26 May 2008

BEKAL UNTUK PULANG







Bagian I
Apakah ‘Ismail’ Kita?

Dalam obrolan dengan seorang teman pada saat makan siang di salah satu restoran favorit saya, sambil menikmati hidangan penutup dan secangkir cappucino panas, sampailah kami pada pembicaraan haji. Sambil lalu saya bertanya pada teman tersebut kapan dia akan berangkat menunaikan rukun islam yang kelima tersebut. Dijawab oleh teman tersebut bahwa dia belum siap. Saya sempat terdiam mendengar jawabannya. Saya memperhatikan dia sejenak, tanpa sadar saya mulai menghitung-hitung kemampuan teman saya itu. Dia bekerja sebagai tenaga profesional senior di perusahaan asing, dia juga seorang ibu dengan dua orang anak yang sudah cukup besar, yang terkecil berusia 5 tahun. Sejenak ingatan saya melayang pada suatu kesempatan lain, saya juga pernah terlibat percakapan seputar haji dengan salah seorang teman yang lain, lagi-lagi seorang wanita karir yang sukses di suatu law firm papan atas di Jakarta ini, juga seorang ibu dari dua orang anak, tentunya secara ekonomi kemampuannya tidak perlu diragukan lagi. Saat itu pun jawaban yang diberikan olehnya sama, yaitu belum siap. Saya jadi merenung sejenak dan mengatakan kepada kedua orang teman saya itu hal-hal yang ada dalam pikiran dan hati ini sebagai tanggapan atas jawaban mereka itu. Semoga Allah mencatat pembicaraan saya dengan teman-teman saat itu dan juga tulisan saya saat ini bukan sebagai perbuatan riya, naudzubillah.

Sebenarnya apa arti siap dalam konteks berangkat haji. Sebagian besar orang mengkaitkan kesiapan atau kemampuan itu tidak hanya dengan kemampuan kondisi keuangan atau kesehatan tetapi lebih pada kesiapan mental. Merasa belum siap untuk berubah kah? Padahal perubahan setelah haji insya Allah adalah perubahan yang baik. Tanpa mereka sadari sikap mereka dapat menimbulkan penafsiran bahwa seakan-akan mereka merasa khawatir untuk mengalami perubahan kearah yang baik. Kenapa harus demikian? Bahkan saya kerap mendengar alasan orang-orang bahwa mereka belum berangkat haji karena takut. Takut apa gerangan? Sebagian dari mereka mengatakan takut datang ke rumah Allah karena masih banyak melakukan hal-hal yang tidak disukai Allah sehingga takut mendapat cobaan atau teguran selama di sana. Saya jadi bingung, kenapa mereka justru takut untuk meminta ampun kepada Allah sementara mereka sadar mereka melakukan perbuatan yang tidak diridhoi Allah. Apakah kita telah lupa betapa Allah itu Maha Pengampun.

Saya jadi merasa khawatir jika alasan takut itu justru merupakan suatu manifestasi lain dari sikap ‘keakuan’ kita sebagai manusia. Apakah Allah hanya ada di Mekah sana, sehingga jika kita tidak datangi Dia, maka kita luput dari marahNya? Apakah ‘perbuatan’ atau tingkah laku kita yang kita jadikan alasan belum patut menemuiNya itu merupakan perbuatan yang menjadi terlarang hanya jika kita sudah punya embel-embel haji atau hajjah? Kenapa kita jadi seperti melecehkan kekuasaan Allah dibalik alasan takut yang kita dengungkan selama ini.

Sangat ironis bukan, kita sendiri sebenarnya sangat paham bahwa apa yang kita lakukan saat ini mungkin hal yang dimurkai Allah, tetapi kita tidak mau segera minta ampun. Disamping itu, kita pun harus ingat bahwa tidak selamanya jadi atau tidaknya kita berangkat ke tanah suci selalu berada di bawah kontrol kita. Terkadang tidak cukup hanya bermodalkan kemampuan ekonomi dan kesehatan saja kita bisa berangkat ke tanah suci, masih ada faktor lain yang memastikan terjadinya hal itu, yaitu ridho Allah Sang Pemilik Rumah. Kenapa kita harus merasa sombong menganggap kesempatan berhaji itu semata bergantung pada diri kita, sementara Tuan Rumahnya sendiri belum tentu sudi kita datangi.

Bagi saya menunaikan ibadah haji itu adalah sebagai bukti rasa syukur dan puncak pengabdian kita sebagai mahluk ciptaan Allah kepada sang Khalik. Mengapa demikian?

Kembali kepada prinsip dasar penciptaan Allah atas manusia, dalam Al Quran Allah mengatakan ‘tidak Kuciptakan manusia dan jin selain untuk menyembahku’. Dari kalimat itu jelas tujuan hidup kita sesungguhnya adalah menyembah Allah sampai kita kembali lagi kepadaNya. Menurut keyakinan saya, pelaksanaan dari penyembahan Allah tersebut adalah berupa tindakan amar ma’ruf, nahi munkar, melakukan yang diperintahkan dan meninggalkan larangannya. Sesungguhnya Allah menciptakan kehidupan dan menentukan kematian setiap mahluk yang diberiNya nyawa. Jadi semestinya kita selalu mengingat bahwa tujuan hidup kita adalah untuk kembali lagi kepadaNya. Seperti halnya sebuah lingkaran, titik akhir dari lingkaran itu adalah titik awal dari lingkaran itu sendiri, demikian pula kehidupan kita.

Misalkan kita sudah punya rencana berpergian ke luar negeri pada tanggal tertentu, tentunya sebelum tanggal itu kita sudah melakukan segala persiapan, antara lain memastikan paspor masih berlaku, sudah memiliki visa, sudah memesan tiket. Apa yang terjadi jika salah satu dari hal-hal tersebut belum ada, tentunya kita batal melakukan perjalanan. Semisal, usia kita sudah ditentukan, tentu kita akan bersiap-siap menyambut tanggal itu, persiapan kita mulai dari melakukan semua perbuatan yang baik, giat melakukan ibadah, sampai mempersiapkan harta warisan kepada ahli waris kita. Karena kita paham akan kewajiban menunaikan ibadah haji jika mampu dan konsekuensi dari tidak dilaksanakannya kewajiban tersebut, maka kita akan memastikan bahwa kewajiban tersebut telah ditunaikan sebelum ‘deadline’ kehidupan kita. Tidak satupun urusan duniawi yang bisa menghalangi niat kita untuk menunaikan ibadah haji. Semua karena kita sudah paham kapan hari akhir kita tiba.

Persoalannya adalah Allah membiarkan masalah kematian menjadi sebuah misteri sampai waktu kematian itu benar-benar datang. Setiap saat kita bisa dipanggil oleh Allah, bisa jadi setelah saya menyelesaikan tulisan atau bahkan sebelum saya menyelesaikan tulisan ini saya dipanggil Allah. Jika waktunya tiba apakah kita bisa meminta Allah menunda kematian itu dengan mengatakan “tunggu saya belum siap?” Sama halnya dengan peristiwa kematian yang tidak dapat kita majukan atau undurkan barang sedetik, sesungguhnya tidak ada lagi alasan bagi orang yang sudah dicukupkan rejeki dan kesehatan oleh Allah SW untuk menunda keberangkatan ke tanah suci.

Definisi siap atau mampu dalam konteks haji hanyalah merujuk pada dua hal, yaitu pertama mampu dalam hal keuangan dan kedua mampu dalam kesehatan. Jika Allah sudah menganugerahkan kepada kita kedua hal itu dalam waktu yang sama, nikmat Allah yang mana lagikah yang hendak kita ingkari? Saya sangat bersyukur bahwa Allah telah mencukupkan rejeki dan kesehatan saya tahun kemarin sehingga saya bisa menunaikan ibadah haji bulan Desember 2006 yang lalu, haji akbar karena saat wukuf jatuh pas pada hari Jum’at, alhamdulillah.

Sesungguhnya Allah tidak meminta hal yang berlebihan kepada kita, mahlukNya, apa yang dia minta untuk kita tunaikan sebenarnya tidak terlepas dari rejeki yang telah Dia cukupkan kepada kita. Jadi kita sudah diberi modal oleh Allah berupa kekayaan dan kesehatan agar dapat menunaikan rukun Islam yang kelima, makanya kewajiban haji dibatasi pada kemampuan setiap manusia. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan bagi orang yang belum termasuk kategori mampu tetapi karena nasib atau nasabnya mereka bisa berangkat menunaikan haji.

Saya sangat bersyukur bisa menunaikan ibadah haji pada saat usia relatif muda, belum lagi mencapai 40 tahun dan dalam kondisi relatif sehat, meskipun saat itu ada sedikit keluhan pada telapak kaki saya. Pada saat saya berangkat, anak perempuan saya yang semata wayang itu belum lagi genap berusia 6 tahun. Betapapun berat rasanya meninggalkan anak yang masih kecil untuk waktu sekitar 23 hari, namun saya sudah membulatkan tekad untuk berangkat. Saya harus bisa menyingkirkan ‘ismail-ismail’ dalam diri saya. Disamping itu saya juga menghadapi godaan pekerjaan yang sepertinya sangat berat saya tinggalkan saat itu. Beribu kekhawatiran menghinggapi pikiran, bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu selama saya pergi, ah segala sesuatu yang membuat kita bimbang. Begitulah setan mempermainkan perasaan dan pikiran kita. Semua alasan yang dapat membuat kita bimbang dan tampak demikian nyata sehingga membuat kita menunda dan menunda lagi langkah kaki ini untuk menghampiri sang Pencipta di rumahNya.

Sesungguhnya berangkat haji dan prosesi wukuf adalah miniatur kehidupan dan kematian, hal tersebut akan saya kupas di bagian kedua dari tulisan ini. Menjelang berangkat haji, seorang sahabat menghadiahkan saya buku karangan Ali Syariati yang berjudul ‘Makna Haji’. Saya ikuti lembar demi lembar buku itu dan mendapati esensi dari ibadah haji. Saya sangat bersyukur mendapat kesempatan membaca buku itu sebelum berangkat sehingga saya mengikuti prosesi ibadah haji dengan penuh penghayatan dan kesungguhan hati. Sungguh luar biasa ibadah haji itu bagi seorang muslim. Bagi saya pribadi, perjalanan suci saya tahun lalu itu merupakan pengalaman batin paling dahsyat seumur hidup. Perjalanan ibadah haji merupakan napak tilas perjalanan Nabi Ibrahim, bapak nabi-nabi. Nabi Ibrahim, seorang pencari Tuhan yang tauhid sejati, Tuhan yang Maha Pencipta, bukan tuhan yang diciptakan manusia.

Jika kita bicara mengenai Nabi Ibrahim, tidak pelak kita juga membicarakan kurban dimana Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail, anaknya yang telah lama dinantikan dan setelah menginjak remaja, tiba-tiba Allah meminta agar Ismail disembelih. Demi rasa cintanya kepada Allah, Nabi Ibrahim membuktikan ketaatannya yang mutlak, dilakukannya apa yang diperintahkan Allah di dalam mimpinya. Demikian pula dengan Ismail, dengan kecintaannya kepada Allah, dia memberikan dukungan kepada ayahnya untuk melaksanakan perintah Allah tersebut. Keikhlasan Ibrahim dan Ismail dihargai oleh Allah SWT dan pada detik terakhir Allah mengganti kurban dari Ismail menjadi Domba. Di saat hari raya iedul adha kita pun melakukan pemotongan hewan kurban, karenanya hari raya haji juga dikenal sebagai hari raya kurban.

Analogi kisah nabi Ibrahim itu merupakan gambaran kehidupan kita semua. Tidak ada satupun orang yang mengaku beriman yang tidak mengalami ujian dari Allah. Haji merupakan salah satu ujian yang harus dilalui oleh setiap muslim yang telah sampai nisabnya untuk menuju kesempurnaan iman dan hidupnya. Allah tidak akan menghitung seberapa besar kekayaan kita selama kita hidup. Sesungguhnya harta kekayaan kita itu hanya perhiasan selama kita hidup saja, hanya alat yang bisa digunakan untuk menambah modal pulang menghadap sang Pencipta kita pada waktunya nanti dengan menafkahkan rejeki kita tersebut di jalan Allah. Sungguh beruntung orang-orang muslim yang dikaruniai rejeki lebih oleh Allah, apalagi jika mereka pandai mensyukuri nikmat.

Menunaikan ibadah haji berarti meninggalkan kehidupan duniawi kita sejenak dan membawa ‘ismail’ kita masing-masing untuk dikurbankan kepada Allah. Setiap orang memiliki ‘ismailnya’ masing-masing. Apakah ‘ismail’ kita? ‘Ismail’ dalam hal ini berarti segala sesuatu yang menghalangi cinta kita kepada atau menjauhkan cinta kita dari Allah. Dia dapat berupa anak, suami, istri, pekerjaan, pangkat, jabatan, kekayaan, dsb. Sesuatu yang sangat kita inginkan atau sayangi sehingga kita takut kehilangan jika kita harus meninggalkannya sejenak. Sesuatu yang harus kita kurbankan untuk membuktikan pilihan hati kita, ketaklukan kita kepada sang Khalik. Sebagaimana halnya dengan Ibrahim, keikhlasan kita membawa setiap ‘ismail’ kita itu tidak akan luput dari penilaian Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatunya.

Berangkat haji merupakan suatu titik puncak pembuktian antara kecintaan kita kepada Allah dengan kecintaan kita terhadap benda-benda di dunia fana ini. Apakah cinta kita kepada anak-anak kita yang masih kecil dan lucu mengalahkan kerinduan kita untuk bertemu Allah pada saat wukuf di Arafah, padahal dengan demikian kita bisa mendoakan anak keturunan kita menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah yang kelak akan dipertemukan kembali dengan kita di surga. Apakah pekerjaan kita demikian berharganya sehingga rasa takut kita akan kehilangan pekerjaan mengalahkan rasa takut kita kepada Allah, padahal hanya kepadaNyalah kita akan kembali, bukan kepada perusahaan atau bos kita yang saat ini terasa menakutkan bagi kita.

Kita sering lupa bahwa terkadang sesuatu amat kecil nilainya di mata kita namun besar artinya di mata Allah dan sebaliknya, sesuatu demikian besar nilainya di mata kita, namun sesungguhnya tiada bernilai di mata Allah. Semoga kita semua memiliki kearifan agar dapat membedakan keduanya.

Rasuna, 26 November 2007

Nela Dusan (Gusnelia Tartiningsih)

No comments: