17 August 2008

INDONESIA, QUO VADIS?

Hari ini kita merayakan ulang tahun ke 63 kemerdekaan negeri yang semestinya dapat tumbuh menjadi salah satu negara terbesar dan paling sejahtera di muka bumi ini. Waktunya mengkaji lagi apa yang sudah kita punya setelah 63 tahun merdeka. Jika seorang manusia, maka usia 63 terbilang usia lansia, usia dimana seharusnya seseorang mendapatkan penghormatan sebagai orang tua, usia yang semestinya cukup membuat seseorang menjadi lebih bijaksana, seseorang yang pada akhirnya mulai menyiapkan dirinya untuk menutup bab akhir dalam hidupnya, siap menghadap sang Khalik.

Namun tidak semua orang berusia 63 tahun cenderung pada hal-hal yang positif, atau menyambut panggilan nuraninya kembali ke fitrah sebagai mahluk ciptaan Yang Maha Pencipta. Banyak diantara manusia yang menginjak usia 63 dan lebih, bertingkah seperti mahluk yang tidak berakal. Manusia yang seperti itu juga tersebar di semua golongan, mulai dari gelandangan, pekerja, pengusaha sampai dengan pejabat pemerintah. Jumlah mereka pun tidak sedikit, bahkan sepertinya hari demi hari, semakin banyak orang di negeri kita ini yang melakukan ‘hijrah’ justru ke jalan yang salah.

Kembali kepada pokok pembicaraan kita, usia 63 tahun Indonesia. Apa yang sudah kita punya? Kebobrokan, korupsi, keserakahan, kemiskinan, kemelaratan dan berujung pada kehilangan harga diri. Semuanya adalah faktor yang disebabkan oleh ulah manusia Indonesia sendiri, belum lagi kondisi alam Indonesia yang terletak di pertemuan dua rangkaian gunung berapi di dunia ini, pertemuan dua lempeng benua yang memang tidak akan pernah berhenti bergerak, seperti yang sudah ditakdirkan oleh Allah Pencipta semesta alam, semua juga terjadi di bumi kita tercinta ini, Indonesia.

Sebelum kita menjadi kufur nikmat, hanya menyuarakan sisi negatif dari negeri ciptaan Tuhan YME belaka, kita harus selalu ingat betapa berlimpahnya karunia yang diberikan olehNya yang terkandung di dalam bumi kita tercinta ini. Emas, berlian, minyak bumi, batu bara, kayu, bijih besi, gas, bahkan hasil laut, perikanan, sebut saja, semuanya ada di bumi Indonesia. Apa lagi yang kurang ? Namun, coba lihat, apa yang kita dapat dengan semua modal yang sudah diberikan Tuhan kepada kita selama ini? Sepertinya tidak banyak. Kenapa ?

Satu pertanyaan sederhana, kenapa ? pertanyaan yang memaksa kita untuk berpikir dalam menjawabnya. Banyak kemungkinan jawaban yang bisa diberikan untuk pertanyaan sederhana tersebut, dari semua bagi saya yang paling masuk akal adalah karena sebagian besar kita, bangsa Indonesia, telah kehilangan harga diri. Harga diri itu telah lenyap karena telah ditukarkan dengan sejumlah materi yang tidak seberapa harganya.

Jika kita mau merenung sedikit, kenapa negara Malaysia yang berpenduduk cuma sekitar 20 juta manusia itu sepertinya sudah tidak punya ‘hormat’ sedikitpun terhadap saudaranya yang jumlahnya 200 juta yang hari demi hari justru menjadi tambang emas buat sebagian masyarakat negeri jiran tersebut. Benar bukan bahwa di bumi Indonesia inilah warga dan negara Malaysia mendapatkan rejeki, dari kebun kelapa sawit ‘bekas kepunyaan’ bangsa Indonesia yang ada di Sumatera, Kalimantan, kayu-kayu gelondongan ilegal milik rakyat Indonesia yang diselundupkan ke negeri tetangga kita dengan ‘kerja sama’ dengan oknum manusia Indonesia sendiri.

Kita sering terjebak dalam pembicaraan yang sifatnya kasuistis, seperti beberapa tahun yang lalu, pada saat kepulauan ambalat menjadi topik hangat, nasionalisme bangsa seperti tergelitik, lalu kasus perlakuan pendatang haram dari Indonesia yang diperlakukan tidak manusiawi di Malaysia, semua orang merasa sakit hati, yang terakhir kasus pemukulan wasit karate asal Indonesia dan penangkapan istri diplomat kita di Malaysia, kita semua marah, lantas apa yang terjadi ? jawabannya hanya gelengan kepala, ‘tau ah gelap’ kira-kira demikian artinya.

Kita kaya tapi kita juga sangat miskin. Pada akhirnya kita semua harus menyadari bahwa untuk menegakkan harga diri juga diperlukan kekuatan ekonomi. Saya heran, untuk membeli amunisi kita tidak mampu, tetapi saya pernah melihat mobil berplat hijau alias tentara keluaran pabrikan mewah, sekelas Harrier dan Range Rover berkeliaran di jalan-jalan Jakarta. Sungguh ironis, untuk membeli amunisi bagi pertahanan militer kita tidak punya uang, tapi untuk bermewah-mewah di jalan sepertinya ada uang.

Sungguh ironis, negara sekaya ini tidak memiliki kekuatan pertahanan yang memadai. Negara kita kaya tapi sayang yang kaya adalah individunya, pejabatnya, pemimpinnya bukan negaranya. Jangankan berperang melawan Amerika, melawan Malaysia yang penduduknya 10 persen Indonesia saja pun belum tentu kita mampu. Kita punya prajurit yang banyak, tapi apa arti angkatan bersenjata jika tidak memiliki peluru, tentara minus senjata barangkali jadi lebih mirip dengan pramuka atau hansip ya. Jika pun Bung Karno masih ada saat ini, pasti beliau pun hanya akan tersenyum dan angkat bahu jika ada yang meneriakkan yel-yel ‘ganyang Malaysia’, yah Malaysia saat ini tidak sama dengan Malaysia jaman dulu bung.

Kita kaya, tapi kekayaan itu mengalir ke luar negeri, baik melalui pemindahan resmi yang dilakukan oleh para investor asing yang beritikad baik, maupun pemindahan arus uang yang illegal yang berasal dari transaksi illegal oleh pihak-pihak yang illegal, termasuk di dalamnya hasil jarahan kekayaan alam, konon termasuk hasil korupsi pejabat pemerintahan sipil maupun polisi di perbatasan, semua orang tahu, semua orang maklum.

Ironis bukan, uang hasil jarahan negeri kita mengalir keluar dengan mudah namun sangat sulit untuk kembali dengan alasan hukum, kepatuhan Indonesia akan rejim peraturan global mengenai pencucian uang justru semakin membuat kita menjadi miskin. Kita kaya tapi kita harus berhutang dari luar negeri yang barangkali berasal dari uang haram para oknum Indonesia sendiri, dalam bentuk beragam jenis investasi oleh beragam SPV. Jadi kita sudah dua kali rugi, sudahlah dijarah, tidak bisa meminta balik pula.

Orang Indonesia cenderung maklum jika melihat seorang petugas polisi berstatus orang kaya di mata masyarakat, terang aja, dia kan polisi. Mungkin pada kesempatan lain, terang aja, dia kan hakim, dia kan jaksa, dia kan camat, pegawai departemen, dsb. Lah kita semua tau berapa sebenarnya gaji seorang perwira polisi, jaksa, hakim, pegawai negeri, dsb, lantas dari mana mereka bisa membeli apartemen, rumah di pondok indah, mobil Cheyenne, X5, menyekolahkan anak di Amerika atau sekurangnya Australia, dsb. Mungkin menjadi salah satu ‘kelebihan’ dari orang Indonesia, memaklumi segala sesuatu, tidak peduli apakah suatu hal itu positif atau negatif. Termasuk juga pada saat Dubes kerajaan Arab Saudi menyatakan bahwa seorang TKW yang dipukul sampai mati oleh majikannya adalah takdir, sepertinya semua pejabat Indonesia turut mengamininya.

Kematian seseorang memang takdir, tetapi itu adalah bagi yang bersangkutan, sang korban. Bagi orang yang ditinggalkan menyisakan persoalan hukum tentunya, bahkan negara Saudi Arabia yang berasaskan hukum Islam berdasarkan Al Qur’an berani menyepelekan persoalan itu dengan pernyataan takdir, bukankah hukum Islam masih berlaku di sana? bukankah keadilan juga sudah dijamin berdasarkan Al Qur’an? kenapa hukum qhisash tidak diberlakukan bagi si pembunuh TKW? apakah karena yang terbunuh adalah seorang TKW yang dalam kamus orang arab barangkali diterjemahkan sebagai budak menjadikannya halal? Mungkin karena korbannya seorang budak dan yang melakukan pembunuhan, jika benar terjadi, adalah tuannya (majikannya) sehingga terdapat loophole hukum di sana. Jika pun ada loophole, bagaimana peran nilai-nilai universal yang selalu didengungkan oleh kalangan Barat, yaitu hak asasi manusia dalam kasus TKW tersebut? tampaknya kasus TKW tersebut pun tidak dikategorikan kasus yang menyangkut manusia, apakah TKW bukan manusia?

Kalau memikirkan masalah perlakuan majikan para TKW Indonesia khususnya di Arab dan Malaysia atau di Negara manapun para TKI itu berada, rasanya perut ini menjadi mules. Tidak adakah satu orangpun di Departemen Agama yang memahami hukumnya pembunuhan oleh majikan seperti ini berdasarkan syariat agama dan memperjuangkan hak korban sehingga tercapai keadilan? tidak adakah satu orangpun di Departemen Tenaga Kerja Indonesia yang mampu membela hak-hak tenaga kerja Indonesia yang notabene warga negara Indonesia.

Tampaknya privilege hukum belum ditakdirkan menjadi milik seluruh warga negara Indonesia, masih meliputi orang-orang ‘pilihan’, entah karena jabatannya atau karena uangnya. Padahal kalau kita mau sedikit merenung, kita mestinya menyadari betapa besarnya sumbangan para TKI itu terhadap pembangunan bangsa ini, mereka telah memberikan sumbangan devisa kepada negara. Ditengah-tengah perilaku sebagian warga yang menghambur-hamburkan devisa, mereka justru bak pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka menghidupi keluarga dengan taruhan harga diri dan nyawa.

Tidakkah semestinya pemerintah Indonesia berterima kasih kepada mereka karena sebagian kewajiban Pemerintah kepada warga Negara yang mungkin telah memilih mereka waktu pemilu silam telah ditunaikan oleh para konstituen itu sendiri tanpa mengeluh, tanpa merasa dieksploitasi oleh negara, demi sesuap nasi. Tidakkah Pemerintah menyadari bahwa semestinya penyediaan lapangan kerja juga merupakan tanggung jawab kepada rakyat Indonesia.

Tampaknya menjadi kebiasaan umum orang Indonesia untuk bersikap reaktif jika terjadi sesuatu tetapi selanjutnya lupa memikirkan kenapa suatu hal buruk tersebut terjadi. Sepanjang sejarah manusia, keberhasilan menyelesaikan suatu masalah sangat bergantung pada kemampuan kita mengevaluasi duduk perkara suatu masalah. Tidak bisa kita menyelesaikan masalah dari akibat. Kita harus menyelesaikan masalah dari sebab. Menyelesaikan masalah dari akibat ibaratnya membasmi kanker yang hanya ada di liver sementara akarnya ada di paru-paru, tetap saja tidak tuntas.

Lebih jauh lagi, hal lain yang sangat penting untuk dicermati jika kita ingin menyelesaikan persoalan dari sebab adalah kemampuan kita menganalisa dan mengevaluasi data dan fakta sehingga sampai pada kesimpulan yang tepat, dengan begitu akar masalahlah yang kita selesaikan, tidak kasuistis sifatnya. Mungkinkah para petinggi negeri ini menyelesaikan setiap persoalan yang ada dengan hati yang jernih, pikiran yang terang, bebas dari nuansa kepentingan pribadi atau golongan? Adakah kemampuan kalian untuk melakukan hal itu wahai segenap pemimpin negeri ini? Atau barangkali persoalannya adalah lebih kepada masalah kemauan daripada kemampuan.

Kembali pada kondisi umum Indonesia yang menurut pandangan saya yang bodoh ini sudah hampir sekarat, apakah akar masalah yang harus diselesaikan oleh para petinggi negeri ini sesungguhnya? Barangkali jawaban bodoh saya adalah kembalikan dulu harga diri kita sebagai suatu bangsa, barulah kita bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi tidak hanya dengan negara tetangga kita, tetapi seluruh negara dan bangsa di dunia ini. Oknum anak bangsa telah merusak dan menghancurkan fitrah kita sendiri sebagai bangsa yang sejatinya bangsa yang besar dan kuat.

Tampaknya kebutuhan akan adanya suatu perubahan dalam sikap dan akhlak manusia Indonesia sudah sangat mendesak. Adakah seseorang yang nekat menjadi pemimpin dan menjadi lokomotif bangsa ini tanpa ditunggangi motif ekonomi?

Saya merindukan pemimpin yang amanah dan tidak takut miskin jika dengan demikian dia bisa menegakkan kebenaran di negara ini, pemimpin yang tidak perlu merasa berutang budi pada siapapun sehingga harus menutup mata pada semua penyimpangan atau ketidakbenaran yang saat ini terjadi.

Seorang pemimpin yang mampu menyadarkan sebagian besar bangsa Indonesia yang sedang kesurupan demokrasi, yang mengingatkan kita semua bahwa demokrasi adalah tidak lebih dari alat atau media mencapai tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang lebih baik, bukan menjadi tujuan akhir seperti yang tampak sebagai fenomena yang umum paska lengsernya almarhum Suharto. Kembalikan demokrasi kepada hakikatnya, jangan lanjutkan demokrasi kebablasan ala Indonesia.

Saya merindukan pemimpin yang memiliki visi yang ditularkan kepada seluruh bangsa ini, visi yang membangkitkan kembali harga diri semua anak bangsa. Barangkali menyenangkan kalau di negara kita tidak ada orang yang teramat kaya namun juga tidak ada yang teramat miskin. Barangkali terdengar sangat sosialis di telinga para kapitalis. Kita tahu, sudah tidak ada lagi yang namanya sosialisme di dunia ini, semua sudah berganti baju kapitalisme, semua sudah menuhankan uang dengan versinya masing-masing, ada oligarkhi di Rusia, ada kapitalis versi Cina, dsb. Bagi saya, masak bodoh lah, mau sosialis atau kapitalis, yang penting terjemahannya adalah kesejahteraan bagi semua manusia Indonesia.

Lagi-lagi, saya mesti melihat kenyataannya saat ini, ah malangnya nasibmu Indonesia, bibir ini hanya bisa berucap lirih…’quo vadis Indonesia di usiamu yang 63 tahun ini ’.


Rasuna, 17 Agustus 2008
Nela Dusan

No comments: