08 September 2008

MEMBERI ATAU DIBERI?


Terkadang kita menemui situasi dimana kita melupakan bahwa betapa banyaknya nikmat dari Allah Tuhan Semesta Alam yang telah kita terima selama ini. Dalam suatu percakapan pribadi antara saya dengan salah seorang teman mengenai ketidaksukaan teman saya itu terhadap tindakan suaminya yang meminjamkan uang kepada salah seorang saudaranya yang digambarkannya seorang pemalas yang bisanya membuat repot saudara.

Saya menanyakan kepada teman saya tersebut seperti apa gerangan kerepotan yang disebabkan oleh saudara iparnya itu. Menurut teman saya iparnya itu sungguh pemalas, sebenarnya dia mampu untuk mencari nafkah tetapi dia terlalu malas untuk berusaha.

Sebenarnya ucapan teman saya itu tidak salah juga, memang semestinya seorang manusia yang memiliki tanggung jawab kepada anak dan istrinya harus mau bekerja dan berusaha untuk mencari nafkah. Kuncinya hanyalah berusaha, karena Allah juga sudah menyebutkan dalam Al Qur’an, tidak akan berubah nasib suatu kaum jika kaum itu sendiri tidak berusaha mengubahnya. Sesungguhnya rejeki itu datang setelah kita berusaha, namun kita tidak bisa juga memastikan datangnya rejeki sepasti setelah kita selesai berusaha. Kewajiban manusia adalah berusaha sekuat tenaga, berdoa dan selanjutnya biarlah Allah Yang Maha Pemberi yang akan menentukan imbalan termasuk rejeki kepada hambaNya yang telah berusaha tadi, itulah salah satu bentuk sikap tawakal.

Saya tidak ingin membahas mengenai bentuk usaha atau kemalasan seseorang ataupun menilai apakah seseorang memenuhi kriteria kepantasan untuk mendapat bantuan dari orang lain. Saya hanya ingin membahas mengenai segala hal yang berada di bawah kendali kita masing-masing, sesuatu yang dapat kita putuskan apakah kita menginginkannya atau tidak, apakah kita mampu melakukannya atau tidak, tidak ada hubungan dengan manusia lainnya.

Sering saya berandai-andai dalam benak saya, jika kita renungkan sejenak betapa hidup ini sebenarnya sederhana, meskipun di dalam suatu masyarakat terdapat beragam kelas atau ‘kasta’, namun sebenarnya jika disimpulkan semuanya tidak lepas dari wujud tindakan ‘memberi atau diberi”.

Jika kita dihadapkan pada suatu pertanyaan apakah kita lebih menginginkan posisi memberi atau posisi diberi? Saya pribadi selalu bergidik jika membayangkan pertanyaan itu dihadapkan kepada saya. Demi Allah yang Surga berada dalam genggamanNya, jawaban dari pertanyaan itu tidak semudah menjalaninya. Bagi saya pribadi, insyaa Allah jawaban ini bukan jawaban yang keliru, saya lebih memilih memberi. Mungkin para teman dan sahabat saya mentertawakan saya, tentu saja, siapa yang tidak ingin memberi yang notabene berada dalam posisi mampu atau istilah awamnya ‘kaya’.

Jika kita pilah dua kata kerja pasif dan aktif ini sesungguhnya membawa konsekuensi yang luar biasa seriusnya. Saya juga tidak ingin membahas bagaimana caranya menjadi golongan ‘memberi’ alias orang kaya, saya hanya ingin kita saling mengingatkan apakah artinya menjadi seorang kaya, tanpa berpikir saya merupakan salah satu dari golongan tersebut.

Kekayaan merupakan suatu yang sangat relatif, kaya bagi saya barangkali baru sekedar sejumlah uang sebesar satu hari bunga bank bagi sekelompok orang atau teman-teman yang lain. Miskin menurut ukuran saya bisa jadi menyangkut suatu jumlah uang yang merupakan satu bulan bahkan satu tahun bahkan seumur hidup penghasilan bagi seseorang. Jadi sungguh tidak ada gunanya mempermasalahkan kaya atau miskin dalam hal ini.

Kebanyakan orang barangkali memilih jawaban yang sama dengan saya, yaitu memberi karena identik dengan kekayaan duniawi, setidaknya menurut kacamata masing-masing. Perlu kita sama-sama ingat bahwa posisi memberi dan diberi merupakan hak prerogatif Allah SWT setelah mendengarkan doa dan melihat usaha kita tentunya.

Saya ingin kita meninjau posisi kita masing-masing dalam pemetaan hidup ini, apakah konsekuensi dari status ‘memberi’. Jika kita kebetulan dalam posisi ‘memberi’ tentunya kita harus selalu mensyukuri segala rahmat dan rejeki yang telah dilimpahkanNYa kepada kita, sehingga kita termasuk ke dalam golongan manusia yang telah dilebihkan rejekinya (tidak berarti kita jadi boleh tidak bersyukur jika kebetulan dalam posisi bukan memberi). Namun, dalam prakteknya secara sadar atau tidak, kita seringkali bersikap tidak amanah dan mengingkari janji yang telah ‘built in’ dalam setiap rejeki yang kita peroleh tersebut. Sekedar tanya, kira-kira apa konsekuensi yang akan kita hadapi nantinya?

Jika kita seorang bendahara atau pejabat dalam suatu departemen pemerintah bersikap tidak amanah, maka KPK akan siap menjerat kita. Jika kita seorang bendahara atau pimpinan suatu perusahaan swasta yang telah bersikap tidak amanah terhadap tugas kita, tentunya akan ke polisi jugalah urusannya. Sekarang, jika kita tidak amanah terhadap peranan kita sebagai pemberi yang sebenarnya tidak lebih dari penyalur atau distributor rejeki yang sudah dialirkan melalui kita oleh Allah SWT, gerangan konsekuensi seperti apakah yang akan menunggu kita?

Allah, Zat Yang Maha Pengasih dan Pemurah, Dia juga seorang raja ilmu matematika yang tentunya tidak akan pernah salah perhitungannya. Jika kita sering khawatir mengenai ketelitian para auditor internal atau eksternal yang dapat menemukan kesalahan-kesalahan kita, kenapa pula kita bisa melenggang pongah dari perhitungan raja dari segala raja auditor di alam semesta ini, termasuk yang akan mengaudit para auditor yang ‘menyeramkan’ yang ada di BPK atau BPKP Indonesia ini sekalipun kelak di hari Pembalasan.

Dibalik status memberi terkandung sikap kesadaran untuk menjalankan amanah dari Allah yang sebenarnya termasuk dalam salah satu doa yang sering kita panjatkan kepada Allah SWT, “ya Allah limpahilah aku rejeki yang halal, berkahilah hidupku…dsb”. Lantas setelah rejeki itu diturunkan olehNya, kita bersikap mengingkari pada saat berhadapan dengan manusia lain yang sedang dalam kesulitan. Bagaimana jika orang yang dalam kesulitan itu dikirimkan oleh Allah SWT untuk menguji kita? Hidup berkah yang seperti apa yang kita impikan, jika untuk membantu orang dalam kesulitanpun kita enggan.

Terkadang kita merasionalkan segala alasan sehingga menjadikannya alasan yang valid untuk menolak membantu mereka. Misalnya, kita berdalih, “saya telah bekerja keras sehingga sudah selayaknya saya menikmati hasilnya, sedangkan mereka adalah kaum pemalas.” Atau, “bagaimana saya bisa tahu kalau harta yang saya tinggalkan cukup untuk masa depan anak saya?” Jawabannya tentu saja tidak kita ketahui, namun urusan anak-anak, apalagi yang masih dibawah umur, yang kita tinggalkan merupakan urusan mereka yang hidup. Dalam banyak tempat Allah berfirman mengenai hak anak yatim, kewajiban bersikap amanah terhadap harta mereka sampai mereka mampu mengurus sendiri harta peninggalan orang tua mereka bahkan lengkap dengan ancaman neraka jahannam bagi yang melalaikannya. Sesungguhnya Allah telah menyatakan jaminan-jaminan tersebut, haruskah kita mempertanyakannya lagi dengan bersikap menimbun harta bagi anak-anak kita.

Kita semua memiliki kecerdasan intelektual dan spiritual dalam menilai kepatutan suatu bantuan dengan mempertimbangkan kemampuan kita masing-masing. Jika kita menyadari bahwa kita berada dalam kondisi mampu, hendaklah berlapang hati untuk memberikan bantuan tersebut, tanpa dasar riya, namun demi memperoleh ridho Allah SWT. Bukan perkara sulit bagi Allah untuk membalik nasib seseorang dari miskin menjadi kaya, semudah membalik nasib seorang yang kaya raya menjadi miskin papa dan hina.

[3.180]
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Terkadang kita dihadapkan pada situasi dimana kita mencurigai ketulusan atau kebenaran cerita dibalik suatu kebutuhan saudara atau teman kita yang meminta bantuan kepada kita, bagi saya sepanjang kita punya kemampuan untuk membantu, biarlah hal itu menjadi persoalan dan tanggung jawab antara orang tersebut dengan Allah SWT. Insya Allah, perbuatan kita membantu dia tidak juga mengurangi rejeki yang dialirkan kepada kita. Bahkan besar kemungkinannya jumlah uang yang diperoleh oleh seorang melalui jalur manipulasi tersebut tidak juga membawa berkah, apalagi menjadikannya lebih kaya dari sebelumnya. Yang terpenting bagi kita adalah sikap amanah, kita telah menjalankan amanah yang menyertai harta kita sebagai wujud rasa syukur kita karena Allah memilih kita untuk berada dalam posisi ‘memberi’.
Jika membahas masalah ini kita berpedoman pula pada hadis Rasullulah mengenai “Tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah” (H.R. Bukhari Muslim). Sungguh menjadi mampu layak dicita-citakan oleh setiap orang, namun kesadaran akan konsekuensi dari kemampuan tersebut yang selalu harus kita ingat. Namun, menjadi mampu atau kaya bukanlah tujuan hidup ini. Kondisi mampu bisa kita jadikan ladang amal bagi kita. Harta bagi seorang manusia beriman akan memiliki arti pada saat orang itu masih bernyawa. Sungguh naif jika kita berpikir harta itu berguna bagi anak cucu kita sementara justru tidak memberi manfaat bahkan mendatangkan mudharat bagi akhirat kita sendiri, naudzubillah minzalik. Hanya amal ibadah kita yang dapat menolong kita dari neraka jahannam, bukan harta yang kita tumpuk saat ini. Karenanya, marilah kita berdoa semoga kita termasuk ke dalam golongan yang pandai menafkahkan harta kita di jalan Allah agar berguna bagi modal kita di akhirat nantinya.
Kita harus bisa menjadikan harta yang kita miliki saat ini sebagai penambah amal ibadah kita, seperti amal ibadah seorang guru yang ikhlas kepada muridnya, seorang dokter yang rendah hati kepada pasiennya, seorang alim ulama memberikan pencerahan kepada umatnya. Jika ada seorang kaya yang kebetulan tidak dilimpahi kelebihan dalam suatu ilmu yang bermanfaat yang bisa dibagikan atau diamalkannya, dia justru tetap dapat membawa berkah bagi orang lain dengan jalan menafkahkan hartanya di jalan Allah, bersedekah, membantu sesama saudara dan manusia lainnya. Namun sebagian dari kita malah bersikap riya, bermaksiat atau malah bergiat mengkoleksi istri atau wanita seperti layaknya mengkoleksi mobil-mobil atau motor-motor mewah.

[2.195]
Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Tidak jarang seorang manusia justru menjadi binasa setelah meraih kekayaan yang tidak terbayangkan sebelumnya. Saya menganggap hal tersebut sungguh ironis, karena sebagian manusia bercita-cita menjadi kaya karena kelelahan akibat kemiskinan yang terus mendera. Sesungguhnya Allah memberikan kita semua cobaan melalui kekayaan dan kemiskinan. Kekayaan tanpa kesadaran dan akal cenderung menyebabkan manusia menjadi pongah, sombong dan tamak. Salah satu penyakit hati, yaitu kesombongan, merupakan penyakit hati yang telah terbukti membinasakan sejak dari jaman nabi Adam AS hingga hari ini.

[47.38]
Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).

Marilah kita merenungkan kembali sikap dan posisi kita dalam peta kehidupan ini, janganlah kita berdoa agar berada di posisi ‘memberi’ namun bersikap ‘diberi’ jika berhadapan dalam situasi dimana kita harus membantu sesama manusia. Semoga Allah SWT melimpahkan hidayahNya kepada kita semua sehingga kita bisa bijaksana dalam menjalaninya.

Rasuna, 31 Agustus 2008

Nela Dusan (Gusnelia Tartiningsih)

No comments: