02 August 2008

MANUSIA NGEPET


Sebagai remaja tahun 80an, sewaktu kecil hingga remaja, saya sering mendengar cerita-cerita tentang pemujaan atau istilah populernya adalah ‘muja’. Saat itu tentu saja belum ada sinetron horror seperti sekarang ini, paling-paling yang ada tayangan film bioskop horor yang biasanya (selalu) dibintangi oleh Suzana atau Farida Pasha secara bergantian.

Dalam bayangan saya, setting tempat pemujaan adalah letaknya di gunung, ada gubuk atau gua tempat bertapa dengan asap dan bau kemenyan yang khas. Biasanya ada batu yang dijadikan altar dan ada dukun atau orang pintar yang menjadi tempat konsultasi orang-orang kota yang umumnya pedagang atau pengusaha. Barangkali selalu ada ‘klien’ sang dukun di semua kalangan masyarakat, mulai dari petani, pedagang, pegawai negeri, bahkan mungkin juga ada pelajar dan mahasiswa yang tercatat sebagai klien, mungkin saya saja yang tidak mengetahui siapa mereka.

Biasanya orang-orang yang nekat mendatangi tempat yang bisa jadi merupakan markas dedemit itu adalah orang-orang yang sudah sedemikian desperate-nya ingin cepat mewujudkan impian masing-masing, ada yang ingin cepat kaya, ingin punya jabatan, kalau sudah menjabat, ingin naik jabatan yang tinggi sekali, ingin lulus ujian bagi pelajar (wah kalau benar demikian proses belajarnya, seperti apa kualitas manusianya ya), dengan sesedikit mungkin usaha tentunya. Kalau saya gunakan istilah sesedikit mungkin usaha artinya adalah tanpa modal yang berarti (kalau bisa modal dengkul saja). Modal dibatasi hanya modal awal berkonsultasi dengan sang dukun berikut ongkos transportasi ke gunung sana, akomodasi bisa jadi gratis karena sudah termasuk biaya konsultasi dengan sang dukun, jadi setelah berkonsultasi bisa numpang nginap di goa atau gubuk sang dukun, sambil sekalian bertapa, sangat praktis.
Dalam film atau komik seputar dukun, biasanya digambarkan percakapan antara sang dukun sebagai wakilnya setan dengan manusia yang sudah memutuskan untuk mengejar kehidupan dunianya saja. Dukun akan bertanya apa tujuan kedatangan si klien (mungkin pertanyaan basa-basi, mestinya sebagai dukun dia sudah tahu kan apa isi kepala orang yang mendatanginya). Konon, orang yang berkonsultasi tersebut akan diberikan jimat atau aji-ajian untuk diamalkan, mestinya amalan yang diperintahkan sang dukun tidak ada yang sesuai dengan akidah agama manapun.

Adakalanya guna mencapai tujuan agar banyak uang, sang klien diberikan amalan supaya bisa mengubah diri menjadi babi yang nantinya akan berkeliaran di malam hari untuk mencuri uang orang lain termasuk para tetangganya sendiri. Mungkin ada juga teknik-teknik derivatif lainnya, seperti memelihara tuyul, jimat, dsb. Dari sekian banyak teknik muja, saya tertarik menyoroti praktek babi ngepet dan memelihara tuyul. Dua teknik ini, meski berbeda media, namun digunakan untuk tujuan yang sama yaitu memindahkan uang orang lain alias mencuri.
Apakah sedemikian mudah mencari uang? Bagi saya justru menjadi babi atau menyusui tuyul merupakan pekerjaan yang tidak terbayangkan, apalagi kalau ternyata kedua syarat itu tidak cukup. Masih ada lagi irrevocable and unconditional undertaking lainnya dari si klien yang wajib ditepati berdasarkan perjanjian berbau kemenyan tersebut.
Undertaking itu bisa berupa kewajiban penyerahan tumbal yang ternyata bisa beragam jenisnya. Bisa jadi tumbalnya mereka dalam bentuk larangan untuk memiliki anak, rumahnya tidak boleh bermegah-megah, mungkin tidak boleh tidur di atas kasur yang empuk padahal uang hasil babi ngepet tadi bisa membeli lusinan tempat tidur sekelas King Koil. Yang parahnya lagi adalah tampaknya tidak ada kesempatan untuk pensiun, tampaknya perjanjiannya berlaku sampai maut memisahkan nyawa dari raga.
Yang saya pernah dengar, salah satu tumbal yang paling mengerikan adalah anak, akan ada suatu masa dimana orang tersebut harus menyerahkan nyawa anaknya (entah untuk digunakan sebagai apa) alias kematian anak atau anak-anaknya. Saya membayangkan betapa teganya si bapak yang memutuskan melakukan praktek muja dengan mengorbankan anaknya hanya untuk mendapatkan kekayaan yang dipikirnya merupakan satu-satunya tujuan hidup di dunia yang fana ini.
Perjanjian kemenyan ini menurut hemat saya jauh lebih efektif daripada perjanjian setebal kaleng kerupuk yang dibuat oleh seorang lawyer kaliber internasional yang mewakili bank pemerintah sekalipun. Namanya juga melangsungkan perjanjian dengan setan, ya sudah pasti enforcementnya terjamin, bukan setan namanya kalau tidak sadis.
Perjanjian itu juga kurang lebih setara efektifnya dengan perjanjian leasing motor. Dengan modal uang Rp 500 ribu seseorang bisa membawa pulang motor, mudah dan murah bukan. Memang mudah dan sangat murah, tapi coba saja mangkir bayar cicilan motor, sekejap motor ditarik, meskipun si debitur yang bersangkutan tengah mengendarai motor itu beserta anak dan istrinya atau sedang bertamu di rumah calon mertua.

Suatu kali saya teringat kejadian yang menimpa tetangga saya dulu. Kami punya tetangga pengusaha sukses dan suatu hari anaknya meninggal tersengat listrik, kalimat yang terlontar dari mulutnya adalah ‘kenapa harus anak saya yang diambil’ dia mengucapkan kalimat itu berulang-ulang dalam bahasa Sunda. Konon tetangga kami itu ditengarai muja di Gunung Kawi (sampai saat ini pun saya masih bertanya-tanya apakah memang tempat ini ada atau hanya rekaan orang semata). Dia memiliki semacam perumahan kecil bagi karyawannya di salah satu bagian tanahnya yang sangat luas untuk ukuran Jakarta (sekitar 5.000m2). Konon pula banyak kisah aneh yang terjadi, beragam musibah yang menimpa keluarga karyawan hingga akhirnya sampai terjadi musibah yang menimpa anaknya sendiri.
Sebenarnya bukan hal aneh, semua yang bernyawa sudah pasti akan mengalami kematian, sesuatu hal yang semestinya sangat wajar menjadi peristiwa luar biasa karena menimpa keluarga tersebut. Warga kampung sekitar rumah saya saat itu mengatakan Bapak X sudah kena batunya, kali ini dia tidak bisa lagi mengganti tumbalnya dengan karyawannya, dia harus membayar semua kenikmatan yang sudah diambilnya selama ini, persis seperti pengendara motor yang ngemplang cicilan dimana motornya langsung dirampas tanpa bisa berbuat apa-apa, tukang muja seperti halnya tetangga saya tersebut juga harus gigit jari waktu menghadapi kenyataan anaknya ‘dirampas’. Entah benar atau tidak kisah tersebut, wallahualam.
Sekarang, kita lihat kondisi yang ada di sekitar kita saat ini. Istilah muja sudah lama tidak hadir dalam percakapan dengan teman-teman sehari-hari, sepertinya kata muja itu sudah menjadi satu istilah purbakala yang biasanya diberi referensi ‘archaic’ di dalam kamus bahasa Inggris.
Saya ingin membayangkan suatu percakapan yang terjadi dengan latar belakang tempat sebagai berikut. Pertemuan terjadi antara orang-orang terpandang, mungkin berjas dan berdasi, mungkin berpangkat dengan mengenakan kemeja batik sutra dengan harga jutaan. Biasanya tempat yang paling sering menjadi tempat pertemuan mereka adalah lobby lounge dari suatu hotel berbintang 5, atau pembicaraan sambil makan malam di restoran yang tarifnya sekitar 250 ribu per orang. Melihat setting tempat yang demikian bisa kita bayangkan harum ruangan bercampur dengan harumnya parfum mahal yang dipakai oleh para manusia yang terlibat pertemuan di sana.
Sepenggal percakapan yang biasanya terjadi antara seorang yang ‘butuh’ dan seseorang yang ‘dibutuhkan’ sebagai contoh adalah percakapan seorang aparat polisi yang berpangkat Kapten dengan seorang broker nasional Indonesia yang sudah barang tentu networknya tidak perlu diragukan lagi. Sang polisi telah memutuskan akan melakukan lobi (istilah modernnya muja) supaya bisa merubah nasibnya agar dapat segera setara dengan kolega polisi lainnya yang sudah lebih dahulu hidup mentereng.

“…jadi saya mohon bantuan bapak agar dapat memindahkan saya ke posisi yang saya ceritakan tadi itu pak.”
“Mmhh…jadi begitu.” Sang ‘godfather’ berkata sambil manggut-manggut sebelum melanjutkan,
“…ah itu sih perkara mudah buat saya. Kamu akan saya pastikan sampai Jenderal, tapi satu syarat yang harus kamu penuhi.” Si polisi mendengarkan dengan seksama, hampir-hampir lupa bernapas, ah sebentar lagi dia akan menduduki posisi basah (tak heran Jakarta selalu kebanjiran, terlalu banyak orang-orang yang berdoa untuk mendapatkan posisi basah) dan selanjutnya harta akan datang berlimpah, “ah...sebentar lagi saya akan jadi orang kaya dan berpengaruh” demikian kurang lebih pikirannya.
“Apapun yang bapak minta, saya akan penuhi.”
Nah ijab kabul perjanjian dengan setan dimulai. Sang polisi tidak sabar menyerahkan segala yang dia miliki demi mendapatkan janji dari sang broker yang sudah mulai berlagak seperti tuhan. Sepertinya sang broker sangat menikmati pengulangan adegan yang sama dengan pengalamannya sendiri sewaktu menyerahkan jiwa dan raganya pada saat perjanjian dengan setannya (brokernya) yang pertama dulu.
“Saya akan jadikan kamu Jenderal tapi kamu tidak boleh lupa melayani saya kapan pun saya membutuhkan. Kamu harus memback-up saya dan keluarga saya sampai kapan pun. Bagaimana, sanggup?” si polisi yang sudah sangat desperate manggut-manggut mantap, ah kalau cuma itu sih masalah kecil, disuruh menyerahkan istri atau anak gadisnya pun barangkali dia sudah siap, yang penting kaya dan pangkat.
Alhasil komitmen keduanya telah terbentuk, sang godfather siap mengorbitkan si polisi dengan segala cara. Konsekuensi tentunya si polisi siap berkorban jiwa raga untuk godfathernya itu. Sungguh mirip bukan dengan adegan muja gaya primitif yang sering kita dengar jaman dulu itu. Hanya bedanya kostum para pelaku berbeda, aroma yang tercium berbeda. Kalau muja gaya primitif sarat dengan bau kemenyan, muja gaya modern ini penuh dengan wangi yang memabukkan, belum lagi wangi essential oil yang harum yang dibakar di tempat-tempat pertemuan tersebut.
Perbedaan lainnya adalah jika muja gaya primitive menggunakan teknik transformasi wujud pelaku, misalnya menjadi babi atau menyewa tuyul, kalau muja gaya modern semua itu sudah tidak perlu lagi digunakan. Muja gaya modern sungguh praktis, kenapa? Dalam muja gaya modern media babi atau tuyul tidak lagi diperlukan karena sudah digantikan oleh orang itu sendiri. Kalau dulu kita kenal orang yang muja itu sebagai babi ngepet, nah sekarang para pelaku muja gaya modern itu sendiri yang menjadi manusia ngepet.

Sejalan dengan perkembangan teknologi telekomunikasi yang semakin canggih dimana segala fasilitas yang dulu tidak terbayangkan sekarang sudah dirancang built-in dalam perangkat keras telepon genggam, kinipun teknologi muja di jaman modern ini mengalami pembaruan seolah-olah dilengkapi built-in ngepet device, semacam itulah. Orang yang sudah dilengkapi built-in ngepet device ini yang bisa kita sebut sebagai ‘manusia ngepet’, begitu kurang lebih.
Terdapat benang merah antara kedua kisah diatas, yaitu masalah irrevocable and unconditional surrender. Sekali janji dengan setan sudah terucap, tidak ada lagi pembatalan. Bisa kita bayangkan jika dulu setan merampas anak sebagai tumbal, kini apa yang akan dirampasnya melalui perjanjian aromatherapy semacam itu. Saya membayangkan misalnya suatu hari anak sang broker kedapatan sedang berpesta narkoba di suatu tempat dan sang polisi adalah petugas yang berwenang menangani perkara tersebut, kira-kira apa yang bisa dia lakukan untuk menunaikan kewajibannya sebagai aparat? Tidak ada tentunya, dia akan mencari sejuta cara agar anak sang godfather lolos dari jerat hukum. Atau misalnya, sang godfather terlibat suatu skandal, akankah si polisi yang pada saat itu mungkin sudah jadi pejabat mampu meloloskan godfathernya dari jerat hukum? Pasti si polisi akan dan wajib berupaya melakukan hal itu, karena hal itu merupakan bentuk pembuktian dari penghambaannya kepada si godfather, jika tidak tamatlah karirnya (setidaknya begitulah keyakinannya).
Pertanyaannya sekarang, ada berapa banyak pejabat pemerintah atau aparat negara ini yang melakukan praktek muja gaya modern semacam ini? jika benar praktek demikian yang terjadi di banyak kalangan pejabat, mimpi untuk memiliki negeri yang bersih dari kelaliman dan kezaliman akan semakin jauh dari kenyataan. Sesungguhnya orang-orang seperti itu yang kita lihat saat ini begitu terhormat, terpandang dan berkelebihan, tidak lebih dari segerombolan ‘manusia ngepet’. Saya tidak hendak membicarakan persoalan ini dari sudut pandang agama karena mau dilihat dari sudut pandang agama manapun praktek seperti itu tidak ada yang menyetujuinya.
Semestinya kita selalu mengingat bahwa segala bentuk penghambaan atau unconditional surrender kepada sesama mahluk ciptaan Zat Maha Pencipta semacam itu saja sudah merupakan salah satu dosa terbesar. Tanpa sadar kita telah melakukan tindakan syirik, sungguh tidak ada guna uang atau harta yang kita dapatkan dengan cara seperti itu. Pada akhirnya kita semua kembali hanya membawa kain kafan yang melilit di badan, tidak lebih. Semoga kita semua senantiasa dijauhkan dari hal-hal demikian. Amin.

Rasuna, 2 Agustus 2008
Nela Dusan (Gusnelia Tartiningsih)

1 comment:

betty said...

Halloo
ini ada bisnisan mas..
hanya untuk sampingan..