03 March 2011

SUJUDLAH, SEBAGAIMANA DIPERINTAHKANNYA IBLIS UNTUK BERSUJUD KEPADA ADAM

Seringkali kita mendapati situasi dimana kita harus bersedia menerima kenyataan yang kita tidak sukai, misalnya, berurusan dengan orang yang pernah menzalimi kita, berhubungan kembali dengan orang yang pernah menghancurkan hidup kita, menerima seseorang kembali ke dalam lingkungan kita padahal orang itu pernah membuat kita sangat marah pada suatu masa.

Sebenarnya apa yang kita tidak terima dari orang itu, orangnya, perilakunya atau situasinya kah yang membuat kita merasa tidak lagi bisa menerimanya? Sikap ketidaksukaan kita pada seseorang biasanya lahir dari suatu peristiwa yang mungkin menyakitkan bagi kita. Misalnya jika dulu kita pernah punya atasan yang ‘kejam’ sehingga membuat kita keluar dari kantor yang lama saking tidak tahan menghadapi orang tersebut, dan kita sempat bertekad tidak mau lagi bertemu dengan orang tersebut sampai kapanpun. Contoh lainnya, jika seorang istri atau suami mendapati pasangan hidupnya menghianati kepercayaan dan kehormatan mereka, tentunya menjadi pengalaman yang traumatis dan sangat sulit untuk dimaafkan apalagi dilupakan. Banyak kasus terjadi dimana perkawinan itu berakhir dengan perpisahan atau perceraian yang tentunya memakan korban, sekurangnya, anak-anak hasil perkawinan tersebut. Contoh lainnya lagi, misalnya kita mempunyai saudara yang barangkali karena keegoisannya membuat hidup kita menjadi tidak nyaman, hingga terjadi percekcokan di antara saudara yang berakhir dengan putusnya silaturahmi antar saudara. Demikian pula halnya antar sahabat, sangat mungkin terjadi perselisihan paham antara beberapa orang yang bersahabat, bisa karena hal yang prinsip, bisa juga karena hal yang sangat sederhana.

Alasan prinsip atau sederhana bisa jadi hal sangat subyektif, akan tetapi sebenarnya dapat kita ukur berdasarkan norma-norma kepatutan dan norma agama, dalam hal ini tentunya berdasarkan Al Quran dan Hadits bagi kaum muslimin. Kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan yang sering kita alami tentunya turut berperan membentuk watak dan sifat kita saat ini.

Satu hal yang paling berpengaruh terhadap cara kita bereaksi dan berinteraksi paska kejadian yang menyakitkan tadi adalah kekerasan hati. Dalam haditsnya Rasulullah mengatakan bahwa Allah tidak menyukai orang yang keras hati, karena kekerasan hati menjauhkan orang tersebut dari Allah. Kekerasan hati membuat kita tidak mampu menerima kebenaran dan cenderung menyalahkan atau meremehkan orang. Sungguh buruk efek dari keras hati karena perilaku tidak mau menerima kebenaran dan meremehkan orang identik dengan sifat sombong.

Tentunya kita semua sudah mengetahui kisah yang disebutkan dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 34 dan Surat Al Kahf ayat 50 mengenai kejadian diperintahkannya Malaikat dan Iblis untuk bersujud kepada Adam oleh Allah SWT, Malaikat tanpa komentar langsung melaksanakan perintahNya, namun Iblis menolak. Betapa nekatnya Iblis, itu selalu menjadi komentar saya dalam hati setiap kali mengingat atau membaca ayat Al Quran tersebut. Iblis menolak dengan mendalilkan asal muasal bahan ciptaannya, dia diciptakan dari api sedangkan Adam ‘hanya’ dari tanah yang hina. Bagi Iblis cukuplah alasan itu baginya menolak perintah Allah, Sang Maha Pencipta, yang juga menciptakan dirinya juga, sangat ironis bukan. Bagaimana mungkin Iblis berpikir menolak perintah bersujud kepada mahluk yang lebih hina darinya merupakan suatu tindakan yang hak, sementara dia sangat tahu bahwa yang memerintahkannya adalah Allah yang telah menciptakannya juga, Sang Maha Kuasa. Mari kita renungkan kisah sensasional penolakan Iblis atas perintah Allah yang mengakibatkan dirinya tercerabut dari Surga dan tidak akan pernah kembali lagi ke Surga.

Sebelum terjadinya ‘insiden’ penolakan tersebut konon Iblis juga merupakan hamba Allah yang taat. Namun, hanya melewati satu ujian kecil dari Allah ia tak mampu. Jika kita pikirkan lagi, apa sebenarnya yang menyulitkan atau menghalangi Iblis dari sujud yang diperintahkan atasnya tersebut? Kiranya jawabannya adalah kesombongan yang mengakibatkan kekerasan hati. Jika Iblis tidak mengikuti kata hatinya yang sombong, tentunya dia akan bersegera memenuhi perintah Allah tersebut, jika Iblis tidak mempertahankan kekerasan hatinya, tentunya dia akan sangat mendengarkan perintah Allah dan melaksanakannya karena begitulah cara kita membuktikan ketaatan kita kepadaNya. Bagaimana mungkin Iblis berpikir menaati Allah, menjadi hambaNya yang patuh, sementara sikapnya menentang.

Kadang dalam hidup ini, hubungan antar manusia saja bisa diwarnai dengan ajang pembuktian kepatuhan, yang sederhana adalah jika kita ingin menjadi warga negara yang baik, maka mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara itu menjadi suatu kewajiban kita dan membawa implikasi hukum terhadap setiap pelanggaran yang kita lakukan.

Jadi, kembali kepada kisah Iblis versus Adam tadi, jika saja Iblis menuruti perintah Allah, tentunya kita semua tidak akan pernah terlempar keluar Surga, karena Adam tidak akan sampai diperdaya Iblis untuk mendekati pohon terlarang yang mengakibatkan murkanya Allah. Jika Iblis berpikir sehat, tentunya dia tahu ketaatan kepada Allah sang pemberi perintah derajatnya jauh lebih tinggi daripada rasa terhinanya karena harus bersujud pada manusia yang diciptakan dari tanah. Allah murka kepada Iblis bukan karena sakit hati Adam tidak mendapat penghormatan dari Iblis, tetapi karena Allah tidak memperoleh pembuktian ketaatan hambanya, dalam hal ini Iblis. Ketaatan manusia dan jin kepada Allah Sang Khalik adalah mutlak dan tanpa syarat. Hal itu disampaikan oleh Allah dalam Al Quran Surat Adz Dzaariyaat ayat (56), bahwa tidak dijadikan jin dan manusia selain untuk menyembahNya.

Dalam kehidupan kita sehari-hari kadang kita menemui kisah serupa dengan kisah Iblis dan Adam tadi. Seorang istri atau suami merasa demikian bencinya untuk menerima pasangannya yang dianggap berkhianat, padahal pasangannya itu sudah meminta maaf. Memang tidak mudah bagi kita untuk melalui pengalaman yang menyakitkan seperti itu. Hampir semua dari kita pernah mengalami ujian atau cobaan dalam hidup. Sesungguhnya Allah sudah memperingatkan kita akan adanya ujian tersebut. Jika kita menyadari bahwa setiap ujian atau cobaan yang datang kepada kita adalah atas ijin Allah, maka tentunya kita pun harus bisa menerima setiap hal yang terkait di dalamnya. Setiap ujian atau cobaan dari Allah hanya bisa diselesaikan berdasarkan keikhlasan, ketaklukan semata kepada Allah, lantas kenapa kita tidak bersedia menuntaskannya dengan menetapkan sendiri syarat-syarat yang kita anggap bisa diterima atau menyenangkan diri kita?

Yang saya maksud adalah setiap ujian pasti ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Hikmah itu hanya dapat kita peroleh jika kita berusaha merenunginya, mengoreksi diri. Keberanian untuk jujur kepada diri kita sendiri insya Allah menghasilkan hasil perenungan yang memberikan pencerahan diri. Kadang kita lupa bahwa mungkin sikap-sikap kita selama ini kurang pas, meremehkan orang lain, sombong, menganggap diri paling sempurna, menganggap diri paling utama, merasa yakin paling dicintai, dsb. Semua sikap itu terus kita pertahankan hingga datang waktunya Allah mengubah segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Satu saat kita berada di puncak kemegahan, kekuasaan, kejayaan dan kekayaan, detik lain kita terpuruk di tempat yang terendah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Situasi itulah yang melahirkan ungkapan ‘roda berputar’. Keberhasilan seorang manusia melewati ujian adalah ditandai dengan perubahan dalam sikapnya, jika semula sombong maka ia berubah menjadi rendah hati, jika semula ia seorang yang sangat kasar dan keras hati maka menjadi menjadi lembutlah hatinya, segala hal yang mengarah pada kebaikan dan bermanfaat; dan meninggalkan semua yang mudharat.

Melampaui suatu ujian berarti pula menerima segala konsekuensinya. Salah satu dari konsekuensi itu adalah melanjutkan hidup dan berhubungan kembali dengan orang atau pihak yang sebelumnya mungkin bermusuhan dengan kita. Kerelaan kita untuk menerima suatu konsekuensi adalah harus berdasarkan kesadaran untuk menaati perintah Allah yang menurut pandangan saya bisa kita sebut sebagai ‘underlying obligation’. Jika menyangkut menerima kebenaran, kita harus bisa menundukkan kesombongan karena adanya ‘underlying obligationnya’ adalah kita tidak boleh sombong, terdapat Hadits yang mengatakan bahwa tidak akan pernah seseorang masuk surga jika masih ada kesombongan dalam hatinya.

Jika menyangkut memaafkan orang, barangkali silaturahim merupakan salah satu kelanjutan dari proses memaafkan seseorang. Silaturahim diwajibkan oleh Allah, Rasulullah mengatakan pula keutamaan dari silaturahim dalam beragam hadits sehingga jika terjadi benturan antara harga diri, ego, perasaan sakit hati, terhina, dsb dengan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh Allah swt atas kita, maka yang manakah yang harus kita utamakan?

Secara naluriah, setiap manusia akan menarik diri, melindungi dirinya dari sakit hati, wujudnya bisa jadi menolak untuk bertemu dengan orang yang bersangkutan, bahkan memilih untuk memutus tali silaturahim demi memuaskan nafsu amarahnya. Dalam kondisi demikian, manusia cenderung melupakan bahwa menaati perintah Allah adalah prioritas, melebihi haknya untuk melindungi dirinya dari sakit hati. Sebagaimana sakitnya hati seorang istri yang harus merelakan suaminya berpoligami dengan seorang pelacur, misalnya. Bagaimana dia harus bisa menerima kenyataan hidup berdampingan dengan perempuan nista yang barangkali derajatnya jauh dibawahnya.

Sedikit menyinggung lebih jauh mengenai masalah poligami, terlepas dari penyalahgunaan lembaga poligami oleh kaum muslim sendiri yang pada prakteknya saat ini lebih banyak ditujukan untuk melegitimasi nafsu hewani, terbukti dengan betapa banyaknya proses poligami itu sendiri yang dimulai dengan penghianatan dan perzinahan yang sama sekali bertentangan dengan ketentuan Al Quran, baik hal tersebut dilakukan oleh manusia yang buta agama maupun oleh seorang ahli ibadah, menunjukkan penodaan terhadap lembaga poligami yang sakral yang sebenarnya justru sangat melindungi kepentingan perempuan muslim dalam kedudukannya sebagai istri pertama atau istri-istri yang sudah ada sebelumnya.

Sungguh ironis, lembaga poligami justru sering ditentang oleh perempuan yang datang belakangan yang dibuktikan dengan tuntutan menceraikan istri pertama sebelum si laki-laki bisa meminangnya. Banyak kita temui, laki-laki muslim yang tanpa alasan menceraikan istrinya demi menuruti permintaan kekasih gelapnya itu, meskipun ia tahu dia dapat memilih berpoligami dan sang istri itu pun sudah memberikan ijin untuk poligami. Banyak lelaki muslim yang tidak bertanggung jawab atau (pura-pura) tidak mengerti tanggung jawabnya sebagai suami dan bapak dari anak-anaknya dengan repot-repot membina rumah tangga baru dengan perempuan ‘idaman’nya sementara buah hatinya hancur berantakan. Kebahagiaan apa yang hendak dicapai dengan cara demikian, sungguh tragis bukan.

Kadang manusia membodohi dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dengan poligami dia melakukan ibadah kepada Allah swt seakan-akan poligami menjadi suatu kewajiban yang melampaui segudang kewajibannya yang sudah ada dan belum tentu telah dia tunaikan dengan baik sebagai seorang suami yang sah terhadap istrinya yang sah berdasarkan pernikahan yang suci. Bahkan kadang para lelaki muslim yang bersikeras melaksanakan poligami justru melakukan hal-hal yang menzalimi istri pertamanya beserta anak-anak mereka. Bagaimana mungkin suatu perbuatan yang diklaim sebagai amal ibadah yang berlandaskan iman dan ketakwaan kepada Allah swt sementara perbuatan itu sendiri justru dipenuhi kezaliman.

Seseorang yang bertakwa dan beriman kepada Allah pastilah lembut hatinya dan tidak ada kemampuan untuk berbuat zalim kepada orang lain apalagi kepada darah dagingnya sendiri. Semua itu bisa terjadi hanya karena kebanyakan manusia melakukan poligami dalam kondisi kesesatan yang nyata. Bagaimana tidak, apakah mungkin seorang yang beriman dan bertakwa berani melakukan perzinahan? Apakah mungkin perzinahan yang dilakukannya luput dari azab Allah sehingga selanjutnya membuatnya terjebak dalam kesesatan? Keputusan seperti apa yang diambil oleh seseorang dalam keadaan kesesatan yang nyata, tentunya keputusan yang sangat jauh dari ridha Allah.

Poligami adalah suatu pintu exit yang semestinya digunakan hanya apabila terjadi kondisi darurat dan kondisi darurat itupun sudah diatur secara jelas dalam Al Quran dan Hadits. Setiap pelanggaran terhadap tata cara poligami itu serta motif atau alasan di belakangnya pasti wajib dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Maha Adil.

Kembali lagi kepada masalah ketaklukan kita kepada Allah, betapapun sakit hati kita, jika kita sudah memutuskan untuk menjalani suatu ujian berdasarkan keikhlasan kepada Allah, maka hendaknya kitapun siap pula untuk ikhlas menerima setiap konsekuensinya. Salah satu bentuk konsekuensi dari ujian keikhlasan dalam hal poligami adalah menerima perempuan ‘murahan’ yang sudah memporakporandakan rumah tangga seorang istri pertama itu ke dalam kehidupan keluarga mereka. Dapat dibayangkan betapa sulitnya seorang istri pertama untuk menerima kenyataan harus berbagi suami dengan perempuan yang telah menghancurkan keluarganya, bisa jadi ia seorang pelacur berdasarkan profesinya maupun karena perbuatannya. Dalam situasi yang sangat sulit tersebut, mari kita bayangkan situasi pada saat mana Iblis yang menolak perintah sujud kepada Adam. Iblis menolak perintah Tuhan karena merasa derajatnya lebih tinggi, padahal yang memerintahkannya adalah Sang Khalik sendiri. Demikian halnya dengan situasi yang dihadapi seorang istri pertama yang relatif merasa derajatnya lebih tinggi dari perempuan simpanan suaminya, jika dia sudah ikhlas dengan poligami, maka semestinya persoalan dengan siapa dia berbagi suami sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi. Bukan berarti dia merasa takut kepada suaminya atau tidak berdaya menghadapi desakan istri muda suaminya itu, namun ia hanya takut jika Allah menganggap dia tidak ikhlas menerima ketetapanNYa, sebab jika dia tidak bisa mengikhlaskan dia dapat memilih untuk bercerai yang mana meskipun tidak disukai oleh Allah namun diperkenankan.

Jika kita mengedepankan harga diri, sakit hati, martabat kita sehingga kita berani melanggar ketetapan Allah, naudzubillah, jangan sampai kisah durhakanya Iblis kepada Allah menjadi terulang oleh kita sendiri. Sujud dalam konteks ujian setiap manusia adalah menerima ketetapan Allah berikut semua konsekuensinya dengan lapang dada yang didasarkan pada keikhlasan.

Allah memiliki hak prerogatif dalam menetapkan setiap ujian atau cobaan bagi tiap-tiap hambaNya, semuanya tidak lain untuk kebaikan kita sendiri, Allah Maha Kaya, tidak ada kebutuhan apapun dariNya kepada kita. Semua ujian didatangkan kepada kita hanya untuk menaikkan derajat kita sendiri di mataNya. Masing-masing kita memiliki tanggung jawab sendiri yang harus kita pertanggungjawabkan pada saat hari pembalasan kelak. Dalam situasi saat ini banyak kita temui orang-orang yang sedang tersesat dan orang-orang itu besar kemungkinannya bersinggungan dengan kita dalam suatu masa dalam bentuk konflik.

Setiap ujian selalu diberikan berpasangan, seburuk apapun perlakuan yang kita peroleh dari seseorang dan jika kita memaafkannya serta mengikhlaskan sakit hati dan ketidakberdayaan kita itu semata kepada Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik, sungguh tidak ada kerugian sedikitpun bagi kita. Meskipun pasangan cobaan kita berbuat zalim, namun jika dia menyadari perbuatannya dan memperoleh hidayah serta bertobat kepadaNya, niscaya Allah mengabulkan tobatnya tersebut. Jika yang bersangkutan tidak pernah memperoleh hidayah sekalipun, janji Allah kepada orang yang berbuat zalim dan sesat adalah pasti. Tidak pun di dunia ini kita menyaksikan balasannya terhadap orang-orang tersebut, perhitungan Allah tidak pernah meleset sedikit pun.

Bersikap ikhlas adalah ibaratnya meminum obat untuk mengobati penyakit kita, jika kita yang meminum obat, kita pula yang akan mengalami kesembuhan. Demikian pula halnya dengan ikhlas, jika kita yang memilih ikhlas, maka kita pula yang terhindar dari sakit hati. Keikhlasan kita menerima suatu cobaan dalam bentuk kezaliman seseorang kepada diri kita, tidak sekalipun mengurangi bobot kezaliman orang itu di mata Allah. Jika ikhlas adalah penawar sakit hati dari kezaliman atau ujian, maka tobat adalah satu-satunya obat dari perbuatan zalim. Kezaliman seseorang wajib dipertanggungjawabkan sampai yang bersangkutan bertobat kepada Allah dan Allah menerima tobatnya tersebut. Semoga kita semua masih sempat bertobat sebelum malaikat maut memisahkan nyawa dari raga kita.

Renungan ini sekedar pengingat bagi kita semua, terutama bagi diri saya sendiri. Menyadari betapa lemahnya kita sebagai manusia dan sedemikian gencarnya Iblis beserta pasukannya, baik dari kalangan jin sendiri maupun dari kalangan manusia, ada baiknya kita senantiasa saling mengingatkan, nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Semoga Allah swt selalu melindungi kita semua dari godaan setan yang terkutuk. Amin ya rabbal alamin.


Rasuna, 9 April 2010

Nela Dusan

No comments: