23 August 2008

DOA DI USIA 40


Dalam diam aku mendengar tanya
Apakah yang kuinginkan sebagai kado ulang tahunku?
Hari ini genap usiaku 40 tahun
Usia yang baik untuk memulai hidup

Aku memimpikan hari dimana aku masih memiliki kesempatan
Untuk mendatangi Tuhanku
Memohon ampun dan berdoa kepadaNya
Aku mengharapkan Tuhan memanjangkan nyawaku
Agar sampai hari ulang tahunku yang ke 40
Karena aku tahu saat itu hari yang bakal membawa berkah bagiku
Hari yang baik untuk memulai hidup

Ya Allah, aku memohon ampun kepadaMu
Permohonan ampun seorang manusia yang tidak tahu malu
Ampuni aku ya Rabbi untuk semua kebodohan dan kesia-siaan yang kulakukan
Dalam paruh hidupku

Ya Allah, aku berdoa kepadaMu
Permohonan doa seoarang anak yang boleh jadi sempat durhaka
Kepada kedua orang tuanya, semasa hidup mereka
Aku bermohon doa kepadaMu,
Demi letih lelah bundaku membopongku selama sembilan bulan dalam kandungannya
Demi air susu bundaku yang membuatku dapat tumbuh menjadi balita
Demi air mata kesedihan bundaku menyaksikan kenakalanku
Demi air mata bundaku yang jatuh ke dalam melihatku semakin menjauh

Aku bermohon doa kepadaMu ya Rabbi,
Demi ketegaran ayahku membesarkanku
Demi kebijaksanaannya mengasuh dan mendidikku
Aku bermohon sangat kepadamu ya Rabbi,
Berilah mereka ampunanmu, kasihanilah ayah dan bundaku Ya Rabbi

Ya Allah, aku berdoa kepadaMu
Untuk keselamatan suami dan anakku
Masukkanlah anak cucuku ke dalam golongan mahlukMu yang kuat
Jangan engkau biarkan mereka menjadi kaum yang lemah,
yang mudah terperdaya hawa nafsu
Peliharakan mereka Ya Allah,
Selamatkan mereka dunia akhirat
Pertemukanlah kami kembali kelak di surgaMu

Ya Allah, perkenankanlah doaku
Doa yang Engkau janjikan
Sampaikanlah usiaku menjadi 40 tahun
Agar dapat kumohonkan ampunanMu
Agar dapat kumintakan rahmatMu

Hari ini genap usiaku 40 tahun
Kuhampiri Engkau hai Zat Yang Maha Memberi
Karuniakanlah segala kebaikan yang pernah Kau limpahkan
Kepada orang-orang saleh yang menjadi kesayanganMu
Masukkanlah aku ke dalam golongan yang selalu dalam lindunganMu
Janganlah Kau sesatkan aku setelah Kau beri aku petunjuk

Ampuni aku ya Allah
Jadikanlah aku manusia yang memberikan manfaat bagi manusia lain
Tanpa menjadi jumawa
Jauhkan aku dari semua jenis kesombongan
Seperti kesombongan seorang Karun yang Kau benamkan dalam perut bumi
Atau kesombongan seorang Firaun yang kau tenggelamkan di dasar lautan
Jauhkan aku dari kesesatan
Baik yang nyata
Maupun kesesatan yang dibalut pujian


Nela Dusan
Rasuna, 23 Agustus 2008

17 August 2008

INDONESIA, QUO VADIS?

Hari ini kita merayakan ulang tahun ke 63 kemerdekaan negeri yang semestinya dapat tumbuh menjadi salah satu negara terbesar dan paling sejahtera di muka bumi ini. Waktunya mengkaji lagi apa yang sudah kita punya setelah 63 tahun merdeka. Jika seorang manusia, maka usia 63 terbilang usia lansia, usia dimana seharusnya seseorang mendapatkan penghormatan sebagai orang tua, usia yang semestinya cukup membuat seseorang menjadi lebih bijaksana, seseorang yang pada akhirnya mulai menyiapkan dirinya untuk menutup bab akhir dalam hidupnya, siap menghadap sang Khalik.

Namun tidak semua orang berusia 63 tahun cenderung pada hal-hal yang positif, atau menyambut panggilan nuraninya kembali ke fitrah sebagai mahluk ciptaan Yang Maha Pencipta. Banyak diantara manusia yang menginjak usia 63 dan lebih, bertingkah seperti mahluk yang tidak berakal. Manusia yang seperti itu juga tersebar di semua golongan, mulai dari gelandangan, pekerja, pengusaha sampai dengan pejabat pemerintah. Jumlah mereka pun tidak sedikit, bahkan sepertinya hari demi hari, semakin banyak orang di negeri kita ini yang melakukan ‘hijrah’ justru ke jalan yang salah.

Kembali kepada pokok pembicaraan kita, usia 63 tahun Indonesia. Apa yang sudah kita punya? Kebobrokan, korupsi, keserakahan, kemiskinan, kemelaratan dan berujung pada kehilangan harga diri. Semuanya adalah faktor yang disebabkan oleh ulah manusia Indonesia sendiri, belum lagi kondisi alam Indonesia yang terletak di pertemuan dua rangkaian gunung berapi di dunia ini, pertemuan dua lempeng benua yang memang tidak akan pernah berhenti bergerak, seperti yang sudah ditakdirkan oleh Allah Pencipta semesta alam, semua juga terjadi di bumi kita tercinta ini, Indonesia.

Sebelum kita menjadi kufur nikmat, hanya menyuarakan sisi negatif dari negeri ciptaan Tuhan YME belaka, kita harus selalu ingat betapa berlimpahnya karunia yang diberikan olehNya yang terkandung di dalam bumi kita tercinta ini. Emas, berlian, minyak bumi, batu bara, kayu, bijih besi, gas, bahkan hasil laut, perikanan, sebut saja, semuanya ada di bumi Indonesia. Apa lagi yang kurang ? Namun, coba lihat, apa yang kita dapat dengan semua modal yang sudah diberikan Tuhan kepada kita selama ini? Sepertinya tidak banyak. Kenapa ?

Satu pertanyaan sederhana, kenapa ? pertanyaan yang memaksa kita untuk berpikir dalam menjawabnya. Banyak kemungkinan jawaban yang bisa diberikan untuk pertanyaan sederhana tersebut, dari semua bagi saya yang paling masuk akal adalah karena sebagian besar kita, bangsa Indonesia, telah kehilangan harga diri. Harga diri itu telah lenyap karena telah ditukarkan dengan sejumlah materi yang tidak seberapa harganya.

Jika kita mau merenung sedikit, kenapa negara Malaysia yang berpenduduk cuma sekitar 20 juta manusia itu sepertinya sudah tidak punya ‘hormat’ sedikitpun terhadap saudaranya yang jumlahnya 200 juta yang hari demi hari justru menjadi tambang emas buat sebagian masyarakat negeri jiran tersebut. Benar bukan bahwa di bumi Indonesia inilah warga dan negara Malaysia mendapatkan rejeki, dari kebun kelapa sawit ‘bekas kepunyaan’ bangsa Indonesia yang ada di Sumatera, Kalimantan, kayu-kayu gelondongan ilegal milik rakyat Indonesia yang diselundupkan ke negeri tetangga kita dengan ‘kerja sama’ dengan oknum manusia Indonesia sendiri.

Kita sering terjebak dalam pembicaraan yang sifatnya kasuistis, seperti beberapa tahun yang lalu, pada saat kepulauan ambalat menjadi topik hangat, nasionalisme bangsa seperti tergelitik, lalu kasus perlakuan pendatang haram dari Indonesia yang diperlakukan tidak manusiawi di Malaysia, semua orang merasa sakit hati, yang terakhir kasus pemukulan wasit karate asal Indonesia dan penangkapan istri diplomat kita di Malaysia, kita semua marah, lantas apa yang terjadi ? jawabannya hanya gelengan kepala, ‘tau ah gelap’ kira-kira demikian artinya.

Kita kaya tapi kita juga sangat miskin. Pada akhirnya kita semua harus menyadari bahwa untuk menegakkan harga diri juga diperlukan kekuatan ekonomi. Saya heran, untuk membeli amunisi kita tidak mampu, tetapi saya pernah melihat mobil berplat hijau alias tentara keluaran pabrikan mewah, sekelas Harrier dan Range Rover berkeliaran di jalan-jalan Jakarta. Sungguh ironis, untuk membeli amunisi bagi pertahanan militer kita tidak punya uang, tapi untuk bermewah-mewah di jalan sepertinya ada uang.

Sungguh ironis, negara sekaya ini tidak memiliki kekuatan pertahanan yang memadai. Negara kita kaya tapi sayang yang kaya adalah individunya, pejabatnya, pemimpinnya bukan negaranya. Jangankan berperang melawan Amerika, melawan Malaysia yang penduduknya 10 persen Indonesia saja pun belum tentu kita mampu. Kita punya prajurit yang banyak, tapi apa arti angkatan bersenjata jika tidak memiliki peluru, tentara minus senjata barangkali jadi lebih mirip dengan pramuka atau hansip ya. Jika pun Bung Karno masih ada saat ini, pasti beliau pun hanya akan tersenyum dan angkat bahu jika ada yang meneriakkan yel-yel ‘ganyang Malaysia’, yah Malaysia saat ini tidak sama dengan Malaysia jaman dulu bung.

Kita kaya, tapi kekayaan itu mengalir ke luar negeri, baik melalui pemindahan resmi yang dilakukan oleh para investor asing yang beritikad baik, maupun pemindahan arus uang yang illegal yang berasal dari transaksi illegal oleh pihak-pihak yang illegal, termasuk di dalamnya hasil jarahan kekayaan alam, konon termasuk hasil korupsi pejabat pemerintahan sipil maupun polisi di perbatasan, semua orang tahu, semua orang maklum.

Ironis bukan, uang hasil jarahan negeri kita mengalir keluar dengan mudah namun sangat sulit untuk kembali dengan alasan hukum, kepatuhan Indonesia akan rejim peraturan global mengenai pencucian uang justru semakin membuat kita menjadi miskin. Kita kaya tapi kita harus berhutang dari luar negeri yang barangkali berasal dari uang haram para oknum Indonesia sendiri, dalam bentuk beragam jenis investasi oleh beragam SPV. Jadi kita sudah dua kali rugi, sudahlah dijarah, tidak bisa meminta balik pula.

Orang Indonesia cenderung maklum jika melihat seorang petugas polisi berstatus orang kaya di mata masyarakat, terang aja, dia kan polisi. Mungkin pada kesempatan lain, terang aja, dia kan hakim, dia kan jaksa, dia kan camat, pegawai departemen, dsb. Lah kita semua tau berapa sebenarnya gaji seorang perwira polisi, jaksa, hakim, pegawai negeri, dsb, lantas dari mana mereka bisa membeli apartemen, rumah di pondok indah, mobil Cheyenne, X5, menyekolahkan anak di Amerika atau sekurangnya Australia, dsb. Mungkin menjadi salah satu ‘kelebihan’ dari orang Indonesia, memaklumi segala sesuatu, tidak peduli apakah suatu hal itu positif atau negatif. Termasuk juga pada saat Dubes kerajaan Arab Saudi menyatakan bahwa seorang TKW yang dipukul sampai mati oleh majikannya adalah takdir, sepertinya semua pejabat Indonesia turut mengamininya.

Kematian seseorang memang takdir, tetapi itu adalah bagi yang bersangkutan, sang korban. Bagi orang yang ditinggalkan menyisakan persoalan hukum tentunya, bahkan negara Saudi Arabia yang berasaskan hukum Islam berdasarkan Al Qur’an berani menyepelekan persoalan itu dengan pernyataan takdir, bukankah hukum Islam masih berlaku di sana? bukankah keadilan juga sudah dijamin berdasarkan Al Qur’an? kenapa hukum qhisash tidak diberlakukan bagi si pembunuh TKW? apakah karena yang terbunuh adalah seorang TKW yang dalam kamus orang arab barangkali diterjemahkan sebagai budak menjadikannya halal? Mungkin karena korbannya seorang budak dan yang melakukan pembunuhan, jika benar terjadi, adalah tuannya (majikannya) sehingga terdapat loophole hukum di sana. Jika pun ada loophole, bagaimana peran nilai-nilai universal yang selalu didengungkan oleh kalangan Barat, yaitu hak asasi manusia dalam kasus TKW tersebut? tampaknya kasus TKW tersebut pun tidak dikategorikan kasus yang menyangkut manusia, apakah TKW bukan manusia?

Kalau memikirkan masalah perlakuan majikan para TKW Indonesia khususnya di Arab dan Malaysia atau di Negara manapun para TKI itu berada, rasanya perut ini menjadi mules. Tidak adakah satu orangpun di Departemen Agama yang memahami hukumnya pembunuhan oleh majikan seperti ini berdasarkan syariat agama dan memperjuangkan hak korban sehingga tercapai keadilan? tidak adakah satu orangpun di Departemen Tenaga Kerja Indonesia yang mampu membela hak-hak tenaga kerja Indonesia yang notabene warga negara Indonesia.

Tampaknya privilege hukum belum ditakdirkan menjadi milik seluruh warga negara Indonesia, masih meliputi orang-orang ‘pilihan’, entah karena jabatannya atau karena uangnya. Padahal kalau kita mau sedikit merenung, kita mestinya menyadari betapa besarnya sumbangan para TKI itu terhadap pembangunan bangsa ini, mereka telah memberikan sumbangan devisa kepada negara. Ditengah-tengah perilaku sebagian warga yang menghambur-hamburkan devisa, mereka justru bak pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka menghidupi keluarga dengan taruhan harga diri dan nyawa.

Tidakkah semestinya pemerintah Indonesia berterima kasih kepada mereka karena sebagian kewajiban Pemerintah kepada warga Negara yang mungkin telah memilih mereka waktu pemilu silam telah ditunaikan oleh para konstituen itu sendiri tanpa mengeluh, tanpa merasa dieksploitasi oleh negara, demi sesuap nasi. Tidakkah Pemerintah menyadari bahwa semestinya penyediaan lapangan kerja juga merupakan tanggung jawab kepada rakyat Indonesia.

Tampaknya menjadi kebiasaan umum orang Indonesia untuk bersikap reaktif jika terjadi sesuatu tetapi selanjutnya lupa memikirkan kenapa suatu hal buruk tersebut terjadi. Sepanjang sejarah manusia, keberhasilan menyelesaikan suatu masalah sangat bergantung pada kemampuan kita mengevaluasi duduk perkara suatu masalah. Tidak bisa kita menyelesaikan masalah dari akibat. Kita harus menyelesaikan masalah dari sebab. Menyelesaikan masalah dari akibat ibaratnya membasmi kanker yang hanya ada di liver sementara akarnya ada di paru-paru, tetap saja tidak tuntas.

Lebih jauh lagi, hal lain yang sangat penting untuk dicermati jika kita ingin menyelesaikan persoalan dari sebab adalah kemampuan kita menganalisa dan mengevaluasi data dan fakta sehingga sampai pada kesimpulan yang tepat, dengan begitu akar masalahlah yang kita selesaikan, tidak kasuistis sifatnya. Mungkinkah para petinggi negeri ini menyelesaikan setiap persoalan yang ada dengan hati yang jernih, pikiran yang terang, bebas dari nuansa kepentingan pribadi atau golongan? Adakah kemampuan kalian untuk melakukan hal itu wahai segenap pemimpin negeri ini? Atau barangkali persoalannya adalah lebih kepada masalah kemauan daripada kemampuan.

Kembali pada kondisi umum Indonesia yang menurut pandangan saya yang bodoh ini sudah hampir sekarat, apakah akar masalah yang harus diselesaikan oleh para petinggi negeri ini sesungguhnya? Barangkali jawaban bodoh saya adalah kembalikan dulu harga diri kita sebagai suatu bangsa, barulah kita bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi tidak hanya dengan negara tetangga kita, tetapi seluruh negara dan bangsa di dunia ini. Oknum anak bangsa telah merusak dan menghancurkan fitrah kita sendiri sebagai bangsa yang sejatinya bangsa yang besar dan kuat.

Tampaknya kebutuhan akan adanya suatu perubahan dalam sikap dan akhlak manusia Indonesia sudah sangat mendesak. Adakah seseorang yang nekat menjadi pemimpin dan menjadi lokomotif bangsa ini tanpa ditunggangi motif ekonomi?

Saya merindukan pemimpin yang amanah dan tidak takut miskin jika dengan demikian dia bisa menegakkan kebenaran di negara ini, pemimpin yang tidak perlu merasa berutang budi pada siapapun sehingga harus menutup mata pada semua penyimpangan atau ketidakbenaran yang saat ini terjadi.

Seorang pemimpin yang mampu menyadarkan sebagian besar bangsa Indonesia yang sedang kesurupan demokrasi, yang mengingatkan kita semua bahwa demokrasi adalah tidak lebih dari alat atau media mencapai tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang lebih baik, bukan menjadi tujuan akhir seperti yang tampak sebagai fenomena yang umum paska lengsernya almarhum Suharto. Kembalikan demokrasi kepada hakikatnya, jangan lanjutkan demokrasi kebablasan ala Indonesia.

Saya merindukan pemimpin yang memiliki visi yang ditularkan kepada seluruh bangsa ini, visi yang membangkitkan kembali harga diri semua anak bangsa. Barangkali menyenangkan kalau di negara kita tidak ada orang yang teramat kaya namun juga tidak ada yang teramat miskin. Barangkali terdengar sangat sosialis di telinga para kapitalis. Kita tahu, sudah tidak ada lagi yang namanya sosialisme di dunia ini, semua sudah berganti baju kapitalisme, semua sudah menuhankan uang dengan versinya masing-masing, ada oligarkhi di Rusia, ada kapitalis versi Cina, dsb. Bagi saya, masak bodoh lah, mau sosialis atau kapitalis, yang penting terjemahannya adalah kesejahteraan bagi semua manusia Indonesia.

Lagi-lagi, saya mesti melihat kenyataannya saat ini, ah malangnya nasibmu Indonesia, bibir ini hanya bisa berucap lirih…’quo vadis Indonesia di usiamu yang 63 tahun ini ’.


Rasuna, 17 Agustus 2008
Nela Dusan

02 August 2008

MANUSIA NGEPET


Sebagai remaja tahun 80an, sewaktu kecil hingga remaja, saya sering mendengar cerita-cerita tentang pemujaan atau istilah populernya adalah ‘muja’. Saat itu tentu saja belum ada sinetron horror seperti sekarang ini, paling-paling yang ada tayangan film bioskop horor yang biasanya (selalu) dibintangi oleh Suzana atau Farida Pasha secara bergantian.

Dalam bayangan saya, setting tempat pemujaan adalah letaknya di gunung, ada gubuk atau gua tempat bertapa dengan asap dan bau kemenyan yang khas. Biasanya ada batu yang dijadikan altar dan ada dukun atau orang pintar yang menjadi tempat konsultasi orang-orang kota yang umumnya pedagang atau pengusaha. Barangkali selalu ada ‘klien’ sang dukun di semua kalangan masyarakat, mulai dari petani, pedagang, pegawai negeri, bahkan mungkin juga ada pelajar dan mahasiswa yang tercatat sebagai klien, mungkin saya saja yang tidak mengetahui siapa mereka.

Biasanya orang-orang yang nekat mendatangi tempat yang bisa jadi merupakan markas dedemit itu adalah orang-orang yang sudah sedemikian desperate-nya ingin cepat mewujudkan impian masing-masing, ada yang ingin cepat kaya, ingin punya jabatan, kalau sudah menjabat, ingin naik jabatan yang tinggi sekali, ingin lulus ujian bagi pelajar (wah kalau benar demikian proses belajarnya, seperti apa kualitas manusianya ya), dengan sesedikit mungkin usaha tentunya. Kalau saya gunakan istilah sesedikit mungkin usaha artinya adalah tanpa modal yang berarti (kalau bisa modal dengkul saja). Modal dibatasi hanya modal awal berkonsultasi dengan sang dukun berikut ongkos transportasi ke gunung sana, akomodasi bisa jadi gratis karena sudah termasuk biaya konsultasi dengan sang dukun, jadi setelah berkonsultasi bisa numpang nginap di goa atau gubuk sang dukun, sambil sekalian bertapa, sangat praktis.
Dalam film atau komik seputar dukun, biasanya digambarkan percakapan antara sang dukun sebagai wakilnya setan dengan manusia yang sudah memutuskan untuk mengejar kehidupan dunianya saja. Dukun akan bertanya apa tujuan kedatangan si klien (mungkin pertanyaan basa-basi, mestinya sebagai dukun dia sudah tahu kan apa isi kepala orang yang mendatanginya). Konon, orang yang berkonsultasi tersebut akan diberikan jimat atau aji-ajian untuk diamalkan, mestinya amalan yang diperintahkan sang dukun tidak ada yang sesuai dengan akidah agama manapun.

Adakalanya guna mencapai tujuan agar banyak uang, sang klien diberikan amalan supaya bisa mengubah diri menjadi babi yang nantinya akan berkeliaran di malam hari untuk mencuri uang orang lain termasuk para tetangganya sendiri. Mungkin ada juga teknik-teknik derivatif lainnya, seperti memelihara tuyul, jimat, dsb. Dari sekian banyak teknik muja, saya tertarik menyoroti praktek babi ngepet dan memelihara tuyul. Dua teknik ini, meski berbeda media, namun digunakan untuk tujuan yang sama yaitu memindahkan uang orang lain alias mencuri.
Apakah sedemikian mudah mencari uang? Bagi saya justru menjadi babi atau menyusui tuyul merupakan pekerjaan yang tidak terbayangkan, apalagi kalau ternyata kedua syarat itu tidak cukup. Masih ada lagi irrevocable and unconditional undertaking lainnya dari si klien yang wajib ditepati berdasarkan perjanjian berbau kemenyan tersebut.
Undertaking itu bisa berupa kewajiban penyerahan tumbal yang ternyata bisa beragam jenisnya. Bisa jadi tumbalnya mereka dalam bentuk larangan untuk memiliki anak, rumahnya tidak boleh bermegah-megah, mungkin tidak boleh tidur di atas kasur yang empuk padahal uang hasil babi ngepet tadi bisa membeli lusinan tempat tidur sekelas King Koil. Yang parahnya lagi adalah tampaknya tidak ada kesempatan untuk pensiun, tampaknya perjanjiannya berlaku sampai maut memisahkan nyawa dari raga.
Yang saya pernah dengar, salah satu tumbal yang paling mengerikan adalah anak, akan ada suatu masa dimana orang tersebut harus menyerahkan nyawa anaknya (entah untuk digunakan sebagai apa) alias kematian anak atau anak-anaknya. Saya membayangkan betapa teganya si bapak yang memutuskan melakukan praktek muja dengan mengorbankan anaknya hanya untuk mendapatkan kekayaan yang dipikirnya merupakan satu-satunya tujuan hidup di dunia yang fana ini.
Perjanjian kemenyan ini menurut hemat saya jauh lebih efektif daripada perjanjian setebal kaleng kerupuk yang dibuat oleh seorang lawyer kaliber internasional yang mewakili bank pemerintah sekalipun. Namanya juga melangsungkan perjanjian dengan setan, ya sudah pasti enforcementnya terjamin, bukan setan namanya kalau tidak sadis.
Perjanjian itu juga kurang lebih setara efektifnya dengan perjanjian leasing motor. Dengan modal uang Rp 500 ribu seseorang bisa membawa pulang motor, mudah dan murah bukan. Memang mudah dan sangat murah, tapi coba saja mangkir bayar cicilan motor, sekejap motor ditarik, meskipun si debitur yang bersangkutan tengah mengendarai motor itu beserta anak dan istrinya atau sedang bertamu di rumah calon mertua.

Suatu kali saya teringat kejadian yang menimpa tetangga saya dulu. Kami punya tetangga pengusaha sukses dan suatu hari anaknya meninggal tersengat listrik, kalimat yang terlontar dari mulutnya adalah ‘kenapa harus anak saya yang diambil’ dia mengucapkan kalimat itu berulang-ulang dalam bahasa Sunda. Konon tetangga kami itu ditengarai muja di Gunung Kawi (sampai saat ini pun saya masih bertanya-tanya apakah memang tempat ini ada atau hanya rekaan orang semata). Dia memiliki semacam perumahan kecil bagi karyawannya di salah satu bagian tanahnya yang sangat luas untuk ukuran Jakarta (sekitar 5.000m2). Konon pula banyak kisah aneh yang terjadi, beragam musibah yang menimpa keluarga karyawan hingga akhirnya sampai terjadi musibah yang menimpa anaknya sendiri.
Sebenarnya bukan hal aneh, semua yang bernyawa sudah pasti akan mengalami kematian, sesuatu hal yang semestinya sangat wajar menjadi peristiwa luar biasa karena menimpa keluarga tersebut. Warga kampung sekitar rumah saya saat itu mengatakan Bapak X sudah kena batunya, kali ini dia tidak bisa lagi mengganti tumbalnya dengan karyawannya, dia harus membayar semua kenikmatan yang sudah diambilnya selama ini, persis seperti pengendara motor yang ngemplang cicilan dimana motornya langsung dirampas tanpa bisa berbuat apa-apa, tukang muja seperti halnya tetangga saya tersebut juga harus gigit jari waktu menghadapi kenyataan anaknya ‘dirampas’. Entah benar atau tidak kisah tersebut, wallahualam.
Sekarang, kita lihat kondisi yang ada di sekitar kita saat ini. Istilah muja sudah lama tidak hadir dalam percakapan dengan teman-teman sehari-hari, sepertinya kata muja itu sudah menjadi satu istilah purbakala yang biasanya diberi referensi ‘archaic’ di dalam kamus bahasa Inggris.
Saya ingin membayangkan suatu percakapan yang terjadi dengan latar belakang tempat sebagai berikut. Pertemuan terjadi antara orang-orang terpandang, mungkin berjas dan berdasi, mungkin berpangkat dengan mengenakan kemeja batik sutra dengan harga jutaan. Biasanya tempat yang paling sering menjadi tempat pertemuan mereka adalah lobby lounge dari suatu hotel berbintang 5, atau pembicaraan sambil makan malam di restoran yang tarifnya sekitar 250 ribu per orang. Melihat setting tempat yang demikian bisa kita bayangkan harum ruangan bercampur dengan harumnya parfum mahal yang dipakai oleh para manusia yang terlibat pertemuan di sana.
Sepenggal percakapan yang biasanya terjadi antara seorang yang ‘butuh’ dan seseorang yang ‘dibutuhkan’ sebagai contoh adalah percakapan seorang aparat polisi yang berpangkat Kapten dengan seorang broker nasional Indonesia yang sudah barang tentu networknya tidak perlu diragukan lagi. Sang polisi telah memutuskan akan melakukan lobi (istilah modernnya muja) supaya bisa merubah nasibnya agar dapat segera setara dengan kolega polisi lainnya yang sudah lebih dahulu hidup mentereng.

“…jadi saya mohon bantuan bapak agar dapat memindahkan saya ke posisi yang saya ceritakan tadi itu pak.”
“Mmhh…jadi begitu.” Sang ‘godfather’ berkata sambil manggut-manggut sebelum melanjutkan,
“…ah itu sih perkara mudah buat saya. Kamu akan saya pastikan sampai Jenderal, tapi satu syarat yang harus kamu penuhi.” Si polisi mendengarkan dengan seksama, hampir-hampir lupa bernapas, ah sebentar lagi dia akan menduduki posisi basah (tak heran Jakarta selalu kebanjiran, terlalu banyak orang-orang yang berdoa untuk mendapatkan posisi basah) dan selanjutnya harta akan datang berlimpah, “ah...sebentar lagi saya akan jadi orang kaya dan berpengaruh” demikian kurang lebih pikirannya.
“Apapun yang bapak minta, saya akan penuhi.”
Nah ijab kabul perjanjian dengan setan dimulai. Sang polisi tidak sabar menyerahkan segala yang dia miliki demi mendapatkan janji dari sang broker yang sudah mulai berlagak seperti tuhan. Sepertinya sang broker sangat menikmati pengulangan adegan yang sama dengan pengalamannya sendiri sewaktu menyerahkan jiwa dan raganya pada saat perjanjian dengan setannya (brokernya) yang pertama dulu.
“Saya akan jadikan kamu Jenderal tapi kamu tidak boleh lupa melayani saya kapan pun saya membutuhkan. Kamu harus memback-up saya dan keluarga saya sampai kapan pun. Bagaimana, sanggup?” si polisi yang sudah sangat desperate manggut-manggut mantap, ah kalau cuma itu sih masalah kecil, disuruh menyerahkan istri atau anak gadisnya pun barangkali dia sudah siap, yang penting kaya dan pangkat.
Alhasil komitmen keduanya telah terbentuk, sang godfather siap mengorbitkan si polisi dengan segala cara. Konsekuensi tentunya si polisi siap berkorban jiwa raga untuk godfathernya itu. Sungguh mirip bukan dengan adegan muja gaya primitif yang sering kita dengar jaman dulu itu. Hanya bedanya kostum para pelaku berbeda, aroma yang tercium berbeda. Kalau muja gaya primitif sarat dengan bau kemenyan, muja gaya modern ini penuh dengan wangi yang memabukkan, belum lagi wangi essential oil yang harum yang dibakar di tempat-tempat pertemuan tersebut.
Perbedaan lainnya adalah jika muja gaya primitive menggunakan teknik transformasi wujud pelaku, misalnya menjadi babi atau menyewa tuyul, kalau muja gaya modern semua itu sudah tidak perlu lagi digunakan. Muja gaya modern sungguh praktis, kenapa? Dalam muja gaya modern media babi atau tuyul tidak lagi diperlukan karena sudah digantikan oleh orang itu sendiri. Kalau dulu kita kenal orang yang muja itu sebagai babi ngepet, nah sekarang para pelaku muja gaya modern itu sendiri yang menjadi manusia ngepet.

Sejalan dengan perkembangan teknologi telekomunikasi yang semakin canggih dimana segala fasilitas yang dulu tidak terbayangkan sekarang sudah dirancang built-in dalam perangkat keras telepon genggam, kinipun teknologi muja di jaman modern ini mengalami pembaruan seolah-olah dilengkapi built-in ngepet device, semacam itulah. Orang yang sudah dilengkapi built-in ngepet device ini yang bisa kita sebut sebagai ‘manusia ngepet’, begitu kurang lebih.
Terdapat benang merah antara kedua kisah diatas, yaitu masalah irrevocable and unconditional surrender. Sekali janji dengan setan sudah terucap, tidak ada lagi pembatalan. Bisa kita bayangkan jika dulu setan merampas anak sebagai tumbal, kini apa yang akan dirampasnya melalui perjanjian aromatherapy semacam itu. Saya membayangkan misalnya suatu hari anak sang broker kedapatan sedang berpesta narkoba di suatu tempat dan sang polisi adalah petugas yang berwenang menangani perkara tersebut, kira-kira apa yang bisa dia lakukan untuk menunaikan kewajibannya sebagai aparat? Tidak ada tentunya, dia akan mencari sejuta cara agar anak sang godfather lolos dari jerat hukum. Atau misalnya, sang godfather terlibat suatu skandal, akankah si polisi yang pada saat itu mungkin sudah jadi pejabat mampu meloloskan godfathernya dari jerat hukum? Pasti si polisi akan dan wajib berupaya melakukan hal itu, karena hal itu merupakan bentuk pembuktian dari penghambaannya kepada si godfather, jika tidak tamatlah karirnya (setidaknya begitulah keyakinannya).
Pertanyaannya sekarang, ada berapa banyak pejabat pemerintah atau aparat negara ini yang melakukan praktek muja gaya modern semacam ini? jika benar praktek demikian yang terjadi di banyak kalangan pejabat, mimpi untuk memiliki negeri yang bersih dari kelaliman dan kezaliman akan semakin jauh dari kenyataan. Sesungguhnya orang-orang seperti itu yang kita lihat saat ini begitu terhormat, terpandang dan berkelebihan, tidak lebih dari segerombolan ‘manusia ngepet’. Saya tidak hendak membicarakan persoalan ini dari sudut pandang agama karena mau dilihat dari sudut pandang agama manapun praktek seperti itu tidak ada yang menyetujuinya.
Semestinya kita selalu mengingat bahwa segala bentuk penghambaan atau unconditional surrender kepada sesama mahluk ciptaan Zat Maha Pencipta semacam itu saja sudah merupakan salah satu dosa terbesar. Tanpa sadar kita telah melakukan tindakan syirik, sungguh tidak ada guna uang atau harta yang kita dapatkan dengan cara seperti itu. Pada akhirnya kita semua kembali hanya membawa kain kafan yang melilit di badan, tidak lebih. Semoga kita semua senantiasa dijauhkan dari hal-hal demikian. Amin.

Rasuna, 2 Agustus 2008
Nela Dusan (Gusnelia Tartiningsih)