26 May 2008

BEKAL UNTUK PULANG




BAGIAN II
Hikmah Haji

Saya berangkat haji beserta 3 orang teman lainnya. Pertama kali membuka pintu kamar hotel di tengah malam yang gelap, tiba-tiba kami disuguhi pemandangan luar biasa, Masjidil Haram yang terang benderang demikian indah bersinar dari balik jendela kamar hotel kami. Rasanya hati saya bergetar, ya Allah akhirnya sampai juga mata saya memandang langsung rumahMu. Kami langsung melakukan umrah wajib segera setelah meletakkan kopor di kamar hotel. Pada saat berputar mengelilingi ka’bah saya merasakan perasaan yang tidak terlukiskan saat itu, akhirnya saya menginjakkan kaki di rumahMu ya Allah, mengitari ka’bahMu. Dalam suatu malam yang syahdu, saya melakukan shalat taubat, tahajud dan tasbih, belum genap rakaat pertama dari shalat tasbih saya, air mata ini tumpah ruah tidak tertahan. Saya merasakan segala sesak di dada akhirnya lenyap, saya seperti merasa kembali ke rumah orang tua yang telah lama saya tinggalkan. Ternyata tempat itulah yang saya cari selama ini, kekosongan jiwa saya seperti terisi kembali, kerinduan rasanya tumpah ruah saat itu juga. Alhamdulillah saya berhasil menemukan frekuensi getaran yang dipancarkan yang selama ini terhalang oleh segala dosa dan kekhilafan saya selama ini.

Prosesi haji sarat dengan hikmah dan makna, meskipun tidak semua manusia mau bersusah payah memikirkan atau mencarinya meskipun Tuhan telah melengkapi kita dengan keistimewaan akal yang membedakan kita dengan mahluk ciptaanNya yang lainnya. Dalam suatu kesempatan sebelumnya, saya sempat membeli buku di salah satu toko buku kecil di Dubai, buku itu berjudul Hajj of the Heart, terbitan Orina yang dicetak di Malaysia. Sungguh indah isinya.

Digambarkan dalam buku itu bahwa Ka’bah merupakan sebuah bangunan kubus kosong. Kubus kosong tersebut terkait dengan segalanya, yaitu Allah, Pencipta Segalanya. Dengan menghadap ka’bah, jamaah haji menegaskan kembali keyakinannya kepada Pencipta yang Tidak Tampak.

Prosesi tawaf menggambarkan betapa kehidupan kita ini mengalir seperti sungai menuju lautan keabadian. Kehidupan kita hanya sementara sebelum kembali lagi kepada sang Pencipta. Pada saat tawaf, tidak ada tempat berhenti, tempat berakhir tawaf adalah tempat dimana kita memulai. Sama halnya dengan tawaf, kehidupan kita dimulai dari Allah dan berakhir dengan kembali kepada Allah. Tawaf menggambarkan kehidupan semesta di dalam orbitnya dan Ka’bah lah pusat orbitnya, demikian dalam kehidupan kita, kita semua bergerak dan Allah lah sebagai pusatnya.

Prosesi Sa’i menggambarkan betapa kehidupan kita yang berpusat pada Allah SWT harus senantiasa dipenuhi dengan usaha, seperti halnya yang dilakukan oleh Siti Hajar ketika berlari mencari air di tengah gurun yang gersang dari bukit Safa menuju Marwa demi anaknya tercinta. Sa’i bukan sekedar usaha tetapi juga gambaran cinta dan belas kasihan, betapa Allah tergerak setelah menyaksikan tangisan bayi bercampur dengan air mata sang ibu. Allah yang Maha Pengasih menyaksikan dalam kesunyian. Bukan perkara sulit bagiNya memberikan air untuk Siti Hajar, namun Allah ingin melihat Siti Hajar melakukan bagiannya, usahanya. Setelah usaha yang dilakukan Siti Hajar, Allah menunjukinya sumber air yaitu sumur Zamzam.

Demikian pula hidup kita, tidak ada keberhasilan yang diperoleh tanpa usaha. Merupakan sunatullah, siapa yang berusaha akan mendapat hasil, tanpa melihat agama atau keyakinan apa yang dimilikinya. Namun, perbedaannya antara keberhasilan seorang muslim dan non muslim agaknya terletak pada cara kita menjalani proses dan rasa syukurnya. Seorang muslim hendaknya senantiasa memahami segala rejeki dan nikmat dalam hidupnya, termasuk pula cobaan yang ada semua berasal dari Allah dan kita menyatakan rasa syukur pun kepada Allah bukan kepada yang lainnya. Seorang muslim hendaknya mewujudkan sikap takwa dalam setiap gerak hidupnya. Jika kita berkehendak mencapai suatu tujuan, maka kita harus berusaha dan berupaya dengan maksimal namun setelahnya, mari kita pasrahkan kepada Allah untuk menentukan hasilnya. Dengan menjaga sikap takwa, insya Allah kita tidak perlu penasaran sehingga sampai menghalalkan segala cara demi mencapai suatu tujuan.

Dalam ritual haji ada satu prosesi yang merupakan inti dari ibadah haji itu sendiri yaitu Wukuf di Arafah. Pada saat kita meninggalkan Rumah Allah di Mekkah kita langsung bertemu Sang Tuan Rumah di Arafah. Arafah sendiri terletak di luar Tanah Haram Mekah yang menggambarkan bahwa Pemilik Rumah berada dimana saja dan dekat dengan kita bahkan lebih dekat dari urat di leher kita. Dalam prosesi Wukuf inilah kita dapati miniatur atau gladi resik kematian. Pada saat wukuf, kita semua berkumpul di Arafah pada waktu yang sama, setelah matahari tergelincir di atas kepala (pada saat masuk waktu zhuhur) sampai dengan saat matahari terbenam. Bayangkan jutaan muslim bertafakur, memuji nama Allah, terisak memohon ampunanNya, berdiam di dalam suatu tempat yang luasnya kurang lebih sebesar kawasan Blok M dan sekitarnya, subhanallah, semua mendapatkan tempat. Konon dikatakan bahwa Arafah itu bagaikan rahim seorang ibu, berapapun jumlah dan betapapun besarnya bayi yang dikandungnya, rahim ibu akan sanggup menjadi tempat bernaung sang jabang bayi.

Saat itulah Allah membanggakan manusia ciptaannya kepada Malaikatnya yang sekali waktu pernah ‘mempertanyakan’ pertimbangan Allah dalam menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Saat dimana Allah membuka pintu ampun, mengabulkan setiap dan semua doa, baik yang diucapkan oleh bibir atau yang hanya terucap di dalam hati setiap umatnya.

Suatu saat yang kita tunggu dan kita manfaatkan dengan maksimal, betapa setiap orang yang ada saat itu disibukkan dengan gumaman doa dari bibir masing-masing, pengakuan yang paling jujur dan permohonan doa yang paling lirih. Saat itu saya juga sempatkan membuka buku catatan dan menyampaikan titipan doa para sahabat, teman, kerabat dan keluarga, semoga Allah berkenan mengabulkan setiap dan semua doa saya saat itu.

Wukuf merupakan gladi resik kematian, miniatur padang mashyar. Pada hari kiamat roh kita semua akan dibangkitkan di padang mashyar dan saat itu pintu tobat sudah tertutup sedangkan pada saat wukuf di padang arafah, justru sebaliknya, dengan jasad yang masih lengkap, roh yang masih menyatu, dengan pakaian ihram yang menyerupai ‘kafan’ putih, Allah justru membukakan pintu tobat dan ampunan seluas-luasnya kepada setiap manusia yang memohon kepadaNya.

Jika demikian luar biasanya hikmah dan manfaat haji bagi kita sendiri, masihkah kita merasa belum siap untuk menghadapNya di Arafah, bukankah semestinya kita merasakan kerugian yang luar biasa karena telah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan dengan tidak menyegerakan keberangkatan kita ke sana. Haji bukanlah untuk kepentingan Allah, sesungguhnya dibalik kewajiban kita menunaikan ibadah Haji terdapat kepentingan kita sendiri.

Labbaikallahumma labbaik...selamat menunaikan ibadah haji saudara dan saudariku, semoga Allah menjadikan kalian Haji dan Hajjah yang mabrur. Amin.

Rasuna, 26 November 2007

Nela Dusan (Gusnelia Tartiningsih)

BEKAL UNTUK PULANG







Bagian I
Apakah ‘Ismail’ Kita?

Dalam obrolan dengan seorang teman pada saat makan siang di salah satu restoran favorit saya, sambil menikmati hidangan penutup dan secangkir cappucino panas, sampailah kami pada pembicaraan haji. Sambil lalu saya bertanya pada teman tersebut kapan dia akan berangkat menunaikan rukun islam yang kelima tersebut. Dijawab oleh teman tersebut bahwa dia belum siap. Saya sempat terdiam mendengar jawabannya. Saya memperhatikan dia sejenak, tanpa sadar saya mulai menghitung-hitung kemampuan teman saya itu. Dia bekerja sebagai tenaga profesional senior di perusahaan asing, dia juga seorang ibu dengan dua orang anak yang sudah cukup besar, yang terkecil berusia 5 tahun. Sejenak ingatan saya melayang pada suatu kesempatan lain, saya juga pernah terlibat percakapan seputar haji dengan salah seorang teman yang lain, lagi-lagi seorang wanita karir yang sukses di suatu law firm papan atas di Jakarta ini, juga seorang ibu dari dua orang anak, tentunya secara ekonomi kemampuannya tidak perlu diragukan lagi. Saat itu pun jawaban yang diberikan olehnya sama, yaitu belum siap. Saya jadi merenung sejenak dan mengatakan kepada kedua orang teman saya itu hal-hal yang ada dalam pikiran dan hati ini sebagai tanggapan atas jawaban mereka itu. Semoga Allah mencatat pembicaraan saya dengan teman-teman saat itu dan juga tulisan saya saat ini bukan sebagai perbuatan riya, naudzubillah.

Sebenarnya apa arti siap dalam konteks berangkat haji. Sebagian besar orang mengkaitkan kesiapan atau kemampuan itu tidak hanya dengan kemampuan kondisi keuangan atau kesehatan tetapi lebih pada kesiapan mental. Merasa belum siap untuk berubah kah? Padahal perubahan setelah haji insya Allah adalah perubahan yang baik. Tanpa mereka sadari sikap mereka dapat menimbulkan penafsiran bahwa seakan-akan mereka merasa khawatir untuk mengalami perubahan kearah yang baik. Kenapa harus demikian? Bahkan saya kerap mendengar alasan orang-orang bahwa mereka belum berangkat haji karena takut. Takut apa gerangan? Sebagian dari mereka mengatakan takut datang ke rumah Allah karena masih banyak melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah sehingga takut mendapat cobaan atau teguran selama di sana. Saya jadi bingung, kenapa mereka justru takut untuk meminta ampun kepada Allah sementara mereka sadar mereka melakukan perbuatan yang tidak diridhoi Allah. Apakah kita telah lupa betapa Allah itu Maha Pengampun.

Saya jadi merasa khawatir jika alasan takut itu justru merupakan suatu manifestasi lain dari sikap ‘keakuan’ kita sebagai manusia. Apakah Allah hanya ada di Mekah sana, sehingga jika kita tidak datangi Dia, maka kita luput dari marahNya? Apakah ‘perbuatan’ atau tingkah laku kita yang kita jadikan alasan belum patut menemuiNya itu merupakan perbuatan yang menjadi terlarang hanya jika kita sudah punya embel-embel haji atau hajjah? Kenapa kita jadi seperti melecehkan kekuasaan Allah dibalik alasan takut yang kita dengungkan selama ini.

Sangat ironis bukan, kita sendiri sebenarnya sangat paham bahwa apa yang kita lakukan saat ini mungkin hal yang dimurkai Allah, tetapi kita tidak mau segera minta ampun. Disamping itu, kita pun harus ingat bahwa tidak selamanya jadi atau tidaknya kita berangkat ke tanah suci selalu berada di bawah kontrol kita. Terkadang tidak cukup hanya bermodalkan kemampuan ekonomi dan kesehatan saja kita bisa berangkat ke tanah suci, masih ada faktor lain yang memastikan terjadinya hal itu, yaitu ridho Allah Sang Pemilik Rumah. Kenapa kita harus merasa sombong menganggap kesempatan berhaji itu semata bergantung pada diri kita, sementara Tuan Rumahnya sendiri belum tentu sudi kita datangi.

Bagi saya menunaikan ibadah haji itu adalah sebagai bukti rasa syukur dan puncak pengabdian kita sebagai mahluk ciptaan Allah kepada sang Khalik. Mengapa demikian?

Kembali kepada prinsip dasar penciptaan Allah atas manusia, dalam Al Quran Allah mengatakan ‘tidak Kuciptakan manusia dan jin selain untuk menyembahku’. Dari kalimat itu jelas tujuan hidup kita sesungguhnya adalah menyembah Allah sampai kita kembali lagi kepadaNya. Menurut keyakinan saya, pelaksanaan dari penyembahan Allah tersebut adalah berupa tindakan amar ma’ruf, nahi munkar, melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan larangannya. Sesungguhnya Allah menciptakan kehidupan dan menentukan kematian setiap mahluk yang diberiNya nyawa. Jadi semestinya kita selalu mengingat bahwa tujuan hidup kita adalah untuk kembali lagi kepadaNya. Seperti halnya sebuah lingkaran, titik akhir dari lingkaran itu adalah titik awal dari lingkaran itu sendiri, demikian pula kehidupan kita.

Misalkan kita sudah punya rencana berpergian ke luar negeri pada tanggal tertentu, tentunya sebelum tanggal itu kita sudah melakukan segala persiapan, antara lain memastikan paspor masih berlaku, sudah memiliki visa, sudah memesan tiket. Apa yang terjadi jika salah satu dari hal-hal tersebut belum ada, tentunya kita batal melakukan perjalanan. Semisal, usia kita sudah ditentukan, tentu kita akan bersiap-siap menyambut tanggal itu, persiapan kita mulai dari melakukan semua perbuatan yang baik, giat melakukan ibadah, sampai mempersiapkan harta warisan kepada ahli waris kita. Karena kita paham akan kewajiban menunaikan ibadah haji jika mampu dan konsekuensi dari tidak dilaksanakannya kewajiban tersebut, maka kita akan memastikan bahwa kewajiban tersebut telah ditunaikan sebelum ‘deadline’ kehidupan kita. Tidak satupun urusan duniawi yang bisa menghalangi niat kita untuk menunaikan ibadah haji. Semua karena kita sudah paham kapan hari akhir kita tiba.

Persoalannya adalah Allah membiarkan masalah kematian menjadi sebuah misteri sampai waktu kematian itu benar-benar datang. Setiap saat kita bisa dipanggil oleh Allah, bisa jadi setelah saya menyelesaikan tulisan atau bahkan sebelum saya menyelesaikan tulisan ini saya dipanggil Allah. Jika waktunya tiba apakah kita bisa meminta Allah menunda kematian itu dengan mengatakan “tunggu saya belum siap?” Sama halnya dengan peristiwa kematian yang tidak dapat kita majukan atau undurkan barang sedetik, sesungguhnya tidak ada lagi alasan bagi orang yang sudah dicukupkan rejeki dan kesehatan oleh Allah SW untuk menunda keberangkatan ke tanah suci.

Definisi siap atau mampu dalam konteks haji hanyalah merujuk pada dua hal, yaitu pertama mampu dalam hal keuangan dan kedua mampu dalam kesehatan. Jika Allah sudah menganugerahkan kepada kita kedua hal itu dalam waktu yang sama, nikmat Allah yang mana lagikah yang hendak kita ingkari? Saya sangat bersyukur bahwa Allah telah mencukupkan rejeki dan kesehatan saya tahun kemarin sehingga saya bisa menunaikan ibadah haji bulan Desember 2006 yang lalu, haji akbar karena saat wukuf jatuh pas pada hari Jum’at, alhamdulillah.

Sesungguhnya Allah tidak meminta hal yang berlebihan kepada kita, mahlukNya, apa yang dia minta untuk kita tunaikan sebenarnya tidak terlepas dari rejeki yang telah Dia cukupkan kepada kita. Jadi kita sudah diberi modal oleh Allah berupa kekayaan dan kesehatan agar dapat menunaikan rukun Islam yang kelima, makanya kewajiban haji dibatasi pada kemampuan setiap manusia. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi orang yang belum termasuk kategori mampu tetapi karena nasib atau nasabnya mereka bisa berangkat menunaikan haji.

Saya sangat bersyukur bisa menunaikan ibadah haji pada saat usia relatif muda, belum lagi mencapai 40 tahun dan dalam kondisi relatif sehat, meskipun saat itu ada sedikit keluhan pada telapak kaki saya. Pada saat saya berangkat, anak perempuan saya yang semata wayang itu belum lagi genap berusia 6 tahun. Betapapun berat rasanya meninggalkan anak yang masih kecil untuk waktu sekitar 23 hari, namun saya sudah membulatkan tekad untuk berangkat. Saya harus bisa menyingkirkan ‘ismail-ismail’ dalam diri saya. Disamping itu saya juga menghadapi godaan pekerjaan yang sepertinya sangat berat saya tinggalkan saat itu. Beribu kekhawatiran menghinggapi pikiran, bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu selama saya pergi, ah segala sesuatu yang membuat kita bimbang. Begitulah setan mempermainkan perasaan dan pikiran kita. Semua alasan yang dapat membuat kita bimbang dan tampak demikian nyata sehingga membuat kita menunda dan menunda lagi langkah kaki ini untuk menghampiri sang Pencipta di rumahNya.

Sesungguhnya berangkat haji dan prosesi wukuf adalah miniatur kehidupan dan kematian, hal tersebut akan saya kupas di bagian kedua dari tulisan ini. Menjelang berangkat haji, seorang sahabat menghadiahkan saya buku karangan Ali Syariati yang berjudul ‘Makna Haji’. Saya ikuti lembar demi lembar buku itu dan mendapati esensi dari ibadah haji. Saya sangat bersyukur mendapat kesempatan membaca buku itu sebelum berangkat sehingga saya mengikuti prosesi ibadah haji dengan penuh penghayatan dan kesungguhan hati. Sungguh luar biasa ibadah haji itu bagi seorang muslim. Bagi saya pribadi, perjalanan suci saya tahun lalu itu merupakan pengalaman batin paling dahsyat seumur hidup. Perjalanan ibadah haji merupakan napak tilas perjalanan Nabi Ibrahim, bapak nabi-nabi. Nabi Ibrahim, seorang pencari Tuhan yang tauhid sejati, Tuhan yang Maha Pencipta, bukan tuhan yang diciptakan manusia.

Jika kita bicara mengenai Nabi Ibrahim, tidak pelak kita juga membicarakan kurban dimana Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail, anaknya yang telah lama dinantikan dan setelah menginjak remaja, tiba-tiba Allah meminta agar Ismail disembelih. Demi rasa cintanya kepada Allah, Nabi Ibrahim membuktikan ketaatannya yang mutlak, dilakukannya apa yang diperintahkan Allah di dalam mimpinya. Demikian pula dengan Ismail, dengan kecintaannya kepada Allah, dia memberikan dukungan kepada ayahnya untuk melaksanakan perintah Allah tersebut. Keikhlasan Ibrahim dan Ismail dihargai oleh Allah SWT dan pada detik terakhir Allah mengganti kurban dari Ismail menjadi Domba. Di saat hari raya iedul adha kita pun melakukan pemotongan hewan kurban, karenanya hari raya haji juga dikenal sebagai hari raya kurban.

Analogi kisah nabi Ibrahim itu merupakan gambaran kehidupan kita semua. Tidak ada satupun orang yang mengaku beriman yang tidak mengalami ujian dari Allah. Haji merupakan salah satu ujian yang harus dilalui oleh setiap muslim yang telah sampai nisabnya untuk menuju kesempurnaan iman dan hidupnya. Allah tidak akan menghitung seberapa besar kekayaan kita selama kita hidup. Sesungguhnya harta kekayaan kita itu hanya perhiasan selama kita hidup saja, hanya alat yang bisa digunakan untuk menambah modal pulang menghadap sang Pencipta kita pada waktunya nanti dengan menafkahkan rejeki kita tersebut di jalan Allah. Sungguh beruntung orang-orang muslim yang dikaruniai rejeki lebih oleh Allah, apalagi jika mereka pandai mensyukuri nikmat.

Menunaikan ibadah haji berarti meninggalkan kehidupan duniawi kita sejenak dan membawa ‘ismail’ kita masing-masing untuk dikurbankan kepada Allah. Setiap orang memiliki ‘ismailnya’ masing-masing. Apakah ‘ismail’ kita? ‘Ismail’ dalam hal ini berarti segala sesuatu yang menghalangi cinta kita kepada atau menjauhkan cinta kita dari Allah. Dia dapat berupa anak, suami, istri, pekerjaan, pangkat, jabatan, kekayaan, dsb. Sesuatu yang sangat kita inginkan atau sayangi sehingga kita takut kehilangan jika kita harus meninggalkannya sejenak. Sesuatu yang harus kita kurbankan untuk membuktikan pilihan hati kita, ketaklukan kita kepada sang Khalik. Sebagaimana halnya dengan Ibrahim, keikhlasan kita membawa setiap ‘ismail’ kita itu tidak akan luput dari penilaian Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatunya.

Berangkat haji merupakan suatu titik puncak pembuktian antara kecintaan kita kepada Allah dengan kecintaan kita terhadap benda-benda di dunia fana ini. Apakah cinta kita kepada anak-anak kita yang masih kecil dan lucu mengalahkan kerinduan kita untuk bertemu Allah pada saat wukuf di Arafah, padahal dengan demikian kita bisa mendoakan anak keturunan kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah yang kelak akan dipertemukan kembali dengan kita di surga. Apakah pekerjaan kita demikian berharganya sehingga rasa takut kita akan kehilangan pekerjaan mengalahkan rasa takut kita kepada Allah, padahal hanya kepadaNyalah kita akan kembali, bukan kepada perusahaan atau bos kita yang saat ini terasa menakutkan bagi kita.

Kita sering lupa bahwa terkadang sesuatu amat kecil nilainya di mata kita namun besar artinya di mata Allah dan sebaliknya, sesuatu demikian besar nilainya di mata kita, namun sesungguhnya tiada bernilai di mata Allah. Semoga kita semua memiliki kearifan agar dapat membedakan keduanya.

Rasuna, 26 November 2007

Nela Dusan (Gusnelia Tartiningsih)

Mommy, What Does Chicken Mean?


Who on earth does not know chicken? We are lucky that we know what chickens or birds mean, how delicious and nutritious they are. When someone talks about chicken, I cannot help myself imagine two of my favorite menus at most Chinese restaurants, Chicken with Chilies and fried chicken a la Thai. As we are living in this very moment, the moment where we still can find birds fly over the sky, across our roof or in front of the window of our apartment balcony. The picture we should feel thankful. Who on earth does not know chicken? They might be our son, daughter, grand children or great grand children who have no chance to get to know those creatures, let’s say in 10 or 20 years to come, may God forbid.

How come they do not know about chicken at all? Because we, their ancestors, have burnt all poultry, any flying creatures or what we call now as birds, any kind of birds in this century. Chicken, birds or any kind of poultries have become our dangerous enemy ever. I still remember when I was a kid, I was running around with my friends, on bare feet. My childhood was so wonderful that I still cherish it in my heart. One day, we were playing hide and seek, and I was trying to find a place to hide, I ran so fast that I didn’t see some little chicks, like 10 day-old chicks were running between my feet. The saddest thing was, I accidentally stepped my feet on one of those chubby chicks, when I realized, the chick was dead. I was so shocked to see what happened. I cried and took the chick, I felt the soft yellow furly motionless chick on my palm, I murmured to the chick how sorry I was. If only I could hold on my step. God only knows I never meant to harm the cute chick, let alone kill it. That’s the story of my childhood. Now, what we see, burning thousand chickens or birds seemed to be normal scene. Normal might be insufficient word to describe, actually it’s a must do scene.

It has been known that birds or chickens have been the carrier of contagious virus, H5N1 avian influenza (Bird Flu), it is called. We just know that if there are suspects of bird flu in our neighborhood, all the chickens or birds around the neighborhood would be blamed for that. The official agents will come to the suspect’s home and burn all poultry they found. It seems that we have found the solution for our problem, is it final? Nope, of course not.

Have we all known that burning all birds will not settle the problem? Have we noticed that the H5N1 avian influenza was caused by the damage to ecosystem? According to information launched at WHO website, out of 113 cases confirmed to date in Indonesia, 91 have been fatal.
The transmission of infection from bird to human has been caused among other things by the disturbance of ecological system in our lands. When the harmony of ecosystem is disturbed then the chaos and deviation begins. According to experts, Virus and bacteria are killed by ozone (O3) and O nascend. It is produced by the exposure of ultraviolet on oxygen. Apparently we need more and more oxygen to be exposed by the ultraviolet. The fact that our forests are experiencing deforestation is really painful. We know forests have produced great supply of oxygen and its derivatives. Now, that the deforestation has reached critical conditions, we must fear of our future. What life will be without enough oxygen. If the deforestation takes place rapidly, soon we lose our supply of oxygen.

The problem has come for decades. As long as people have no similar perception on our responsibility to our children then the slideshow on water crisis era will come true. We must have similar thought that this climate change has weakened virus and bacteria killer namely oxygen and its derivative. Global warming has been greatly caused by human acts. In the name of business, the industrialist will get rid of rain forest. Rain forests are replaced by palm plantation all over the place, or by other kind of plantation that supports pulp related industry or by factories. When the developed countries contribute a lot in the emission of green house gas, followed by most developing countries, including Indonesia, we also have worsened the condition by allowing the deforestation continues.

I sensed the half-hearted of most developed countries in making real effort to minimize the effect of green house gas emission. This could mean restructuring all aspects of their lives, the lives they have lived for many decades. If I am not mistaken, the energy consumption in USA or most developed countries is so high, that is one of the consequences of the high-tech lifestyle. Surely, the government of USA or other developed countries will seek any possibility or opportunity to support such lifestyle. However, if we keep pointing out to each other and wait the other to make the move to save the situation, we might not make any good to ourselves. There are many factors that have caused this disaster. The green house gas emission has contributed a lot to this trouble, as well as the deforestation.

Since we are living in the tropical region, there are rain forests in the country. I think we can do something to prevent from greater disasters. The least we can do is to stop deforestation. Forest produces oxygen, less oxygen means more virus or bacteria, something like that. Until when we should burn the poultry, God’s creature. Solving problem by burning everything is not a solution at all. After no more chicken, birds or any single poultry on this earth, what next? We also heard about mad cows, anthrax, etc. They have killed and burnt those suffered animals but how if the virus transmission starts from dogs, cats, or human themselves? Should we burn our friends, brothers, sisters or parent, once they are suffered those fatal diseases? If to solve the problem means eliminating the victims, it’s not bringing any good to us.

I really fear of climate change, nowadays, in Jakarta, every time rain comes, it is accompanied by heavy wind, like cyclone. I could not remember we ever had cyclone like in 5 or 10 years ago. We only heard or saw cyclone through radio or television but now, we are experiencing it. Trees fell all over every where. They hit cars, billboards broken and fell on cars. It has become normal scene after the heavy rain in Jakarta. People start taking out trees to prevent them from falling in the next rains. Just like burning chicks or birds or poultry whenever someone’s died. Then the deforestation is not only happening to the rainforest but also the city trees.
If to prevent our car from being hit by trees is taking the roots of the tree itself, then what will be left for our children? I feel pity for them, they will not just ask what chicken is but also what were trees looked like.

Can we have new perception in our mind now that the rain forest is very important to our life, for mankind. If we don’t stop the deforestation, sooner we will have desserts in Indonesia. With this unpredictable weather, soon the agriculture industry will be in trouble, harvest failure in major rice supplying regions of Indonesia, famines will be everywhere.

If now, we have already started to import rice, I cannot imagine in few years to come. Import means spending more money, do we or, be specific, does the government of Indonesia have money to buy some rice from other country? Perhaps not, too many goods to be imported, not enough money left. We must import oil and gas, while our nation known for its wealthy of mineral reserves. We must also import sugar, whilst we are considered as one of the biggest agricultural countries in the world. Maybe, next we also have to import fresh water because most fresh water springs are polluted or not much water can be reserved under the ground because not many trees left.

There are major factors affecting the climate that lead to global warming we are experiencing now, namely green house gas emission and deforestation. Green house gas emission has caused among other things, air pollution, climate change and global warming. Deforestation has caused the reduction of oxygen supply. We need more oxygen to maintain the harmony of ecosystem. The biggest challenge for the government of Indonesia might be the effort of stopping the deforestation. The dilemma faced by the government, is it money or mankind on the other side, to be chosen. Anyway, if the government chose money over mankind, seems the government has failed to serve his fellow citizen. In my personal view, the government should choose mankind over money, they still can generate money from other justifiable sources rather than selling our grand children’s lives.

Rasuna, 25 November 2007
Nela Dusan (Gusnelia Tartiningsih)
This article was published in Jakarta Post undere different title.

21 May 2008

Selamat Ulang Tahun ke 40 Saudaraku…


Tahun 2008 ini tahun yang istimewa buat sebagian dari kita, khususnya semua manusia-manusia kelahiran tahun 1968. Kenapa demikian? Karena sebagian dari mereka, telah atau, termasuk saya sendiri akan menginjak usia empat puluh pada tahun 2008 ini.
Saya sangat terkesan dengan usia empat puluh tahun dan punya alasan tersendiri untuk merasa betapa berbahagianya saya seandainya masih diberi kesempatan untuk mencapai usia empat puluh tahun tersebut. Kita sudah sering mendengar ungkapan versi orang Barat yang mengatakan ‘life begins at forty’ artinya hidup kita baru dimulai pada usia empat puluh, lantas kemana sajakah kita selama ini?

Saya ingin mengungkapkan keterkesanan saya terhadap usia empat puluh tahun tersebut. Jika kita renungkan usia empat puluh itu merupakan perjalanan seorang manusia yang sudah mencapai ¾ jalan hidupnya, jika kita perkirakan usianya sekitar 60 tahunan atau separuh perjalanan jika seseorang tersebut bisa bertahan hidup sampai usia 80 tahun. Usia empat puluh tahun hendaknya menjadi sebuah momentum penting dalam hidup seorang manusia. Saat yang tepat untuk menengok ke belakang, mengevaluasi pencapaian perjalanan ¾ hidup kita selama ini. Juga saat yang tepat untuk menatap masa depan yang sudah tak banyak lagi sisanya itu. Usia empat puluh tahun adalah usia yang sangat pas untuk mengembalikan jati diri kita sebagai mahluk ciptaanNya, mendapati refleksi diri kita dalam perjalanan singkat kita selama hidup di dunia fana ini.

Seorang ibu mengandung anak, melahirkan sampai masa sapihnya semua dikatakan tiga puluh bulan, kemudian setelah tiga puluh bulan itu, sang anak tumbuh menjadi balita, remaja, dewasa dan tua. Dari lima siklus manusia tersebut, secara khusus Allah swt dalam surat Al Ahqaaf menggarisbawahi usia dewasa dengan menyebutkan sejak tiga puluh bulan sampai seseorang menjadi dewasa dan sampai pada usianya empat puluh tahun ia berdoa serta bertobat kepadaNya.

Bagi saya disebutkannya secara khusus usia empat puluh tahun dalam Al Qur’an merupakan pertanda betapa pentingnya usia ini dalam kehidupan seorang manusia. Kita semua adalah manusia-manusia yang tidak lepas dari siklus kehidupan yang disebutkan dalam surat Al Ahqaaf tersebut, kita itulah yang selama sembilan bulan berdiam dalam rahim ibu kita masing-masing, hidup dari dan merasakan nikmatnya air susu ibu kita pada awal kehidupan kita, mulai menjadi balita, melalui fase kenakalan remaja yang memusingkan orang tua kita, mulai menapaki jalan menuju usia dewasa yang terkadang malah menjauhkan kita dari orang tua, bahkan Tuhan kita. Usia dewasa dua puluhan telah lama kita lalui, usia dimana dunia tampak terbuka lebar untuk kita yang saat itu baru mulai bekerja dan merasakan nikmatnya memiliki uang sendiri.

Jika kita kembali melihat dua puluh tahun ke belakang, apa sajakah yang sudah kita lakukan selama ini pada saat kita sudah memperoleh nikmat demi nikmat yang sudah diberikan Allah kepada sebagian dari kita, mungkin dengan prestasi kelulusan kuliah yang cemerlang, kemudahan mendapatkan pekerjaan, perolehan gaji yang relatif besar, promosi demi promosi yang kita lalui hingga sampainya kita di usia empat puluh. Dua puluh tahun adalah waktu yang cukup panjang namun singkat. Terasa panjang karena barangkali di antara kita, termasuk saya sendiri, banyak menghambur-hamburkan waktu tanpa arti. Padahal, sungguh kita tidak akan hidup selamanya di dunia ini. Bagi saya usia empat puluh kurang lebih sama dengan kegiatan kita berkemas-kemas pada malam terakhir dalam suatu kunjungan singkat kita di suatu tempat untuk kembali lagi ke rumah kita. Dunia ini hanya tempat persinggahan sementara, maka dari itu mari kita mulai berkemas untuk bersiap diri meninggalkannya untuk menuju rumah kita yang sebenarnya nanti.

Sebagian dari kita mungkin ‘merayakan’ ulang tahun ke empat puluh dalam suasana duka, gundah karena persoalan hidup yang menghimpit, menyesakkan dada, seolah tidak ada peluang untuk mencari jalan keluar. Sebagian lagi barangkali ‘merayakannya’ dengan air mata kesakitan karena penyakit yang diderita dan belum tersembuhkan. Bagi sebagian lainnya dari teman-teman barangkali baru saja mendapatkan promosi di usia empat puluh ini sebagai hasil dari kerja keras kita dalam dua puluh tahun terakhir ini. Namun banyak pula yang dapat ‘merayakan’ hari jadinya yang keempat puluh itu penuh dengan suka cita di restaurant hotel berbintang lima, dalam keadaan berkelimpahan harta, dikelilingi oleh keluarga atau sahabat-sahabat. Sungguh beruntung berkesempatan mendapatkan kelimpahan nikmat seperti itu.

Bagaimanapun kondisi kita pada saat mencapai usia empat puluh itu tidak lepas dari peringatan Allah swt kepada kita dalam Surat Al Baqarah “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” [2.155].

Jadi segala bentuk kesulitan, kesedihan, kesakitan, kebahagiaan atau bahkan kenikmatan harta dan jabatan, semua tidak lebih dari sekedar ujian dari Zat Yang Maha Kuasa kepada kita semua. Allah ingin melihat seperti apa kita yang sebenarnya dalam keadaan sulit, sedih, menderita, senang, kaya atau jaya. Sejauh mana kita amanah sebagai mahluk ciptaanNYa atau akankah kita malah mendurhakaiNya? Teringat saya akan ayat dalam Surat Ar Rahman, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” sebuah pertanyaan yang diulang sebanyak 31 kali, yang menyuruh kita merenung sudahkah kita mensyukuri segala yang kita miliki selama ini, baik keadaan kita yang sedang sulit, sedih, sakit, bahagia, kaya raya dan jaya itu. Sesungguhnya Allah senantiasa menguji setiap orang yang mengaku telah beriman kepadaNya, ujian tersebut bisa saja dalam bentuk kesulitan ataupun kesenangan (Surat Al ‘Ankabuut [29.2] “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?”)

Melalui surat Al Ahqaaf, Allah telah memberikan isyarat kepada kita semua, jalanilah hidup ini. Terlepas dari segala kebodohan kita sebagai manusia yang terkadang membiarkan diri kita terhanyut sejenak untuk segala hal remeh yang tiada berarti, bahkan terkadang malah merugikan kita sendiri sebenarnya. Apapun yang sudah kita lakukan selama puluhan tahun ke belakang, jangan lewatkan kesempatan berharga ini. Di usia ke empat puluh kembalilah kita kepada Allah dengan membawa segudang dosa selama perjalanan hidup empat puluh tahun di dunia ini, berdoa dan memohon ampunanNya, bertobat kepadaNya, sang Al Tauwaab, maha penerima tobat dan maha pengampun.

Benar adanya, akhir itu lebih baik daripada awal. Tidak penting kita telah menjalani hidup ini dengan baik jika kita mengakhirinya justru dalam keadaan merugi. Sebaliknya, tidak usah berkecil hati jika selama ini kita banyak melakukan kebodohan atau menimbun dosa, sepanjang kita bisa dapat menuntaskan hidup di dunia ini dengan taubatan nasuha, mengembalikan diri kita kepada Sang Khalik, Zat Yang Maha Pemaaf dan Pengampun dalam keadaan khusnul khatimah. Tidak berarti sebelum kita menginjak usia empat puluh kita bisa bersantai atau jika kita telah melewati usia empat puluh artinya terlambat untuk berdoa dan memohon tobat, berapapun usia kita saat ini Allah Al Tauwaab, Al Ghaffar Maha Pengampun bagi orang-orang yang berdosa tidak pernah memberikan batas waktu terakhir penerimaan tobat, sepanjang kita belum mengalami sakratul maut. Hanya saja persoalannya kita tidak pernah tahu kapan maut akan menghampiri kita, akankah kita sempat melakukannya?

Sungguh saya tidak bermaksud menggurui teman-teman semua, sungguh ilmu yang saya miliki sama sekali tidak lebih hebat dari teman-teman lainnya. Barangkali saya baru sekedar tahu satu atau dua ayat, namun yang ingin saya bagi dengan teman-teman adalah kesan dan apreasiasi saya terhadap satu atau dua ayat itu, sebagai pengetahuan yang mudah-mudahan bermanfaat bagi teman yang belum mengetahuinya, atau sebagai pengingat bagi teman-teman yang sudah sangat fasih terhadapnya. Saya hanya ingin menjalankan salah satu perintah Allah dalam surah Al Ashr, saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Semoga Zat Yang Maha Membolak balik Hati senantiasa menetapkan iman di dalam hati kita dan menundukkan kesombongan yang tersembul, jika kita belum mampu menyingkirkannya, dari dalam diri kita.
Amin.
Rasuna, 10 Mei 2008
Gusnelia Tartiningsih (Nela Dusan)

046. AL AHQAAF

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". [46.15]


20 May 2008

What Money Can Buy


What Money Can Buy


What do people think about their fortune? To some people fortune means power, assets or women or even all of them combined together. To others fortune would mean compassion, ammunition, means to help other less fortunate people. It’s a real fact that not all fortunate people realize that their fortune was only given to them by God as custody. It’s not a secret that many fortunate people think that they are what they are because of their hard work or luck so they think that they deserve everything, that others who are unfortunate were a bunch of lazy people.


I once met an old friend who is already old and he owns a company engaging in infrastructure business. He told me that the project is very feasible and attractive that he has spent so much money in conducting the study. He proposed the project to the regional government which was responded positively, he was awarded the project by Governor. The problems soon emerge one by one, technically and financially. Technically it was solved, unfortunately financial problem seemed to be far from being solved. He is seeking fund everywhere, since it is a long term project, very few people interested. Among the interested people, they required conditions which were hardly acceptable to him. Some of them offered him a golden shake hand to kiss the project goodbye with a handsome amount of money. Those are not what he wants, he has a dream, he wants to build and develop the infrastructure that would give benefit to people, even though he has no money yet.


One day, this old friend was arranged to meet somebody that is believed can help to settle this financial problem. He and his directors paid a visit to this so called famous guy, a former president director of a quite big national bank. This guy asked some questions to his guests and soon came to conclusion that the guests have nothing but ideas and dream. Despite the fact that it is normal for any project finance to have a zero capital, the guy kept questioning the financial ability of my friend, as the project owner. Frankly, my friend told him that they only have so much amount of money which comparing to the total project cost look very small, peanut. This guy seemed to forget that the original intention of the group visiting him was to seek his assistance in seeking fund to finance the project. Other than giving a constructive advice, the big guy told my friend to back off and surrender the project to government. The big guy even mentioned to ask regional government to issue sort of municipal bond to finance the project, consequently the existing project owner would have to surrender the concession and would act as contractor with fee basis only. He mentioned the fee basis as if it was the ultimate goal to my friend. He did not believe in sentimental reason, to him, people with no money do not deserve a chance to realize their dream. Had my friend had so much money, he would not have come to his office. This big guy boasted during the meeting that he would assist the government in issuing the bond and the project owner would be given around 2% fee out of the total project cost, which he thought would be more than enough to my old friend. He also mentioned about timing, why my friend should wait until 7 or 10 years before gaining profit, in other words, he would say that there would not be enough time for my friend to enjoy the profit.


My poor old friend only smiled during the meeting but deep inside his heart was broken. I do understand his feeling being insulted and disgraced like that, so much for fund raising. He was no opportunist kind of person, his goal was clear, had he planned for easy money, he would have been very rich by now. He had refused some interesting offers just to make sure that this project was developed by the right people so that it could meet the original objective, public welfare.


When he told me the story, I just realized that no wonder why this country is falling down to the bottom. If the financial people who should have supported national business’ growth only made a laugh at it, who would give help to Indonesian businessmen who really intend to do good business? On behalf of fee basis the official of Indonesian government would be pleased to sell any national assets to foreign companies, for a ‘small’ fee basis they are willing to sell this country to anybody who wants it. So ‘in money we trust’ has become their attitude. What a poor country we have. Then I guess we’d better add one line to ‘what money can buy’, “intelligence but not senses”.



Gusnelia T. Prasetyo (Nela Dusan)
Rasuna, 2006



A Night Without Fireworks

Last night during New Year’s Eve of 2008, I stood by the fence of my apartment balcony in Rasuna. I just got back from my brother’s house and started typing as I had something in my mind. I had been busily typing until fifteen minutes before midnight when my husband called me out from the balcony. I saw the cloudy sky was glowing by the brilliance of fireworks. Even the rains could not prevent people from burning the fireworks. For a moment I was charmed by the beauty of fireworks. They were every where. From the balcony, I could see some fireworks in the directions of Jl. Saharjo, Cempaka Putih, Tebet and East of Jakarta. I just realized that so many fireworks spots, let alone the residence of apartments as well as residence of Menteng Atas. Some of them lit the fireworks at their balcony and someone lit the fireworks at the roof of Tower 9 of Taman Rasuna Apartment. I was also enchanted by the color and shape of fireworks. They were like shooting fireworks to each other.

Despite my being amused by the complimentary show, I still felt uneasy. How much money they had burnt just to present a few seconds entertainment? It was very fast that I could not take photograph of them via my cell phone. In spite of my concern, I wanted to show the photo to my little girl, who was already asleep, to tell her how beautiful the fireworks were.

Taking into account fireworks in every direction of South and East parts of Jakarta, at least from where I saw them, I estimated hundred millions were spent for the 10 minute-show. I just made simple calculation, if hundreds million spent in one direction of Jakarta times 5 directions, at least one billion Rupiah spent or burnt for nothing. Perhaps, the intention of the fireworks contributor was right and justified, to amuse many people, mostly marginal society because the upper class might spend an extravaganza new year’s eve at some hotels or fancy restaurants.

Somehow, I just felt the timing was not right. We knew that there had been natural disasters happened to our brothers and sisters throughout Indonesia, earthquakes in West Sumatera, landslides and floods in Central Java. Even in Jakarta, some area had been closed due to floods, namely Bukit Duri area. All of them were in need of help a.k.a money.

I did not mean to be unthankful to be entertained for a while. I just could not get my troubled feeling away. If one billion was spent for 10 to 30 minute show, how many cows or goats could be bought by that amount. I made a rough calculation. There would be 140 cows or almost 1,000 goats. How many families could be satisfied for one or two days, many I believed.

Let us contemplate for a while. Was it the right way to entertain people if not ourselves? I would by lying if I said I never lit any fireworks during my childhood, I did. My father bought me boxes of 10 cm-long fireworks. We were very excited to lit the fireworks at the portico of our home. Well, it was 70s-80s, when generally, our economic condition was not as bad as at this moment. I felt such period as the golden years, just like our fathers or grand fathers referred to ‘jaman normal’’ of their version. Even during that days, not many fireworks show presented throughout Jakarta unless in a special event like a circus or acrobat. In the 80s, I remembered once saw a great firework showed at a special event, some kind of acrobat called Explomo (if I am not mistaken). Now, I saw it in many spots and in common residential areas.

I thought we were living in a difficult era, the era in which so many people were so poor and penniless. Ironically, at this moment we still had nerve to celebrate one night in an overexerting way. I felt disturbed that I wished I would not familiarize my daughter with that kind of celebration. I would not initiate such tradition in our family.

Perhaps this reflected that actually there were many unexposed rich people living in this country. Probably, it was the country that was poor, not the people including its officials. I thought the government should lead the action to change the manner of celebration in the coming years, so that people would follow. There should be feeling of sensitivity. Some of us might think that the celebration would not weaken our economy or on the contrary, the prevention the money from being burnt in one single night would not fortify our economy either. To me, any good and justifiable spending of money would always make difference, especially to the developing country like Indonesia.

The government should be seriously taking action on this. If possible, the government could issue some kind of regulations that control if not prevent fireworks. Not because it was illegal thing, but because it was not acceptable to the general condition of Indonesia. If people did not have enough consciousness to start, then the leader should take a lead. Wasn’t it one of their obligations to this country?

Rasuna, 2 January 2008

Gusnelia Tartiningsih (Nela Dusan)