21 July 2008

KISAH SEPASANG REL KERETA




Boleh jadi sebagian dari kita sudah mengetahui, namun bisa jadi sebagian besar belum mengetahui, bahkan tidak pernah memikirkannya, bahwa jarak antara sepasang rel kereta itu adalah 143,5 cm. Jarak itu konon selalu demikian. Sekedar intermezzo, kenapa harus berjarak 143,5 cm, kenapa tidak 150 cm atau 200 cm, dsb. Pertanyaan yang sangat wajar dilontarkan yaitu kenapa harus 143,5 cm?

Saya tergerak untuk berbicara mengenai hal remeh yaitu jarak antara sepasang rel kereta itu pada saat membaca buku ‘The Zahir’ karangan Paulo Coelho. Dalam bukunya itu tokoh dalam cerita the Zahir secara unik mengamati rel kereta dan sampai pada fakta yang unik yaitu tidak penting sesederhana atau secanggih apapun teknologi perkeretapian yang digunakan, ternyata jarak sepasang rel yang menjadi landasan kereta api canggih ataupun sederhana tadi adalah tetap berjarak 143,5 cm.

Yang menarik adalah bagaimana Coelho, di dalam bukunya, menghubungkan antara rel kereta api dengan perkawinan. Digambarkan dalam buku bahwa sang tokoh utama seorang penulis terkenal telah ditinggal begitu saja oleh istrinya, pendeknya istrinya yang dicintai dan mencintainya telah mangkir dari rumah tangga mereka dan belakangan diketahui untuk tujuan memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dengan cara yang tidak biasa. Entah mengapa sang tokoh tertarik mengamati rel kereta pada suatu kesempatan di stasiun dan sampailah dia pada perenungan yang kemudian juga jadi perenungan saya sendiri.

Kembali kepada jarak rel kereta, mohon maaf jika saya terus menerus dan mengulang-ulang penyebutan lebar rel kereta yang berjarak 143,5 cm tersebut, ternyata sejarahnya sangat panjang dan menarik. Bisa jadi informasi ini hanya rekaan semata, bisa jadi fakta sebenarnya, wallahu alam.

Dulu gerbong kereta api dibuat dengan menggunakan alat yang sama untuk membuat kereta yang ditarik kuda, jadi jarak yang sama juga digunakan oleh kereta berkuda. Lantas kenapa jaraknya 143,5 cm, karena itu lebar jalan dimana kereta-kereta itu berjalan. Lantas, siapa yang memutuskan bahwa lebar jalan harus berjarak demikian, ternyata jawabannya ada di jaman Romawi, dimana jalan raya pertama dibangun dan jalanan itu dilalui oleh kereta berkuda (chariots) yang ditarik oleh sepasang kuda yang kalau berdiri berdampingan memakan tempat selebar 143,5 cm.
Sesederhana itu? Tampaknya demikian. Jadi tidak jadi soal sekencang apa kereta api yang berjalan diatas rel itu saat ini, tetap kereta itu akan berlari di atas rel yang berjarak 143,5 cm, tidak lebih tidak kurang.

Yang menarik adalah sepertinya tidak seorangpun manusia di jaman modern ini yang berpikir untuk mengubah jarak tersebut, bahkan konon hal itu sampai mempengaruhi ukuran tangki bahan bakar pesawat luar angkasa Amerika. Kabarnya para ahli di sana beranggapan bahwa tangki bahan bakar pesawat luar angkasa harusnya lebih besar dan lebar lagi, namun karena produksi dilakukan di Utah dan mesti diangkut menggunakan kereta api ke Florida, maka mereka berhadapan dengan kendala terowongan yang sudah didesain dengan jarak yang toleransi dengan jarak 143,5 cm tadi. Sungguh lucu betapa berpengaruhnya apa yang dilakukan oleh orang di jaman Romawi dulu terhadap kehidupan dan teknologi modern saat ini.

Jepang, Perancis atau Amerika boleh saja mengembangkan desain, bentuk gerbong kereta api dan teknologi kecepatan semau mereka. Namun, semua harus mau dan mampu berjalan di atas rel orang Romawi, yaitu 143,5 cm. Terbayang frustrasinya produsen gerbong yang ingin membuat inovasi ukuran kereta yang mempengaruhi lebar roda kereta, mau jalan dimana? Masak harus melakukan restrukturisasi jaringan rel kereta seluruh negeri?

Kembali pertanyaannya apa hubungan antara rel kereta api dengan perkawinan? Coelho membahas dengan cara yang unik namun sangat mengena. Katanya, konon jika dua orang menikah maka mereka harus terus mempertahankan posisinya tersebut sampai akhir hayat mereka. Pasangan itu harus bergerak berdampingan seperti layaknya sepasang rel kereta, tetap menjaga jarak yang sama. Meskipun terkadang sebagian dari kita membutuhkan sedikit jarak yang lebih jauh atau lebih dekat, hal itu melanggar aturan. Aturannya mengatakan bahwa kita harus rasional, pikirkan masa depan, pikirkan anak-anak kita. Kita tidak dapat berubah, kita harus seperti sepasang rel kereta yang harus tetap menjaga jarak yang sama di sepanjang jalur mulai dari tempat keberangkatan yaitu pada saat anak-anak kita lahir sampai dengan tibanya mereka di tujuan.

Aturan yang ada tidak membolehkan cinta untuk berubah atau cuma berkembang pada saat berangkat dan menghilang di tengah jalan, sungguh berbahaya. Yang diperlukan adalah jarak yang sama, kekompakan, fungsi alamiah yang sama. Tujuan kita adalah mengantarkan kereta yang membawa anak-anak kita melesat ke masa depan mereka. Anak-anak kita akan sangat bahagia jika kita para orang tuanya tetap menjaga jarak 143,5 cm seumur hidup kita. Jika kita tidak merasa bahagia dengan sesuatu yang tidak berubah, cobalah untuk berpikir tentang mereka, kebahagiaan anak-anak kita, yang sudah kita bawa ke dunia ini.

Saya juga jadi teringat waktu masih remaja dulu jamannya remaja keranjingan kegiatan radio komunikasi amatir yang lebih dikenal istilah ‘nge-break’. Angka 143 suka diucapkan ketika sedang gombal-gombalan sesama ‘breaker’, 143 disini adalah kepanjangan dari ‘I Love You’. Sekarang ada angka 143,5, kalau saya terjemahkan secara sederhana dalam bahasa breaker jadi I love you half. Seolah sudah ada firasat pembuat rel kereta, jika dianalogikan dengan rel kereta, maka perkawinan adalah berisi komitmen masing-masing separuh cinta untuk menjadi satu cinta yang utuh, yaitu dalam perkawinan.

Saya sendiri sempat termangu setelah membaca satu dua halaman dalam the Zahir khususnya mengenai filosofi rel kereta ini. Tanpa disadari saya jadi membandingkan dengan kehidupan perkawinan saat ini, betapa banyaknya rel-rel kereta yang sudah tidak mempedulikan jarak, tidak heran jika gerbong yang melaluinya jadi anjlok, betapa banyak hati-hati kecil yang terluka hanya karena salah satu atau kedua rel memutuskan untuk mencari pasangan rel lainnya. Saya tidak ingin menyalahkan pasangan-pasangan rel yang sudah terlanjur terpisah dan sangat menghargai alasan-alasan yang diajukan setiap pasangan rel yang terpisah tersebut. Saya hanya ingin berbagi renungan mengenai kedalaman filosofi rel kereta ini semoga dapat menjadi renungan bagi semua pasangan rel yang masih utuh, termasuk pengingat bagi saya pribadi dan rel yang menjadi pasangan saya.

Jika ini terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, dimana kita merupakan penumpang angkutan kereta api, apakah kita mau menaiki kereta dimana di tengah jalan relnya tiba-tiba memisahkan diri, bisa dipastikan jika kita salah satu penumpang di dalam gerbong kereta tersebut, akan berakhir di rumah sakit bahkan bisa kehilangan nyawa. Mungkin jika kita, para rel kereta ini, berposisi sebagai penumpang tetap setiap hari pergi kerja misalnya dari Bogor menuju Dukuh Atas, selalu menumpang kereta yang sama dengan jalur yang sama, tentunya tidak akan pernah mau kalau sampai rel kereta di sepanjang perjalanan kita itu memiliki kebebasan untuk memisahkan diri seenaknya karena urusannya menyangkut nyawa kita sendiri. Jika kita merasa takut karena jiwa kita langsung yang terancam, lantas kenapa kita tega memisahkan diri dari perkawinan dimana anak-anak kita berada di dalamnya, tanpa alasan yang patut dibenarkan, misalnya hanya karena kita sudah tidak merasa nyaman lagi dengan jarak yang ada, atau sekedar mencoba prospek bergandengan dengan rel lain. Tanpa sadar kita telah tega mengorbankan kepentingan ‘penumpang kereta’ yang sudah ada di atas rel kita itu, yaitu anak-anak tercinta.

Janganlah kita sampai melukai hati-hati kecil mereka, malaikat-malaikat kecil kita, tempat kita bergantung doa kelak ketika kita sudah di alam kubur. Jika kita masih mengharapkan doa anak sholeh dan sholehah yang memohonkan ampunan bagi dosa-dosa yang kita buat secara aktif justru pada saat kita masih menjadi rel untuk mereka, tentunya kita berkepentingan mengantarkan mereka selamat sampai tujuan mereka.

Kebahagiaan dunia tentunya sesuatu yang layak dicita-citakan setiap orang, namun tidak mesti menjadi obsesi apalagi sampai mengorbankan tujuan akhir yang sesungguhnya. Kebanyakan orang mengartikan ‘life is too short to worry’ sebagai dorongan untuk mengejar kebahagiaan dalam konteks duniawi yang sangat absurd. Apa artinya kebahagiaan di dunia jika kita gagal di akhirat nanti. Gagal mempertanggungjawabkan amanat yang diberikan oleh Tuhan kita sendiri dalam bentuk kegagalan mengantar anak-anak kita sampai ke tempat tujuan mereka dengan selamat. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kita petunjuk agar menjadi sepasang rel yang bijaksana.

Rasuna, 19 Juli 2008
Nela Dusan (Gusnelia Tartiningsih)