25 March 2011

Di Antara Dua Rahang dan Dua Kaki



Kita semua adalah umat akhir zaman. Meskipun terpaut lebih dari 1400 tahun dengan Rasulullah, namun warisannya berupa Al Quran dan Hadits senantiasa menjadi pedoman bagi kita, kaum muslimin, semua.

Kita sering menemui beragam kenyataan sehari-hari yang telah disinggung dalam suatu firman Allah dalam Al Quran atau Hadits Nabi. Salah satunya yang ingin saya bicarakan adalah mengenai satu hadits:

Rasulullah bersabda: Siapa yang mau menjamin untukku sesuatu yang ada di antara dua tulang rahang (mulut) dan sesuatu yang ada di antara dua kaki (kemaluan), maka aku akan menjamin surga baginya.” (HR al-Bukhari).


Allah telah berfirman dalam Surat Al Ahzab ayat 70 dan 71:
QS. 33.70
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
QS. 33:71
niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.

Mari kita renungkan ayat Al Quran mengenai himbauan untuk berkata jujur dan bandingkan dengan kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Allah berbicara kepada manusia melalui firmanNya dalam Al Quran, insya Allah, kita lah yang Dia maksud sebagai orang-orang yang beriman.

Dalam kehidupan kita sehari-hari, berapa sering kita melakukan penyalahgunaan organ tubuh kita.  Kadang kita sering mendengar pepatah “mulutmu harimaumu”. Maksudnya adalah setiap kata-kata yang keluar dari mulut kita bisa berubah menjadi sesuatu yang berbahaya bagi kita sendiri. Mungkin karena tidak menjaga lisan kita bisa menciptakan musuh-musuh baru, mengukir dusta, dsb.

Lebih spesifik lagi organ tubuh yang berperan pada saat seseorang berbicara adalah lidah, tanpa lidah mustahil seseorang bisa berbicara, demikian Allah telah menciptakan segala sesuatunya dengan teramat cermat, subhanallah. Makanya ada pepatah ‘lidah tak bertulang’ dan semua kata-kata demikian mudah terucap. Sungguh tipis beda antara beribadah dengan bermaksiat bagi lidah kita.

Allah menciptakan segala sesuatu untuk tujuan yang mulia yang mendukung pada tugas yang diembankan kepada manusia yaitu menjadi khalifah di muka bumi ini, pemelihara dan pengguna bumi berikut isinya. Semuanya harus dilaksanakan sejalan dengan maksud penciptaan manusia yaitu untuk beribadah kepadaNya.
QS: 51.56
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.


Jaminan surga yang disampaikan oleh Rasulullah bagi mereka yang berhasil menjaga mulut (perkataan) dan kemaluan mereka sesungguhnya mengindikasikan betapa sulitnya hal tersebut untuk dilaksanakan.

Saat ini kita lihat di sekililing kita, betapa mudah mulut kita membicarakan gossip atau ghibah. Sebagian dari kita kadang menganggap tidak masalah untuk bergosip dengan alasan sepanjang sesuai dengan faktanya. Rasulullah mengatakan bahwa membicarakan sesuatu perihal seseorang itu disebut ghibah, jika tidak sesuai dengan kebenaran, itulah yang dinamakan fitnah. Kita sudah diingatkan bergibah sama dengan memakan bangkai saudara kita sendiri, itukah yang ingin kita lakukan? Naudzubillah.

Mulut bisa membawa kita ke surga jika kita digunakan untuk berkata-kata yang bermanfaat, lisan yang benar atau haq, bukan untuk perbuatan sia-sia.  Namun, mulut akan mengantarkan kita kepada azab Allah jika digunakan untuk bermaksiat, mengucapkan rayuan demi rayuan kepada manusia yang tidak haq (bukan suami atau istri yang sah). Apalagi jika rayuan tersebut berlanjut pula kepada perzinahan. Mulut juga dapat digunakan untuk menghembuskan permusuhan, keresahan apalagi penyulut peperangan.

Sebagaimana halnya mulut, kemaluan manusia juga bisa membawa seseorang menuju surgaNya atau azabNya. Jika seorang manusia memilih untuk menikah untuk tujuan beribadah, menyempurnakan imannya, mengikuti sunnah Rasulullah dan dia menjaga pergaulannya setelah itu, maka jaminan Surga diberikan kepadanya. Akan tetapi, jika kemaluan manusia justru menjadi komando menuju perbuatan yang keji, maksiat, maka dipastikan manusia tersebut akan dituntut pertanggungjawabannya kelak di hari pembalasan.

Tujuan perkawinan dalam Islam adalah menyempurnakan agama dan memperoleh keturunan yang soleh dan solehah. Bagaimana bisa kita raih tujuan tersebut apabila yang terjadi justru penyelewengan. Sadarkah kita betapa keras larangan Allah mengenai perzinahan. 

Al Israa (QS 17.32):
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.

Disebutkannya mulut dan kemaluan dalam satu hadits menunjukkan betapa keduanya berperan besar dalam perbuatan yang menuju pada zina atau perbuatan zina itu sendiri. Kedua hal itu terkait erat dengan hawa nafsu. Nafsu untuk menguasai seseorang melalui bicara dan nafsu syahwat seksual berupa perzinahan. Apabila mendekati saja sudah dilarang, apalagi sampai melakukan. Sekali saja sudah merupakan kesalahan besar apalagi sampai dilakukan berulang kali.

Sungguh menyedihkan jika banyak manusia menunjukkan syukurnya atas rahmat dan karunia Tuhan yang berlimpah justru dengan melakukan segala macam hal yang dilarangNya.

Mungkin banyak di antara kita yang berpikir, sepanjang Tuhan masih memberikan rejeki yang berlimpah, kemudahan di segala urusan kita, berarti Tuhan tidak keberatan dengan segala perbuatan maksiat kita dalam hal ini berzinah, baik sekali maupun berkali-kali, baik dengan satu orang maupun dengan belasan atau puluhan orang. Di dalam buku Al Hikam karangan Syekh Ibn ‘Athaillah el Sakandari saya memperoleh mutiara hikmah yang sangat berkesan yang saya kutip sbb:

“Takutlah bila kebaikan Allah selalu engkau peroleh pada saat engkau terus berbuat maksiat kepadaNya, itu bisa jadi lambat laun akan menghancurkanmu.”

Nasihat tersebut sungguh benar adanya karena Allah telah memperingatkan kita dalam Al Quran Surat Al ‘Araaf, sbb:

QS. 7:182
Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.

Ada atau tidaknya tegoran dari Allah atas perbuatan maksiat kita, jangan dijadikan barometer benar tidaknya perilaku kita. Kita sudah dibekali akal dan perasaan untuk menilai, kita sudah dibekali ilmu berupa perintah dan laranganNya dalam Kitabullah.  

Contoh kekonyolan sikap manusia yang menjadikan ada tidaknya tegoran langsung dari Allah menjadi pedoman benar atau tidak perbuatannya saat itu misalnya membawa-bawa Tuhan untuk membenarkan hubungan gelap seseorang. Sepasang manusia yang berselingkuh bisa berkata mungkin memang mereka sudah ditakdirkan oleh Tuhan untuk berjumpa dan jatuh cinta. Jika segala sesuatu tidak mungkin terjadi tanpa ijinNya, tentunya hubungan itu tidak bisa berlanjut. Kenyataan hubungan gelap itu berlanjut maka mestinya Tuhan sudah merestui mereka.

Sungguh naïf manusia yang berpikir seperti itu. Kenyataan bahwa Allah tidak mengintervensi hubungan terlarang semacam itu bukan berarti Allah menyetujui. Mari kita coba untuk memahami hukum Allah. Sekali Allah menetapkan larangan dan perintah, maka hal itu sudah berlaku atas tiap-tiap manusia tanpa kecuali. Allah sudah menyerahkan penerapannya kepada akal yang sudah diberikan kepada setiap insane. Faktanya ada praktek menyimpang, itu semata-mata pelanggaran. Setiap pelanggaran pasti ada sanksi.

Ada satu kisah yang sangat tepat menggambarkan ketetapan Allah atas mahluknya. Di dalam buku yang berjudul Perjumpaan dengan Iblis karangan Muhammad Syahir yang diterbikan oleh Lentera, dikisahkan bagaimana Iblis terus berusaha menggoda Adam dan Hawa ketika di Surga.

QS 2:35
Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang lalim.

Pada saat Adam dan Hawa hidup di Surga, Iblis sudah terusir dari Surga akibat kesombongannya dan dia sudah terputus dari rahmat Allah selamanya. Pada percobaan pertama Iblis menggoda Adam melalui seekor ular, dia membisiki Adam bahwa Tuhan tidak berkenan dia memakan buah khuldi karena setelah memakannya Adam bisa hidup abadi. Adam tidak terkecoh, dia bahkan menasihati ular tersebut dengan berkata “wahai ular, itu adalah bisikan Iblis. Bagaimana mungkin aku mendekati hal yang telah dilarang oleh Tuhanku dan berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan perintahNya.”

Singkat cerita, gagal menggoda Adam, Iblis mencoba mendekati Hawa. Masih dengan menggunakan ular, Iblis mengganti trik. Dikatakannya kepada Hawa bahwa Adam dan Hawa diperkenankan untuk memakan buah khuldi sebagai hadiah ketaatan mereka kepada Allah. Awalnya Hawa tidak mempercayai, tapi Iblis kembali memberikan bujukan dan rayuan mautnya.

Pohon Khuldi dijaga oleh dua malaikat penjaga. Rayuan Iblis yang menyarankan Hawa untuk mencoba mendekati pohon itu untuk membuktikan bahwa dia tidak akan dicegah sehingga menjadi dasar pembenar tindakan pelanggaran Hawa telah nyata-nyata membuat Hawa terkecoh.  Pada saat Hawa bersedia mencoba, Malaikat penjaga pohon pun heboh berusaha melarang dan menyelamatkannya, namun turunlah wahyu yang menahan mereka:

“Kalian Aku perintahkan untuk menjaganya dari mahluk-mahluk yang tidak berakal, adapun bagi mereka yang telah Kuberikan kemampuan untuk menalar dan memilih, biarkan saja akal mereka yang telah Kujadikan hujjah bukti bagi dirinya yang menentukan. Kalau dia menuruti akalnya, maka dia berhak mendapatkan pahala-Ku, adapaun jika dia melanggar dan menylahi perintah-Ku maka dia berhak mendapatkan hukuman-Ku.”

Seakan membuktikan perkataan Iblis, Hawa dapat bebas mendekat pohon khuldi. Setelah Hawa puas memakan buah khuldi, dia pun memanggil Adam. Selanjutnya mereka berdua merasa menyesal dan bagaimana akhir kisah Adam dan Hawa selanjutnya sudah kita pahami semua.

Kisah mengenai Adam dan Hawa adalah pelajaran bagi kita. Sekali Allah menetapkan, merupakan kewajiban kita untuk menaatinya. Sungguh tidak ada lagi alasan bagi kita untuk berkelit, mengatakan kita tidak tahu akan segala sesuatu. Kita bisa belajar menuntut ilmu hingga ke luar negeri, mengapa tidak berusaha untuk membuka Al Quran untuk mencari penerangan hidup, sementara Al Quran itu sudah ada tergeletak bertahun-tahun di salah satu sudut rak buku di rumah kita.

QS. 5:10
Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."

QS.  2:269
Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

QS. 76:2
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat.

QS. 76.3
Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.

Jika saat ini di antara kita ada yang sedang terbuai dengan kemaksiatan, segeralah bertobat karena bisa jadi tidak lama lagi Allah akan menurunkan azabnya dan membinasakan kalian di saat kalian terlena.

Menyinggung persoalan zinah, saya ingin menyampaikan perenungan saya mengenai kenapa Allah sangat keras memperingatkan masalah ini.

Di dalam Islam, asal usul seseorang sangat diperhatikan. Asal usul di sini berarti asal usul yang hakiki, bukan yang ternyata di dalam secarik kertas yang berjudul akta kelahiran. Saat ini, dengan perzinahan yang semakin marak di mana-mana, baik yang dilakukan oleh seorang yang masih bujangan maupun yang sudah menikah, semakin banyak lahir anak-anak di luar kawin atau anak haram. Mengingat perzinahan itu kebanyakan dilakukan secara sembunyi-sembunyi, maka tentunya anak-anak tersebut juga menjadi tersembunyi asal usulnya atau yang dikenal dengan istilah confucio sanguinis.

Demi menutupi malu kepada manusia lain, seorang perempuan yang tidak bersuami bisa jadi menyerahkan anaknya ke panti asuhan, selanjutnya panti asuhan menyerahkan anak itu untuk diadopsi oleh sepasang suami istri. Kelak anak itu besar dan mulai berumah tangga, dengan identitas yang kerap sudah dipalsukan, dia pun menikah. Bukan tidak mungkin anak itu menikah dengan orang yang memiliki pertalian darah dengannya. Ternyata laki-laki atau perempuan yang dinikahinya itu adalah saudara tirinya. Dalam keadaan normal dan nyata, tentu kita akan mencegahnya karena incest.

Contoh lain lagi, seorang suami meninggalkan pasangan zinahnya yang sudah sampai menghasilkan anak haram. Demi menjaga keutuhan rumah tangganya, seorang suami tidak bersedia mengakui anak haramnya sebagai anaknya. Setelah berpisah bertahun-tahun dan anak-anak sah dan haramnya tumbuh dewasa, mereka berkenalan lalu menikah, kembali scenario di atas terulang. Masih syukur jika pernikahan semacam itu bisa dicegah, tapi jika tidak lagi bisa dicegah dengan beragam alasan, malu kepada orang lain karena sudah  terlanjur hamil, terlanjur tidak bisa dipisahkan, terlanjur lain-lainnya.
Belum lagi jika perzinahan dilakukan oleh seorang wanita yang masih menjadi istri seseorang sampai menghasilkan anak. Tentu saja si suami tidak mengetahui kalau janin yang dikandung istrinya hasil benih orang lain, bisa jadi kelak si suami tetap memperlakukan anak itu sebagai anak kandungnya sendiri. Ketika anak itu dewasa, jika dia anak perempuan, tentunya dia bukan muhrim bagi ‘bapak’nya. Demikian pula ketika dia akan menikah, tidak sah jika suami ibunya yang menikahkan karena memang dia bukan anak dari orang yang disangkanya bapaknya itu.

Kita bisa menilai betapa kompleksnya persoalan perzinahan ini. Pernikahan seperti apa yang bisa diharapkan jika sejak awal pun sudah tidak sah. Untuk kasus perkawinan incest, kalaupun tidak ketahuan oleh manusia lain, akibatnya tetap tidak bisa dihindarkan. Penyakit yang mungkin diderita oleh keturunan yang dihasilkan dari perkawinan incest semacam itu menjadi suatu hal yang sering ditemui.

Sungguh Iblis dan antek-anteknya mampu membungkus segala sesuatu yang buruk menjadi indah, marilah kita semua senantiasa memohon perlindungan kepada Allah dari godaan Iblis dan setan yang terkutuk. Aamiin ya rabbal alamin.
Mohon maaf jika ada kata-kata saya yang tidak berkenan.

Rasuna, 25 Maret 2011
Nela Dusan

Blog: Amazing Race, Amazing Life
www.gusnelia.blogspot.com


5 comments:

Dony Ramdhan said...
This comment has been removed by the author.
Dony Ramdhan said...

Mohon pencerahan, apakah di Al Qur'an dijelaskan siapa nama istri Nabi Adam dan bersumber dari manakah nama Hawa sebagai istri nabi Adam... trims

Anonymous said...

Nama Siti Hawa memang tidak disebutkan dalam Al-Quran... Tp hal itu tidak mengurangi Kebenaran, kemuliaan dan kesucian Al-Quran (ex staf APP)

Unknown said...

Thanks Andy. Apa kabar? sekarang dimana?

andy said...

Alhamdulillah baik Bu..Sekarang di boyolali..gimana kabar pak Adi sekluarga?