26 May 2008

BEKAL UNTUK PULANG




BAGIAN II
Hikmah Haji

Saya berangkat haji beserta 3 orang teman lainnya. Pertama kali membuka pintu kamar hotel di tengah malam yang gelap, tiba-tiba kami disuguhi pemandangan luar biasa, Masjidil Haram yang terang benderang demikian indah bersinar dari balik jendela kamar hotel kami. Rasanya hati saya bergetar, ya Allah akhirnya sampai juga mata saya memandang langsung rumahMu. Kami langsung melakukan umrah wajib segera setelah meletakkan kopor di kamar hotel. Pada saat berputar mengelilingi ka’bah saya merasakan perasaan yang tidak terlukiskan saat itu, akhirnya saya menginjakkan kaki di rumahMu ya Allah, mengitari ka’bahMu. Dalam suatu malam yang syahdu, saya melakukan shalat taubat, tahajud dan tasbih, belum genap rakaat pertama dari shalat tasbih saya, air mata ini tumpah ruah tidak tertahan. Saya merasakan segala sesak di dada akhirnya lenyap, saya seperti merasa kembali ke rumah orang tua yang telah lama saya tinggalkan. Ternyata tempat itulah yang saya cari selama ini, kekosongan jiwa saya seperti terisi kembali, kerinduan rasanya tumpah ruah saat itu juga. Alhamdulillah saya berhasil menemukan frekuensi getaran yang dipancarkan yang selama ini terhalang oleh segala dosa dan kekhilafan saya selama ini.

Prosesi haji sarat dengan hikmah dan makna, meskipun tidak semua manusia mau bersusah payah memikirkan atau mencarinya meskipun Tuhan telah melengkapi kita dengan keistimewaan akal yang membedakan kita dengan mahluk ciptaanNya yang lainnya. Dalam suatu kesempatan sebelumnya, saya sempat membeli buku di salah satu toko buku kecil di Dubai, buku itu berjudul Hajj of the Heart, terbitan Orina yang dicetak di Malaysia. Sungguh indah isinya.

Digambarkan dalam buku itu bahwa Ka’bah merupakan sebuah bangunan kubus kosong. Kubus kosong tersebut terkait dengan segalanya, yaitu Allah, Pencipta Segalanya. Dengan menghadap ka’bah, jamaah haji menegaskan kembali keyakinannya kepada Pencipta yang Tidak Tampak.

Prosesi tawaf menggambarkan betapa kehidupan kita ini mengalir seperti sungai menuju lautan keabadian. Kehidupan kita hanya sementara sebelum kembali lagi kepada sang Pencipta. Pada saat tawaf, tidak ada tempat berhenti, tempat berakhir tawaf adalah tempat dimana kita memulai. Sama halnya dengan tawaf, kehidupan kita dimulai dari Allah dan berakhir dengan kembali kepada Allah. Tawaf menggambarkan kehidupan semesta di dalam orbitnya dan Ka’bah lah pusat orbitnya, demikian dalam kehidupan kita, kita semua bergerak dan Allah lah sebagai pusatnya.

Prosesi Sa’i menggambarkan betapa kehidupan kita yang berpusat pada Allah SWT harus senantiasa dipenuhi dengan usaha, seperti halnya yang dilakukan oleh Siti Hajar ketika berlari mencari air di tengah gurun yang gersang dari bukit Safa menuju Marwa demi anaknya tercinta. Sa’i bukan sekedar usaha tetapi juga gambaran cinta dan belas kasihan, betapa Allah tergerak setelah menyaksikan tangisan bayi bercampur dengan air mata sang ibu. Allah yang Maha Pengasih menyaksikan dalam kesunyian. Bukan perkara sulit bagiNya memberikan air untuk Siti Hajar, namun Allah ingin melihat Siti Hajar melakukan bagiannya, usahanya. Setelah usaha yang dilakukan Siti Hajar, Allah menunjukinya sumber air yaitu sumur Zamzam.

Demikian pula hidup kita, tidak ada keberhasilan yang diperoleh tanpa usaha. Merupakan sunatullah, siapa yang berusaha akan mendapat hasil, tanpa melihat agama atau keyakinan apa yang dimilikinya. Namun, perbedaannya antara keberhasilan seorang muslim dan non muslim agaknya terletak pada cara kita menjalani proses dan rasa syukurnya. Seorang muslim hendaknya senantiasa memahami segala rejeki dan nikmat dalam hidupnya, termasuk pula cobaan yang ada semua berasal dari Allah dan kita menyatakan rasa syukur pun kepada Allah bukan kepada yang lainnya. Seorang muslim hendaknya mewujudkan sikap takwa dalam setiap gerak hidupnya. Jika kita berkehendak mencapai suatu tujuan, maka kita harus berusaha dan berupaya dengan maksimal namun setelahnya, mari kita pasrahkan kepada Allah untuk menentukan hasilnya. Dengan menjaga sikap takwa, insya Allah kita tidak perlu penasaran sehingga sampai menghalalkan segala cara demi mencapai suatu tujuan.

Dalam ritual haji ada satu prosesi yang merupakan inti dari ibadah haji itu sendiri yaitu Wukuf di Arafah. Pada saat kita meninggalkan Rumah Allah di Mekkah kita langsung bertemu Sang Tuan Rumah di Arafah. Arafah sendiri terletak di luar Tanah Haram Mekah yang menggambarkan bahwa Pemilik Rumah berada dimana saja dan dekat dengan kita bahkan lebih dekat dari urat di leher kita. Dalam prosesi Wukuf inilah kita dapati miniatur atau gladi resik kematian. Pada saat wukuf, kita semua berkumpul di Arafah pada waktu yang sama, setelah matahari tergelincir di atas kepala (pada saat masuk waktu zhuhur) sampai dengan saat matahari terbenam. Bayangkan jutaan muslim bertafakur, memuji nama Allah, terisak memohon ampunanNya, berdiam di dalam suatu tempat yang luasnya kurang lebih sebesar kawasan Blok M dan sekitarnya, subhanallah, semua mendapatkan tempat. Konon dikatakan bahwa Arafah itu bagaikan rahim seorang ibu, berapapun jumlah dan betapapun besarnya bayi yang dikandungnya, rahim ibu akan sanggup menjadi tempat bernaung sang jabang bayi.

Saat itulah Allah membanggakan manusia ciptaannya kepada Malaikatnya yang sekali waktu pernah ‘mempertanyakan’ pertimbangan Allah dalam menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi ini. Saat dimana Allah membuka pintu ampun, mengabulkan setiap dan semua doa, baik yang diucapkan oleh bibir atau yang hanya terucap di dalam hati setiap umatnya.

Suatu saat yang kita tunggu dan kita manfaatkan dengan maksimal, betapa setiap orang yang ada saat itu disibukkan dengan gumaman doa dari bibir masing-masing, pengakuan yang paling jujur dan permohonan doa yang paling lirih. Saat itu saya juga sempatkan membuka buku catatan dan menyampaikan titipan doa para sahabat, teman, kerabat dan keluarga, semoga Allah berkenan mengabulkan setiap dan semua doa saya saat itu.

Wukuf merupakan gladi resik kematian, miniatur padang mashyar. Pada hari kiamat roh kita semua akan dibangkitkan di padang mashyar dan saat itu pintu tobat sudah tertutup sedangkan pada saat wukuf di padang arafah, justru sebaliknya, dengan jasad yang masih lengkap, roh yang masih menyatu, dengan pakaian ihram yang menyerupai ‘kafan’ putih, Allah justru membukakan pintu tobat dan ampunan seluas-luasnya kepada setiap manusia yang memohon kepadaNya.

Jika demikian luar biasanya hikmah dan manfaat haji bagi kita sendiri, masihkah kita merasa belum siap untuk menghadapNya di Arafah, bukankah semestinya kita merasakan kerugian yang luar biasa karena telah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan dengan tidak menyegerakan keberangkatan kita ke sana. Haji bukanlah untuk kepentingan Allah, sesungguhnya dibalik kewajiban kita menunaikan ibadah Haji terdapat kepentingan kita sendiri.

Labbaikallahumma labbaik...selamat menunaikan ibadah haji saudara dan saudariku, semoga Allah menjadikan kalian Haji dan Hajjah yang mabrur. Amin.

Rasuna, 26 November 2007

Nela Dusan (Gusnelia Tartiningsih)

No comments: