25 March 2011

Di Antara Dua Rahang dan Dua Kaki



Kita semua adalah umat akhir zaman. Meskipun terpaut lebih dari 1400 tahun dengan Rasulullah, namun warisannya berupa Al Quran dan Hadits senantiasa menjadi pedoman bagi kita, kaum muslimin, semua.

Kita sering menemui beragam kenyataan sehari-hari yang telah disinggung dalam suatu firman Allah dalam Al Quran atau Hadits Nabi. Salah satunya yang ingin saya bicarakan adalah mengenai satu hadits:

Rasulullah bersabda: Siapa yang mau menjamin untukku sesuatu yang ada di antara dua tulang rahang (mulut) dan sesuatu yang ada di antara dua kaki (kemaluan), maka aku akan menjamin surga baginya.” (HR al-Bukhari).


Allah telah berfirman dalam Surat Al Ahzab ayat 70 dan 71:
QS. 33.70
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
QS. 33:71
niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.

Mari kita renungkan ayat Al Quran mengenai himbauan untuk berkata jujur dan bandingkan dengan kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Allah berbicara kepada manusia melalui firmanNya dalam Al Quran, insya Allah, kita lah yang Dia maksud sebagai orang-orang yang beriman.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, berapa sering kita melakukan penyalahgunaan organ tubuh kita.  Kadang kita sering mendengar pepatah “mulutmu harimaumu”. Maksudnya adalah setiap kata-kata yang keluar dari mulut kita bisa berubah menjadi sesuatu yang berbahaya bagi kita sendiri. Mungkin karena tidak menjaga lisan kita bisa menciptakan musuh-musuh baru, mengukir dusta, dsb.

Lebih spesifik lagi organ tubuh yang berperan pada saat seseorang berbicara adalah lidah, tanpa lidah mustahil seseorang bisa berbicara, demikian Allah telah menciptakan segala sesuatunya dengan teramat cermat, subhanallah. Makanya ada pepatah ‘lidah tak bertulang’ dan semua kata-kata demikian mudah terucap. Sungguh tipis beda antara beribadah dengan bermaksiat bagi lidah kita.

Allah menciptakan segala sesuatu untuk tujuan yang mulia yang mendukung pada tugas yang diembankan kepada manusia yaitu menjadi khalifah di muka bumi ini, pemelihara dan pengguna bumi berikut isinya. Semuanya harus dilaksanakan sejalan dengan maksud penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepadaNya.
QS: 51.56
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.


Jaminan surga yang disampaikan oleh Rasulullah bagi mereka yang berhasil menjaga mulut (perkataan) dan kemaluan mereka sesungguhnya mengindikasikan betapa sulitnya hal tersebut untuk dilaksanakan.

Saat ini kita lihat di sekililing kita, betapa mudah mulut kita membicarakan gossip atau ghibah. Sebagian dari kita kadang menganggap tidak masalah untuk bergosip dengan alasan sepanjang sesuai dengan faktanya. Rasulullah mengatakan bahwa membicarakan sesuatu perihal seseorang itu disebut ghibah, jika tidak sesuai dengan kebenaran, itulah yang dinamakan fitnah. Kita sudah diingatkan bergibah sama dengan memakan bangkai saudara kita sendiri, itukah yang ingin kita lakukan? Naudzubillah.

Mulut bisa membawa kita ke surga jika kita digunakan untuk berkata-kata yang bermanfaat, lisan yang benar atau haq, bukan untuk perbuatan sia-sia.  Namun, mulut akan mengantarkan kita kepada azab Allah jika digunakan untuk bermaksiat, mengucapkan rayuan demi rayuan kepada manusia yang tidak haq (bukan suami atau istri yang sah). Apalagi jika rayuan tersebut berlanjut pula kepada perzinahan. Mulut juga dapat digunakan untuk menghembuskan permusuhan, keresahan apalagi penyulut peperangan.

Sebagaimana halnya mulut, kemaluan manusia juga bisa membawa seseorang menuju surgaNya atau azabNya. Jika seorang manusia memilih untuk menikah untuk tujuan beribadah, menyempurnakan imannya, mengikuti sunnah Rasulullah dan dia menjaga pergaulannya setelah itu, maka jaminan Surga diberikan kepadanya. Akan tetapi, jika kemaluan manusia justru menjadi komando menuju perbuatan yang keji, maksiat, maka dipastikan manusia tersebut akan dituntut pertanggungjawabannya kelak di hari pembalasan.

Tujuan perkawinan dalam Islam adalah menyempurnakan agama dan memperoleh keturunan yang soleh dan solehah. Bagaimana bisa kita raih tujuan tersebut apabila yang terjadi justru penyelewengan. Sadarkah kita betapa keras larangan Allah mengenai perzinahan. 

Al Israa (QS 17.32):
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.

Disebutkannya mulut dan kemaluan dalam satu hadits menunjukkan betapa keduanya berperan besar dalam perbuatan yang menuju pada zina atau perbuatan zina itu sendiri. Kedua hal itu terkait erat dengan hawa nafsu. Nafsu untuk menguasai seseorang melalui bicara dan nafsu syahwat seksual berupa perzinahan. Apabila mendekati saja sudah dilarang, apalagi sampai melakukan. Sekali saja sudah merupakan kesalahan besar apalagi sampai dilakukan berulang kali.

Sungguh menyedihkan jika banyak manusia menunjukkan syukurnya atas rahmat dan karunia Tuhan yang berlimpah justru dengan melakukan segala macam hal yang dilarangNya.

Mungkin banyak di antara kita yang berpikir, sepanjang Tuhan masih memberikan rejeki yang berlimpah, kemudahan di segala urusan kita, berarti Tuhan tidak keberatan dengan segala perbuatan maksiat kita dalam hal ini berzinah, baik sekali maupun berkali-kali, baik dengan satu orang maupun dengan belasan atau puluhan orang. Di dalam buku Al Hikam karangan Syekh Ibn ‘Athaillah el Sakandari saya memperoleh mutiara hikmah yang sangat berkesan yang saya kutip sbb:

“Takutlah bila kebaikan Allah selalu engkau peroleh pada saat engkau terus berbuat maksiat kepadaNya, itu bisa jadi lambat laun akan menghancurkanmu.”

Nasihat tersebut sungguh benar adanya karena Allah telah memperingatkan kita dalam Al Quran Surat Al ‘Araaf, sbb:

QS. 7:182
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.

Ada atau tidaknya tegoran dari Allah atas perbuatan maksiat kita, jangan dijadikan barometer benar tidaknya perilaku kita. Kita sudah dibekali akal dan perasaan untuk menilai, kita sudah dibekali ilmu berupa perintah dan laranganNya dalam Kitabullah.  

Contoh kekonyolan sikap manusia yang menjadikan ada tidaknya tegoran langsung dari Allah menjadi pedoman benar atau tidak perbuatannya saat itu misalnya membawa-bawa Tuhan untuk membenarkan hubungan gelap seseorang. Sepasang manusia yang berselingkuh bisa berkata mungkin memang mereka sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk berjumpa dan jatuh cinta. Jika segala sesuatu tidak mungkin terjadi tanpa ijinNya, tentunya hubungan itu tidak bisa berlanjut. Kenyataan hubungan gelap itu berlanjut maka mestinya Tuhan sudah merestui mereka.

Sungguh naïf manusia yang berpikir seperti itu. Kenyataan bahwa Allah tidak mengintervensi hubungan terlarang semacam itu bukan berarti Allah menyetujui. Mari kita coba untuk memahami hukum Allah. Sekali Allah menetapkan larangan dan perintah, maka hal itu sudah berlaku atas tiap-tiap manusia tanpa kecuali. Allah sudah menyerahkan penerapannya kepada akal yang sudah diberikan kepada setiap insane. Faktanya ada praktek menyimpang, itu semata-mata pelanggaran. Setiap pelanggaran pasti ada sanksi.

Ada satu kisah yang sangat tepat menggambarkan ketetapan Allah atas mahluknya. Di dalam buku yang berjudul Perjumpaan dengan Iblis karangan Muhammad Syahir yang diterbikan oleh Lentera, dikisahkan bagaimana Iblis terus berusaha menggoda Adam dan Hawa ketika di Surga.

QS 2:35
Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.

Pada saat Adam dan Hawa hidup di Surga, Iblis sudah terusir dari Surga akibat kesombongannya dan dia sudah terputus dari rahmat Allah selamanya. Pada percobaan pertama Iblis menggoda Adam melalui seekor ular, dia membisiki Adam bahwa Tuhan tidak berkenan dia memakan buah khuldi karena setelah memakannya Adam bisa hidup abadi. Adam tidak terkecoh, dia bahkan menasihati ular tersebut dengan berkata “wahai ular, itu adalah bisikan Iblis. Bagaimana mungkin aku mendekati hal yang telah dilarang oleh Tuhanku dan berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan perintahNya.”

Singkat cerita, gagal menggoda Adam, Iblis mencoba mendekati Hawa. Masih dengan menggunakan ular, Iblis mengganti trik. Dikatakannya kepada Hawa bahwa Adam dan Hawa diperkenankan untuk memakan buah khuldi sebagai hadiah ketaatan mereka kepada Allah. Awalnya Hawa tidak mempercayai, tapi Iblis kembali memberikan bujukan dan rayuan mautnya.

Pohon Khuldi dijaga oleh dua malaikat penjaga. Rayuan Iblis yang menyarankan Hawa untuk mencoba mendekati pohon itu untuk membuktikan bahwa dia tidak akan dicegah sehingga menjadi dasar pembenar tindakan pelanggaran Hawa telah nyata-nyata membuat Hawa terkecoh.  Pada saat Hawa bersedia mencoba, Malaikat penjaga pohon pun heboh berusaha melarang dan menyelamatkannya, namun turunlah wahyu yang menahan mereka:

“Kalian Aku perintahkan untuk menjaganya dari mahluk-mahluk yang tidak berakal, adapun bagi mereka yang telah Kuberikan kemampuan untuk menalar dan memilih, biarkan saja akal mereka yang telah Kujadikan hujjah bukti bagi dirinya yang menentukan. Kalau dia menuruti akalnya, maka dia berhak mendapatkan pahala-Ku, adapaun jika dia melanggar dan menylahi perintah-Ku maka dia berhak mendapatkan hukuman-Ku.”

Seakan membuktikan perkataan Iblis, Hawa dapat bebas mendekat pohon khuldi. Setelah Hawa puas memakan buah khuldi, dia pun memanggil Adam. Selanjutnya mereka berdua merasa menyesal dan bagaimana akhir kisah Adam dan Hawa selanjutnya sudah kita pahami semua.

Kisah mengenai Adam dan Hawa adalah pelajaran bagi kita. Sekali Allah menetapkan, merupakan kewajiban kita untuk menaatinya. Sungguh tidak ada lagi alasan bagi kita untuk berkelit, mengatakan kita tidak tahu akan segala sesuatu. Kita bisa belajar menuntut ilmu hingga ke luar negeri, mengapa tidak berusaha untuk membuka Al Quran untuk mencari penerangan hidup, sementara Al Quran itu sudah ada tergeletak bertahun-tahun di salah satu sudut rak buku di rumah kita.

QS. 5:10
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."

QS.  2:269
Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

QS. 76:2
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.

QS. 76.3
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.

Jika saat ini di antara kita ada yang sedang terbuai dengan kemaksiatan, segeralah bertobat karena bisa jadi tidak lama lagi Allah akan menurunkan azabnya dan membinasakan kalian di saat kalian terlena.

Menyinggung persoalan zinah, saya ingin menyampaikan perenungan saya mengenai kenapa Allah sangat keras memperingatkan masalah ini.

Di dalam Islam, asal usul seseorang sangat diperhatikan. Asal usul di sini berarti asal usul yang hakiki, bukan yang ternyata di dalam secarik kertas yang berjudul akta kelahiran. Saat ini, dengan perzinahan yang semakin marak di mana-mana, baik yang dilakukan oleh seorang yang masih bujangan maupun yang sudah menikah, semakin banyak lahir anak-anak di luar kawin atau anak haram. Mengingat perzinahan itu kebanyakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka tentunya anak-anak tersebut juga menjadi tersembunyi asal usulnya atau yang dikenal dengan istilah confucio sanguinis.

Demi menutupi malu kepada manusia lain, seorang perempuan yang tidak bersuami bisa jadi menyerahkan anaknya ke panti asuhan, selanjutnya panti asuhan menyerahkan anak itu untuk diadopsi oleh sepasang suami istri. Kelak anak itu besar dan mulai berumah tangga, dengan identitas yang kerap sudah dipalsukan, dia pun menikah. Bukan tidak mungkin anak itu menikah dengan orang yang memiliki pertalian darah dengannya. Ternyata laki-laki atau perempuan yang dinikahinya itu adalah saudara tirinya. Dalam keadaan normal dan nyata, tentu kita akan mencegahnya karena incest.

Contoh lain lagi, seorang suami meninggalkan pasangan zinahnya yang sudah sampai menghasilkan anak haram. Demi menjaga keutuhan rumah tangganya, seorang suami tidak bersedia mengakui anak haramnya sebagai anaknya. Setelah berpisah bertahun-tahun dan anak-anak sah dan haramnya tumbuh dewasa, mereka berkenalan lalu menikah, kembali scenario di atas terulang. Masih syukur jika pernikahan semacam itu bisa dicegah, tapi jika tidak lagi bisa dicegah dengan beragam alasan, malu kepada orang lain karena sudah  terlanjur hamil, terlanjur tidak bisa dipisahkan, terlanjur lain-lainnya.
Belum lagi jika perzinahan dilakukan oleh seorang wanita yang masih menjadi istri seseorang sampai menghasilkan anak. Tentu saja si suami tidak mengetahui kalau janin yang dikandung istrinya hasil benih orang lain, bisa jadi kelak si suami tetap memperlakukan anak itu sebagai anak kandungnya sendiri. Ketika anak itu dewasa, jika dia anak perempuan, tentunya dia bukan muhrim bagi ‘bapak’nya. Demikian pula ketika dia akan menikah, tidak sah jika suami ibunya yang menikahkan karena memang dia bukan anak dari orang yang disangkanya bapaknya itu.

Kita bisa menilai betapa kompleksnya persoalan perzinahan ini. Pernikahan seperti apa yang bisa diharapkan jika sejak awal pun sudah tidak sah. Untuk kasus perkawinan incest, kalaupun tidak ketahuan oleh manusia lain, akibatnya tetap tidak bisa dihindarkan. Penyakit yang mungkin diderita oleh keturunan yang dihasilkan dari perkawinan incest semacam itu menjadi suatu hal yang sering ditemui.

Sungguh Iblis dan antek-anteknya mampu membungkus segala sesuatu yang buruk menjadi indah, marilah kita semua senantiasa memohon perlindungan kepada Allah dari godaan Iblis dan setan yang terkutuk. Aamiin ya rabbal alamin.
Mohon maaf jika ada kata-kata saya yang tidak berkenan.

Rasuna, 25 Maret 2011
Nela Dusan

Blog: Amazing Race, Amazing Life
www.gusnelia.blogspot.com


04 March 2011

Robbighfirli…



Setiap kali kita shalat kita selalu membaca

Robbighfirli        :            ampuni aku Tuhan
Warkhamni        :            dan kasihanilah aku
Wajburni            :            dan tutupi kekuranganku
Warfa’ni             :            dan tinggikan derajatku
Warzukni            :            dan berilah aku rejeki
Wahdini             :            dan berilah aku petunjuk
Wa’afini             :            dan berilah aku kesehatan
Wa’fuanni          :            dan maafkan aku     

Kita mengakui betapa rendah, hina dan tidak berdayanya kita di hadapanNya. Namun, kenapa kita masih belum bisa menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kita minta ampun kepada Tuhan untuk setiap dosa-dosa yang kita perbuat tetapi melupakan kenyataan bahwa dosa tersebut bukan hanya buruk di mata Tuhan, tetapi juga menyakiti hati manusia lain. Sementara kita tidak pernah berpikir harus meminta maaf kepada orang-orang yang tersakiti, padahal seandainya kita paham bahwa ampunan Allah akan diberikan setelah diperolehnya maaf dari orang-orang yang pernah tersakiti oleh kita. Allah mensyaratkan bahwa tidak cukup sekedar tobat kepadaNya namun perbaikan sikap antar manusia.

Kita memohon belas kasihan Tuhan, sementara yang sering kita lakukan adalah saling menindas. Kita menampakkan kelemahan kita kepadaNya sementara kita menunjukkan taring kepada sesama manusia. Bersikap tidak adil kepada seseorang atau keluarga kita. Kezaliman tidak melulu identik dengan status social. Tidak selalu orang yang mampu yang melakukan kezaliman terhadap manusia lain, dapat saja kezaliman dilakukan oleh orang-orang dari golongan tidak mampu. Setiap orang merasa dizalimi, tidak ada yang mau disebut menzalimi. Marilah kita ingat, pada akhirnya perhitungan Allah-lah yang berlaku apakah kita yang menzalimi atau terzalimi.

Kita merengek kepada Allah agar ditutupi kekurangan kita, aib kita, sementara kita tidak pernah berhenti untuk terus membuat aib baru. Betapa beraninya kita, menumpuk aib hari demi hari, dan menyuruh Tuhan untuk menutupinya. Dapatkah kita bayangkan jika Allah tidak berkenan lagi menutup aib tersebut, sanggupkah kita mengangkat wajah kita menatap manusia lain, sanggupkah kita bersikap memerintah seperti raja kepada manusia lain dan masih sanggupkah bibir kita untuk berkata bohong demi menutupi segala perbuatan sia-sia kita?

Kita meminta agar derajat kita ditinggikan sementara kita tidak bersedia mengikuti perintahNya dan menjauhi laranganNya. Derajat seperti apakah gerangan yang kita harapkan? Kekuasaan atas manusia lain tanpa batas? Kemashuran di kalangan penduduk bumi? Pahamilah bahwa ketinggian derajat di mata Allah tidak identik dengan kejayaan versi duniawi.  Lebih baik tidak terkenal di kalangan penghuni bumi tetapi terkenal di kalangan penghuni langit.
Kita melantunkan permohonan agar dilimpahi rejeki namun bersikap serabutan seakan dengan segudang uang, setumpuk deposito, berkilogram emas, adalah ukuran kecukupan menurut kita. Sehingga kita lupa kepada siapa kita bermohon rejeki. Dalam berburu rejeki yang kita minta kepadaNya, kita justru melupakanNya.

Kita memohon diberi petunjuk tetapi dengan pongahnya tetap menetapkan cara kita sendiri dalam mengatasi setiap persoalan. Ikhlas merupakan istilah yang tabu. Kita berbangga diri dengan kepandaian yang kita miliki, dengan pendidikan setinggi langit yang kita raih, dengan gelar sarjana, doktor, professor yang kita punya. Siapakah kita jika bukan berkat karuniaNya, sementara ilmu yang diberikan Tuhan kepada manusia hanyalah setetes air di samudera yang maha luas, sungguh tiada berarti. Takkan sanggup ilmu kita yang secuil itu mengatasi persoalan hidup yang demikian banyak kecuali dengan petunjukNya.

Kita memohon agar diberi kesehatan karena kita tidak berdaya mempertahankan kesehatan. Demikian lemahnya manusia, untuk menepis sakit flu saja tidak mampu. Bagaimana bisa banyak di antara kalangan dokter yang mengingkari fakta bahwa kesehatan kita adalah karuniaNya, bukan berkat obat-obatan yang dijualnya. Padahal dapat dikatakan merekalah golongan manusia yang berkesempatan menyaksikan langsung kebesaran Tuhan melalui segala ihwal manusia ciptaanNya. Kita beranggapan kesehatan identik dengan panjang umur, namun banyak diantara kita yang memohon umur panjang agar dapat bebas melanjutkan perbuatan menumpuk dosa, aib dan perbuatan mudharat lainnya di sisa hidup kita ini. Belum ada kilatan niat untuk memperbanyak ibadah, mulai melaksanakan amar makruf, nahi munkar, sementara detik demi detik kematian kian menjelang. Marilah kita berdoa agar diberikan usia yang berkah, bukan yang panjang.

Kita berdoa, “Ya Allah maafkan aku. Maafkan untuk segala kelemahanku, untuk segala kekuranganku”, bahkan kita berani meminta maaf untuk segala kesengajaan kita berbuat dosa. Kita juga meminta maaf untuk ketiadaan waktu untuk menghadapNya lima kali sehari, untuk bersyukur karena dengan rahmatNya kita dengan bebas menghirup oksigen yang disediakannya secara cuma-cuma. Kita meminta maaf karena belum bisa berkomitmen dengan kebenaran. Maaf…maaf…dan hanya maaf yang bisa kita ucap.

Sesungguhnya tidak cukup sekedar kata maaf, permohonan ampun atau tobat kepada Sang Maha Kuasa tanpa disertai niat untuk mengubah diri. Marilah kita bermohon kepada Allah swt agar diberi kekuatan untuk dapat segera hijrah menuju ridhaNya. Amin.

Rasuna, 4 Maret 2011
Nela Dusan

03 March 2011

KALA IBLIS MENERIMA LAPORAN…

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Suatu hari Iblis menerima laporan dari anak buahnya, “hari ini saya berhasil memisahkan si fulan dari istrinya”, “hari ini saya berhasil memperdayai dan menghasut istri si fulan agar menuntut cerai dari suaminya”…dan banyak lagi laporan-laporan sejenis lainnya. Ini bukanlah penggalan berita yang ditayangkan oleh infotainment yang menjadi suguhan tetap televisi yang jelas-jelas berisi ghibah, tetapi laporan yang diterima Iblis itu adalah nyata dan memang demikian mekanisme yang berlaku di antara Iblis dan pasukannya.

Saya tergerak membicarakan mengenai laporan Iblis untuk hal yang satu ini menilik kecenderungan manusia jaman sekarang ini memandang rendah arti pernikahan karena beragam faktor dan alasan. Meskipun sudah menjadi berita sehari-hari yang tidak lagi istimewa, membicarakan masalah yang satu ini bagi saya masih tetap membuat hati ini berdebar, perut saya rasanya melilit, terbayang kesedihan dan kehancuran hati malaikat-malaikat kecil kita, ada hati-hati kecil yang remuk redam cuma gara-gara salah satu atau kedua orang tua mereka berpaling satu sama lain atau berpaling ke orang lain.

Pernahkan teman-teman merenungi kenapa sekarang ini sangat mudah bagi seorang suami atau istri untuk memutuskan menceraiberaikan keluarganya sendiri? Kisah mengenai percakapan antara pasukan Iblis dengan sang Iblis saya sampaikan demi membuat teman-teman memahami betapa skenario Iblis untuk menjerumuskan manusia sungguh taktis dan strategis.

Kenapa saya katakan demikian, karena keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah adalah keluarga yang mampu menghasilkan keturunan yang kuat, anak-anak yang sholeh dan sholehah, tempat kita bergantung doa kelak saat kita menghuni rumah kita di alam barzakh yang akan menerangi kubur kita yang berukuran 1x2 meter dengan amalan dan doa mereka yang diijabah oleh Allah swt, hanya karena mereka tergolong anak-anak yang sholeh dan sholehah. Tentunya akan sia-sia pekerjaan Iblis dan pasukannya yang sudah berusaha keras menggoda manusia, jika pada akhirnya Allah mengampuni dosa hambaNya. Namun memang demikianlah janji Allah swt kepada siapapun manusia yang memohon ampun kepadaNya.

Jelas iblis berkepentingan dengan urusan amar makruf nahi munkar ini. Iblis menginginkan setiap manusia melakukan yang dilarang dan melalaikan yang diwajibkan. Segala hal yang menuju kebaikan merupakan pantangan dalam kamus Iblis. Kita tentu ingat bahwa Iblis juga diijinkan oleh Allah swt untuk menggoda anak cucu adam sampai Hari Perhitungan nanti. Yang pasti Iblis tidak ingin hanya golongannya saja yang akan menghuni neraka jahannam yang kekal, naudzubillah. Meskipun Allah mengijinkan Iblis menggoda manusia, namun Allah Maha Pemberi Rahmat telah berjanji akan memberikan ampunan kepada siapapun yang bertobat dengan taubatan nasuha.

Saya pernah menulis mengenai masalah perkawinan dalam Kisah Tentang Sepasang Rel Kereta. Saya ingin membicarakan lebih lanjut mengenai masalah ini karena sepertinya memang Iblis dan anteknya sangat berambisi untuk merusak setiap rumah tangga, termasuk rumah tangga yang diawali dengan kesucian. Saya ingin membicarakan pernikahan yang sakral dan suci yang kemudian dirusak oleh Iblis berserta pasukannya.

Saya tidak bermaksud menggurui siapa pun, bahkan saya sendiri pun tidak memiliki kemampuan membaca nasib perkawinan saya sendiri. Namun, saya memiliki keyakinan bahwa Allah Maha Pelindung dan maha luas kasih sayangNya, sehingga saya tidak mau membiarkan diri saya menjadi takut, khawatir yang berlebihan apalagi sampai paranoid terhadap segala sesuatu yang bukan di bawah kendali kita. Bagi saya segala sesuatu yang bukan di bawah kendali kita adalah batas kemampuan kita, itulah pagar maya yang kita harus sadari. Diluar itu semua, merupakan pengaturan mutlak dari Allah swt. Salah satu hal yang semestinya berada di bawah kendali kita adalah cara kita bersikap tatkala datang suatu musibah ke dalam hidup kita. Kita memiliki pilihan, apakah kita berjuang mati-matian untuk menyelesaikan persoalan yang ada menurut cara dan kemampuan kita, atau kita memilih untuk berserah diri kepada Sang Maha Kuasa, Maha Pengatur. Petunjuk telah diberikan oleh Allah swt tersebar dalam Al Qur’an, kita hanya perlu membacanya.

Kembali ke masalah perkawinan yang sah dan suci. Kenapa Iblis menjadikan perusakan perkawinan menjadi satu divisi sendiri dimana ada anteknya yang diberi tanggung jawab untuk memastikan rencana mereka berhasil, yaitu menggiring suatu rumah tangga menuju kehancuran.

Rumah tangga adalah platform bagi kita untuk membina keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah. Bagi setiap muslim, hendaknya mereka menikah karena berarti mereka telah menyempurnakan sebagian ibadahnya, imannya, disamping mengikuti sunah Rasul. Menikah memberikan kita kesempatan untuk menjaga kehormatan.

Banyak rumah tangga saat ini yang goyah bahkan hancur berantakan dikarenakan seorang suami atau istri tergoda wanita atau laki-laki lain. Jika ditanya, rata-rata jawaban mereka adalah mereka sudah tidak menemukan kebahagiaan lagi bersama pasangan masing-masing. Sungguh disayangkan jika suatu rumah tangga, apalagi di dalamnya telah lahir anak-anak yang lucu, pintar, yang siap dibina untuk menjadi anak yang sholeh dan sholehah, dengan mudahnya diluluhlantakan hanya oleh nafsu yang sekejap, sepejam mata, namun membawa akibat dan mudharat yang dahsyat.

Banyak lelaki yang sudah menikah menjadikan Firman Allah mengenai poligami sebagai dasar pembenar perbuatan zalim mereka.

Poligami merupakan suatu opsi, bukan kewajiban, bukan pula dimaksudkan sebagai hak istimewa yang mesti selalu diambil oleh seorang lelaki muslim. Poligami diijinkan dengan syarat-syarat yang demikian tegasnya. Mari kita sama-sama lihat ketentuan yang berbicara mengenai Poligami yang ada dalam Al Quran Surat An Nissaa:

QS: 4.3

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

QS: 4.129

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Sementara itu, di sisi lain, banyak perempuan yang amat membenci poligami dan ironisnya perempuan itu justru perempuan yang datang kemudian dalam hidup si laki-laki yang umumnya kita kenal sebagai perempuan simpanan atau wanita idaman lain. Kerap mereka memaksa para lelaki yang takluk di bawah lutut mereka untuk menceraikan istri lelaki tersebut sebelum dia bersedia dinikahi oleh lelaki yang lemah tersebut. Memang sungguh ironis, kebanyakan perempuan simpanan sangat mengetahui bahwa laki-laki yang mendekatinya itu sudah berkeluarga dan umumnya mereka hanya memiliki satu keinginan yang nyata terhadap dirinya, yaitu mengajaknya berzina. Sungguh naïf jika seorang wanita, dewasa yang genap akal pikirannya, sampai tidak memahami niat yang terpancar dari sikap seorang lelaki seperti itu.

Al Quran juga mengatur mengenai kriteria pemilihan istri bagi lelaki muslim. Berdasarkan Surat Al Maa-idah ayat 5, Allah sudah mengarahkan mengenai criteria wanita yang layak untuk dijadikan istri. Di dalam ayat yang sama Al Quran juga menyinggung mengenai wanita simpanan dan menyebutnya secara spesifik dengan istilah gundik. Bunyi ayat itu selengkapnya:

[QS 5: 5]

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.

Al Qur’an telah menyinggung mengenai perihal perselingkuhan, jadi masalah perselingkuhan ini bukan masalah baru yang cuma dihadapi oleh rumah tangga mahluk akhir zaman seperti kita-kita ini. Sungguh tragis, jika kita pernah mendengar praktek kawin kontrak, nikah siri yang mungkin dilakukan pula oleh para ahli ibadah sekelas ustad atau kyai terkenal, yang dilakukan untuk melegitimasi perbuatan zina. Allah swt tidak membicarakan mengenai hukum formal ala manusia yang kerap menggunakan akal pikirannya untuk mengambil keuntungan bagi diri mereka sendiri.

Allah swt menegaskan prinsip kebenaran yang mutlak yang hanya hati nurani kita sendiri yang mampu menjawab dan menilainya, bahkan akal pikiran terkadang tidak lagi mampu karena telah dicemari dan dikendalikan oleh hawa nafsu.

Poligami merupakan lembaga yang sakral bukan untuk disalahgunakan untuk melegitimasi hawa nafsu para lelaki. Pada prakteknya poligami dijadikan alasan pembenar bagi para lelaki untuk memuaskan hawa nafsu mereka terhadap wanita yang jelas-jelas tidak memenuhi kriteria dalam Al Qur’an tersebut, yaitu:

  1. perempuan yang menjaga kehormatannya;
  2. perempuan yang beriman;
  3. niat menikahi sebelum terjadinya perzinahan;
  4. bukan untuk berzina; dan
  5. bukan untuk dijadikan gundik.

Sungguh ironis jika seorang suami mengorbankan anak dan istrinya demi menikahi perempuan yang tidak mampu menjaga kehormatan terbukti sudah pernah dizinahinya sebelum adanya pernikahan untuk melegitimasi perzinahan yang sudah terus menerus dilakukan sebelumnya, semuanya hanya untuk alasan sederhana mencari kebahagiaan. Sementara dia berani menzalimi istri dan anak-anaknya yang dapat berakibat pada kehancuran masa depan anak-anak dan kelak memukul dirinya sendiri karena gagal membina anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan sholehah.

Apakah kita memahami kebahagiaan seperti apa yang kita cari di dunia ini, sementara tujuan keberadaan kita di dunia ini hanya satu yaitu menjadi khalifah Allah yang pekerjaannya hanya satu yaitu menyembahNya. Kita di sini bukan mencari kebahagiaan kita masing-masing, bahkan kita kembali kepadaNya kelak pun hanya sendiri, sebagaimana firman Allah swt dalam Surat Al An’am ayat (94):

Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami kurniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafaat yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. Sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).

Satu hal lainnya yang kita harus waspadai dari cara kerja Iblis beserta antek-anteknya adalah, mereka sangat piawai membungkus istilah yang dipakai sehingga mempesona kita, mereka canggih mengemas suatu perbuatan sia-sia dan memberi nama yang memukau manusia. Antara lain, mereka mampu mengemas perzinahan dengan istilah kasih sayang, kebahagiaan; merendahkan perempuan dengan mendandani mereka berpakaian hingga hampir telanjang dengan istilah mode yang ngetrend, sexy, menghargai tubuh yang indah, yang membuat kaum perempuan yang lemah akalnya bisa melayang ke langit ke-7 tanpa sadar dirinya tengah dieksploitasi oleh kaum pria. Bahkan seorang perempuan rela difoto bugil atas nama seni, sungguh itu semua hasil kerja setan, Iblis dan seluruh pasukannya.

Memiliki anak sholeh adalah kepentingan kita sendiri, bukan orang lain. Sungguh aneh jika seorang suami dan bapak, juga seorang istri dan ibu, tidak memahami hal itu. Setelah kita meninggal maka terputus pulalah amal ibadah kita selama di dunia ini kecuali tiga hal:

  1. ilmu yang bermanfaat;
  2. amal jariyah;
  3. doa anak yang sholeh.

Sebaiknya kita pikirkan hal itu sebelum mengambil keputusan untuk berselingkuh, bercerai atau berpoligami yang tidak sesuai dengan tata cara menurut Al Qur’an dan hadits. Janganlah kita memperlakukan hidup ini seperti tengah berjudi. Demi mencari kebahagiaan di dunia kita sampai mengorbankan kehidupan akhirat yang kekal. Terlalu besar taruhannya, kehidupan yang kekal di surga atau neraka jahannam, sungguh keputusan itu bukan keputusan yang sederhana.

Semoga kita semua selalu berada dalam lindunganNya. Amin ya rabbal alamin. Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan.

Rasuna, 29 November 2010

Nela Dusan

SUJUDLAH, SEBAGAIMANA DIPERINTAHKANNYA IBLIS UNTUK BERSUJUD KEPADA ADAM

Seringkali kita mendapati situasi dimana kita harus bersedia menerima kenyataan yang kita tidak sukai, misalnya, berurusan dengan orang yang pernah menzalimi kita, berhubungan kembali dengan orang yang pernah menghancurkan hidup kita, menerima seseorang kembali ke dalam lingkungan kita padahal orang itu pernah membuat kita sangat marah pada suatu masa.

Sebenarnya apa yang kita tidak terima dari orang itu, orangnya, perilakunya atau situasinya kah yang membuat kita merasa tidak lagi bisa menerimanya? Sikap ketidaksukaan kita pada seseorang biasanya lahir dari suatu peristiwa yang mungkin menyakitkan bagi kita. Misalnya jika dulu kita pernah punya atasan yang ‘kejam’ sehingga membuat kita keluar dari kantor yang lama saking tidak tahan menghadapi orang tersebut, dan kita sempat bertekad tidak mau lagi bertemu dengan orang tersebut sampai kapanpun. Contoh lainnya, jika seorang istri atau suami mendapati pasangan hidupnya menghianati kepercayaan dan kehormatan mereka, tentunya menjadi pengalaman yang traumatis dan sangat sulit untuk dimaafkan apalagi dilupakan. Banyak kasus terjadi dimana perkawinan itu berakhir dengan perpisahan atau perceraian yang tentunya memakan korban, sekurangnya, anak-anak hasil perkawinan tersebut. Contoh lainnya lagi, misalnya kita mempunyai saudara yang barangkali karena keegoisannya membuat hidup kita menjadi tidak nyaman, hingga terjadi percekcokan di antara saudara yang berakhir dengan putusnya silaturahmi antar saudara. Demikian pula halnya antar sahabat, sangat mungkin terjadi perselisihan paham antara beberapa orang yang bersahabat, bisa karena hal yang prinsip, bisa juga karena hal yang sangat sederhana.

Alasan prinsip atau sederhana bisa jadi hal sangat subyektif, akan tetapi sebenarnya dapat kita ukur berdasarkan norma-norma kepatutan dan norma agama, dalam hal ini tentunya berdasarkan Al Quran dan Hadits bagi kaum muslimin. Kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan yang sering kita alami tentunya turut berperan membentuk watak dan sifat kita saat ini.

Satu hal yang paling berpengaruh terhadap cara kita bereaksi dan berinteraksi paska kejadian yang menyakitkan tadi adalah kekerasan hati. Dalam haditsnya Rasulullah mengatakan bahwa Allah tidak menyukai orang yang keras hati, karena kekerasan hati menjauhkan orang tersebut dari Allah. Kekerasan hati membuat kita tidak mampu menerima kebenaran dan cenderung menyalahkan atau meremehkan orang. Sungguh buruk efek dari keras hati karena perilaku tidak mau menerima kebenaran dan meremehkan orang identik dengan sifat sombong.

Tentunya kita semua sudah mengetahui kisah yang disebutkan dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 34 dan Surat Al Kahf ayat 50 mengenai kejadian diperintahkannya Malaikat dan Iblis untuk bersujud kepada Adam oleh Allah SWT, Malaikat tanpa komentar langsung melaksanakan perintahNya, namun Iblis menolak. Betapa nekatnya Iblis, itu selalu menjadi komentar saya dalam hati setiap kali mengingat atau membaca ayat Al Quran tersebut. Iblis menolak dengan mendalilkan asal muasal bahan ciptaannya, dia diciptakan dari api sedangkan Adam ‘hanya’ dari tanah yang hina. Bagi Iblis cukuplah alasan itu baginya menolak perintah Allah, Sang Maha Pencipta, yang juga menciptakan dirinya juga, sangat ironis bukan. Bagaimana mungkin Iblis berpikir menolak perintah bersujud kepada mahluk yang lebih hina darinya merupakan suatu tindakan yang hak, sementara dia sangat tahu bahwa yang memerintahkannya adalah Allah yang telah menciptakannya juga, Sang Maha Kuasa. Mari kita renungkan kisah sensasional penolakan Iblis atas perintah Allah yang mengakibatkan dirinya tercerabut dari Surga dan tidak akan pernah kembali lagi ke Surga.

Sebelum terjadinya ‘insiden’ penolakan tersebut konon Iblis juga merupakan hamba Allah yang taat. Namun, hanya melewati satu ujian kecil dari Allah ia tak mampu. Jika kita pikirkan lagi, apa sebenarnya yang menyulitkan atau menghalangi Iblis dari sujud yang diperintahkan atasnya tersebut? Kiranya jawabannya adalah kesombongan yang mengakibatkan kekerasan hati. Jika Iblis tidak mengikuti kata hatinya yang sombong, tentunya dia akan bersegera memenuhi perintah Allah tersebut, jika Iblis tidak mempertahankan kekerasan hatinya, tentunya dia akan sangat mendengarkan perintah Allah dan melaksanakannya karena begitulah cara kita membuktikan ketaatan kita kepadaNya. Bagaimana mungkin Iblis berpikir menaati Allah, menjadi hambaNya yang patuh, sementara sikapnya menentang.

Kadang dalam hidup ini, hubungan antar manusia saja bisa diwarnai dengan ajang pembuktian kepatuhan, yang sederhana adalah jika kita ingin menjadi warga negara yang baik, maka mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara itu menjadi suatu kewajiban kita dan membawa implikasi hukum terhadap setiap pelanggaran yang kita lakukan.

Jadi, kembali kepada kisah Iblis versus Adam tadi, jika saja Iblis menuruti perintah Allah, tentunya kita semua tidak akan pernah terlempar keluar Surga, karena Adam tidak akan sampai diperdaya Iblis untuk mendekati pohon terlarang yang mengakibatkan murkanya Allah. Jika Iblis berpikir sehat, tentunya dia tahu ketaatan kepada Allah sang pemberi perintah derajatnya jauh lebih tinggi daripada rasa terhinanya karena harus bersujud pada manusia yang diciptakan dari tanah. Allah murka kepada Iblis bukan karena sakit hati Adam tidak mendapat penghormatan dari Iblis, tetapi karena Allah tidak memperoleh pembuktian ketaatan hambanya, dalam hal ini Iblis. Ketaatan manusia dan jin kepada Allah Sang Khalik adalah mutlak dan tanpa syarat. Hal itu disampaikan oleh Allah dalam Al Quran Surat Adz Dzaariyaat ayat (56), bahwa tidak dijadikan jin dan manusia selain untuk menyembahNya.

Dalam kehidupan kita sehari-hari kadang kita menemui kisah serupa dengan kisah Iblis dan Adam tadi. Seorang istri atau suami merasa demikian bencinya untuk menerima pasangannya yang dianggap berkhianat, padahal pasangannya itu sudah meminta maaf. Memang tidak mudah bagi kita untuk melalui pengalaman yang menyakitkan seperti itu. Hampir semua dari kita pernah mengalami ujian atau cobaan dalam hidup. Sesungguhnya Allah sudah memperingatkan kita akan adanya ujian tersebut. Jika kita menyadari bahwa setiap ujian atau cobaan yang datang kepada kita adalah atas ijin Allah, maka tentunya kita pun harus bisa menerima setiap hal yang terkait di dalamnya. Setiap ujian atau cobaan dari Allah hanya bisa diselesaikan berdasarkan keikhlasan, ketaklukan semata kepada Allah, lantas kenapa kita tidak bersedia menuntaskannya dengan menetapkan sendiri syarat-syarat yang kita anggap bisa diterima atau menyenangkan diri kita?

Yang saya maksud adalah setiap ujian pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Hikmah itu hanya dapat kita peroleh jika kita berusaha merenunginya, mengoreksi diri. Keberanian untuk jujur kepada diri kita sendiri insya Allah menghasilkan hasil perenungan yang memberikan pencerahan diri. Kadang kita lupa bahwa mungkin sikap-sikap kita selama ini kurang pas, meremehkan orang lain, sombong, menganggap diri paling sempurna, menganggap diri paling utama, merasa yakin paling dicintai, dsb. Semua sikap itu terus kita pertahankan hingga datang waktunya Allah mengubah segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Satu saat kita berada di puncak kemegahan, kekuasaan, kejayaan dan kekayaan, detik lain kita terpuruk di tempat yang terendah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Situasi itulah yang melahirkan ungkapan ‘roda berputar’. Keberhasilan seorang manusia melewati ujian adalah ditandai dengan perubahan dalam sikapnya, jika semula sombong maka ia berubah menjadi rendah hati, jika semula ia seorang yang sangat kasar dan keras hati maka menjadi menjadi lembutlah hatinya, segala hal yang mengarah pada kebaikan dan bermanfaat; dan meninggalkan semua yang mudharat.

Melampaui suatu ujian berarti pula menerima segala konsekuensinya. Salah satu dari konsekuensi itu adalah melanjutkan hidup dan berhubungan kembali dengan orang atau pihak yang sebelumnya mungkin bermusuhan dengan kita. Kerelaan kita untuk menerima suatu konsekuensi adalah harus berdasarkan kesadaran untuk menaati perintah Allah yang menurut pandangan saya bisa kita sebut sebagai ‘underlying obligation’. Jika menyangkut menerima kebenaran, kita harus bisa menundukkan kesombongan karena adanya ‘underlying obligationnya’ adalah kita tidak boleh sombong, terdapat Hadits yang mengatakan bahwa tidak akan pernah seseorang masuk surga jika masih ada kesombongan dalam hatinya.

Jika menyangkut memaafkan orang, barangkali silaturahim merupakan salah satu kelanjutan dari proses memaafkan seseorang. Silaturahim diwajibkan oleh Allah, Rasulullah mengatakan pula keutamaan dari silaturahim dalam beragam hadits sehingga jika terjadi benturan antara harga diri, ego, perasaan sakit hati, terhina, dsb dengan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh Allah swt atas kita, maka yang manakah yang harus kita utamakan?

Secara naluriah, setiap manusia akan menarik diri, melindungi dirinya dari sakit hati, wujudnya bisa jadi menolak untuk bertemu dengan orang yang bersangkutan, bahkan memilih untuk memutus tali silaturahim demi memuaskan nafsu amarahnya. Dalam kondisi demikian, manusia cenderung melupakan bahwa menaati perintah Allah adalah prioritas, melebihi haknya untuk melindungi dirinya dari sakit hati. Sebagaimana sakitnya hati seorang istri yang harus merelakan suaminya berpoligami dengan seorang pelacur, misalnya. Bagaimana dia harus bisa menerima kenyataan hidup berdampingan dengan perempuan nista yang barangkali derajatnya jauh dibawahnya.

Sedikit menyinggung lebih jauh mengenai masalah poligami, terlepas dari penyalahgunaan lembaga poligami oleh kaum muslim sendiri yang pada prakteknya saat ini lebih banyak ditujukan untuk melegitimasi nafsu hewani, terbukti dengan betapa banyaknya proses poligami itu sendiri yang dimulai dengan penghianatan dan perzinahan yang sama sekali bertentangan dengan ketentuan Al Quran, baik hal tersebut dilakukan oleh manusia yang buta agama maupun oleh seorang ahli ibadah, menunjukkan penodaan terhadap lembaga poligami yang sakral yang sebenarnya justru sangat melindungi kepentingan perempuan muslim dalam kedudukannya sebagai istri pertama atau istri-istri yang sudah ada sebelumnya.

Sungguh ironis, lembaga poligami justru sering ditentang oleh perempuan yang datang belakangan yang dibuktikan dengan tuntutan menceraikan istri pertama sebelum si laki-laki bisa meminangnya. Banyak kita temui, laki-laki muslim yang tanpa alasan menceraikan istrinya demi menuruti permintaan kekasih gelapnya itu, meskipun ia tahu dia dapat memilih berpoligami dan sang istri itu pun sudah memberikan ijin untuk poligami. Banyak lelaki muslim yang tidak bertanggung jawab atau (pura-pura) tidak mengerti tanggung jawabnya sebagai suami dan bapak dari anak-anaknya dengan repot-repot membina rumah tangga baru dengan perempuan ‘idaman’nya sementara buah hatinya hancur berantakan. Kebahagiaan apa yang hendak dicapai dengan cara demikian, sungguh tragis bukan.

Kadang manusia membodohi dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dengan poligami dia melakukan ibadah kepada Allah swt seakan-akan poligami menjadi suatu kewajiban yang melampaui segudang kewajibannya yang sudah ada dan belum tentu telah dia tunaikan dengan baik sebagai seorang suami yang sah terhadap istrinya yang sah berdasarkan pernikahan yang suci. Bahkan kadang para lelaki muslim yang bersikeras melaksanakan poligami justru melakukan hal-hal yang menzalimi istri pertamanya beserta anak-anak mereka. Bagaimana mungkin suatu perbuatan yang diklaim sebagai amal ibadah yang berlandaskan iman dan ketakwaan kepada Allah swt sementara perbuatan itu sendiri justru dipenuhi kezaliman.

Seseorang yang bertakwa dan beriman kepada Allah pastilah lembut hatinya dan tidak ada kemampuan untuk berbuat zalim kepada orang lain apalagi kepada darah dagingnya sendiri. Semua itu bisa terjadi hanya karena kebanyakan manusia melakukan poligami dalam kondisi kesesatan yang nyata. Bagaimana tidak, apakah mungkin seorang yang beriman dan bertakwa berani melakukan perzinahan? Apakah mungkin perzinahan yang dilakukannya luput dari azab Allah sehingga selanjutnya membuatnya terjebak dalam kesesatan? Keputusan seperti apa yang diambil oleh seseorang dalam keadaan kesesatan yang nyata, tentunya keputusan yang sangat jauh dari ridha Allah.

Poligami adalah suatu pintu exit yang semestinya digunakan hanya apabila terjadi kondisi darurat dan kondisi darurat itupun sudah diatur secara jelas dalam Al Quran dan Hadits. Setiap pelanggaran terhadap tata cara poligami itu serta motif atau alasan di belakangnya pasti wajib dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Maha Adil.

Kembali lagi kepada masalah ketaklukan kita kepada Allah, betapapun sakit hati kita, jika kita sudah memutuskan untuk menjalani suatu ujian berdasarkan keikhlasan kepada Allah, maka hendaknya kitapun siap pula untuk ikhlas menerima setiap konsekuensinya. Salah satu bentuk konsekuensi dari ujian keikhlasan dalam hal poligami adalah menerima perempuan ‘murahan’ yang sudah memporakporandakan rumah tangga seorang istri pertama itu ke dalam kehidupan keluarga mereka. Dapat dibayangkan betapa sulitnya seorang istri pertama untuk menerima kenyataan harus berbagi suami dengan perempuan yang telah menghancurkan keluarganya, bisa jadi ia seorang pelacur berdasarkan profesinya maupun karena perbuatannya. Dalam situasi yang sangat sulit tersebut, mari kita bayangkan situasi pada saat mana Iblis yang menolak perintah sujud kepada Adam. Iblis menolak perintah Tuhan karena merasa derajatnya lebih tinggi, padahal yang memerintahkannya adalah Sang Khalik sendiri. Demikian halnya dengan situasi yang dihadapi seorang istri pertama yang relatif merasa derajatnya lebih tinggi dari perempuan simpanan suaminya, jika dia sudah ikhlas dengan poligami, maka semestinya persoalan dengan siapa dia berbagi suami sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi. Bukan berarti dia merasa takut kepada suaminya atau tidak berdaya menghadapi desakan istri muda suaminya itu, namun ia hanya takut jika Allah menganggap dia tidak ikhlas menerima ketetapanNYa, sebab jika dia tidak bisa mengikhlaskan dia dapat memilih untuk bercerai yang mana meskipun tidak disukai oleh Allah namun diperkenankan.

Jika kita mengedepankan harga diri, sakit hati, martabat kita sehingga kita berani melanggar ketetapan Allah, naudzubillah, jangan sampai kisah durhakanya Iblis kepada Allah menjadi terulang oleh kita sendiri. Sujud dalam konteks ujian setiap manusia adalah menerima ketetapan Allah berikut semua konsekuensinya dengan lapang dada yang didasarkan pada keikhlasan.

Allah memiliki hak prerogatif dalam menetapkan setiap ujian atau cobaan bagi tiap-tiap hambaNya, semuanya tidak lain untuk kebaikan kita sendiri, Allah Maha Kaya, tidak ada kebutuhan apapun dariNya kepada kita. Semua ujian didatangkan kepada kita hanya untuk menaikkan derajat kita sendiri di mataNya. Masing-masing kita memiliki tanggung jawab sendiri yang harus kita pertanggungjawabkan pada saat hari pembalasan kelak. Dalam situasi saat ini banyak kita temui orang-orang yang sedang tersesat dan orang-orang itu besar kemungkinannya bersinggungan dengan kita dalam suatu masa dalam bentuk konflik.

Setiap ujian selalu diberikan berpasangan, seburuk apapun perlakuan yang kita peroleh dari seseorang dan jika kita memaafkannya serta mengikhlaskan sakit hati dan ketidakberdayaan kita itu semata kepada Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik, sungguh tidak ada kerugian sedikitpun bagi kita. Meskipun pasangan cobaan kita berbuat zalim, namun jika dia menyadari perbuatannya dan memperoleh hidayah serta bertobat kepadaNya, niscaya Allah mengabulkan tobatnya tersebut. Jika yang bersangkutan tidak pernah memperoleh hidayah sekalipun, janji Allah kepada orang yang berbuat zalim dan sesat adalah pasti. Tidak pun di dunia ini kita menyaksikan balasannya terhadap orang-orang tersebut, perhitungan Allah tidak pernah meleset sedikit pun.

Bersikap ikhlas adalah ibaratnya meminum obat untuk mengobati penyakit kita, jika kita yang meminum obat, kita pula yang akan mengalami kesembuhan. Demikian pula halnya dengan ikhlas, jika kita yang memilih ikhlas, maka kita pula yang terhindar dari sakit hati. Keikhlasan kita menerima suatu cobaan dalam bentuk kezaliman seseorang kepada diri kita, tidak sekalipun mengurangi bobot kezaliman orang itu di mata Allah. Jika ikhlas adalah penawar sakit hati dari kezaliman atau ujian, maka tobat adalah satu-satunya obat dari perbuatan zalim. Kezaliman seseorang wajib dipertanggungjawabkan sampai yang bersangkutan bertobat kepada Allah dan Allah menerima tobatnya tersebut. Semoga kita semua masih sempat bertobat sebelum malaikat maut memisahkan nyawa dari raga kita.

Renungan ini sekedar pengingat bagi kita semua, terutama bagi diri saya sendiri. Menyadari betapa lemahnya kita sebagai manusia dan sedemikian gencarnya Iblis beserta pasukannya, baik dari kalangan jin sendiri maupun dari kalangan manusia, ada baiknya kita senantiasa saling mengingatkan, nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Semoga Allah swt selalu melindungi kita semua dari godaan setan yang terkutuk. Amin ya rabbal alamin.


Rasuna, 9 April 2010

Nela Dusan