04 March 2011

Robbighfirli…



Setiap kali kita shalat kita selalu membaca

Robbighfirli        :            ampuni aku Tuhan
Warkhamni        :            dan kasihanilah aku
Wajburni            :            dan tutupi kekuranganku
Warfa’ni             :            dan tinggikan derajatku
Warzukni            :            dan berilah aku rejeki
Wahdini             :            dan berilah aku petunjuk
Wa’afini             :            dan berilah aku kesehatan
Wa’fuanni          :            dan maafkan aku     

Kita mengakui betapa rendah, hina dan tidak berdayanya kita di hadapanNya. Namun, kenapa kita masih belum bisa menerapkannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kita minta ampun kepada Tuhan untuk setiap dosa-dosa yang kita perbuat tetapi melupakan kenyataan bahwa dosa tersebut bukan hanya buruk di mata Tuhan, tetapi juga menyakiti hati manusia lain. Sementara kita tidak pernah berpikir harus meminta maaf kepada orang-orang yang tersakiti, padahal seandainya kita paham bahwa ampunan Allah akan diberikan setelah diperolehnya maaf dari orang-orang yang pernah tersakiti oleh kita. Allah mensyaratkan bahwa tidak cukup sekedar tobat kepadaNya namun perbaikan sikap antar manusia.

Kita memohon belas kasihan Tuhan, sementara yang sering kita lakukan adalah saling menindas. Kita menampakkan kelemahan kita kepadaNya sementara kita menunjukkan taring kepada sesama manusia. Bersikap tidak adil kepada seseorang atau keluarga kita. Kezaliman tidak melulu identik dengan status social. Tidak selalu orang yang mampu yang melakukan kezaliman terhadap manusia lain, dapat saja kezaliman dilakukan oleh orang-orang dari golongan tidak mampu. Setiap orang merasa dizalimi, tidak ada yang mau disebut menzalimi. Marilah kita ingat, pada akhirnya perhitungan Allah-lah yang berlaku apakah kita yang menzalimi atau terzalimi.

Kita merengek kepada Allah agar ditutupi kekurangan kita, aib kita, sementara kita tidak pernah berhenti untuk terus membuat aib baru. Betapa beraninya kita, menumpuk aib hari demi hari, dan menyuruh Tuhan untuk menutupinya. Dapatkah kita bayangkan jika Allah tidak berkenan lagi menutup aib tersebut, sanggupkah kita mengangkat wajah kita menatap manusia lain, sanggupkah kita bersikap memerintah seperti raja kepada manusia lain dan masih sanggupkah bibir kita untuk berkata bohong demi menutupi segala perbuatan sia-sia kita?

Kita meminta agar derajat kita ditinggikan sementara kita tidak bersedia mengikuti perintahNya dan menjauhi laranganNya. Derajat seperti apakah gerangan yang kita harapkan? Kekuasaan atas manusia lain tanpa batas? Kemashuran di kalangan penduduk bumi? Pahamilah bahwa ketinggian derajat di mata Allah tidak identik dengan kejayaan versi duniawi.  Lebih baik tidak terkenal di kalangan penghuni bumi tetapi terkenal di kalangan penghuni langit.
Kita melantunkan permohonan agar dilimpahi rejeki namun bersikap serabutan seakan dengan segudang uang, setumpuk deposito, berkilogram emas, adalah ukuran kecukupan menurut kita. Sehingga kita lupa kepada siapa kita bermohon rejeki. Dalam berburu rejeki yang kita minta kepadaNya, kita justru melupakanNya.

Kita memohon diberi petunjuk tetapi dengan pongahnya tetap menetapkan cara kita sendiri dalam mengatasi setiap persoalan. Ikhlas merupakan istilah yang tabu. Kita berbangga diri dengan kepandaian yang kita miliki, dengan pendidikan setinggi langit yang kita raih, dengan gelar sarjana, doktor, professor yang kita punya. Siapakah kita jika bukan berkat karuniaNya, sementara ilmu yang diberikan Tuhan kepada manusia hanyalah setetes air di samudera yang maha luas, sungguh tiada berarti. Takkan sanggup ilmu kita yang secuil itu mengatasi persoalan hidup yang demikian banyak kecuali dengan petunjukNya.

Kita memohon agar diberi kesehatan karena kita tidak berdaya mempertahankan kesehatan. Demikian lemahnya manusia, untuk menepis sakit flu saja tidak mampu. Bagaimana bisa banyak di antara kalangan dokter yang mengingkari fakta bahwa kesehatan kita adalah karuniaNya, bukan berkat obat-obatan yang dijualnya. Padahal dapat dikatakan merekalah golongan manusia yang berkesempatan menyaksikan langsung kebesaran Tuhan melalui segala ihwal manusia ciptaanNya. Kita beranggapan kesehatan identik dengan panjang umur, namun banyak diantara kita yang memohon umur panjang agar dapat bebas melanjutkan perbuatan menumpuk dosa, aib dan perbuatan mudharat lainnya di sisa hidup kita ini. Belum ada kilatan niat untuk memperbanyak ibadah, mulai melaksanakan amar makruf, nahi munkar, sementara detik demi detik kematian kian menjelang. Marilah kita berdoa agar diberikan usia yang berkah, bukan yang panjang.

Kita berdoa, “Ya Allah maafkan aku. Maafkan untuk segala kelemahanku, untuk segala kekuranganku”, bahkan kita berani meminta maaf untuk segala kesengajaan kita berbuat dosa. Kita juga meminta maaf untuk ketiadaan waktu untuk menghadapNya lima kali sehari, untuk bersyukur karena dengan rahmatNya kita dengan bebas menghirup oksigen yang disediakannya secara cuma-cuma. Kita meminta maaf karena belum bisa berkomitmen dengan kebenaran. Maaf…maaf…dan hanya maaf yang bisa kita ucap.

Sesungguhnya tidak cukup sekedar kata maaf, permohonan ampun atau tobat kepada Sang Maha Kuasa tanpa disertai niat untuk mengubah diri. Marilah kita bermohon kepada Allah swt agar diberi kekuatan untuk dapat segera hijrah menuju ridhaNya. Amin.

Rasuna, 4 Maret 2011
Nela Dusan

No comments: