti baju kapitalisme, semua sudah menuhankan uang dengan versinya masing-masing, ada oligarkhi di Rusia, ada kapitalis versi Cina, dsb. Bagi saya, masak bodoh lah, mau sosialis atau kapitalis, yang penting terjemahannya adalah kesejahteraan bagi semua manusia Indonesia.

Lagi-lagi, saya mesti melihat kenyataannya saat ini, ah malangnya nasibmu Indonesia, bibir ini hanya bisa berucap lirih…’quo vadis Indonesia di usiamu yang 63 tahun ini ’.


Rasuna, 17 Agustus 2008
Nela Dusan