27 September 2010

Cermin Kehidupan di Jalan Raya

Pernahkah kita sadari betapa dalamnya filosofi kehidupan yang dapat kita temui di jalan raya. Bagi saya jalan raya seakan berbicara banyak mengenai hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Sambil menyetir atau duduk di kursi penumpang pikiran saya seakan tidak terbendung lagi mengembara sejenak.

Jalan raya adalah sebuah analogi kehidupan yang sangat menarik untuk direnungkan. Barangkali hampir semua orang menganggap jalan raya hanyalah rute rutin yang wajib ditempuh dan sangat membosankan. Sebenarnya banyak hal menarik yang bisa kita petik sebagai suatu pelajaran hidup yang dapat kita tangkap jika kita mengaktifkan mata batin kita.

Salah satu pelajaran yang dapat kita petik adalah situasi lalu lintas di jalan tol. Kadang kita menemui kendaraan yang berjalan lambat namun ngotot bertahan di jalur paling kanan. Kita semua tahu bahwa jalur kanan adalah jalur yang disediakan untuk kendaraan yang lebih cepat agar dapat melampaui kendaraan yang lebih lambat. Semestinya kendaraan yang ingin atau hanya mampu melaju dengan kecepatan lebih rendah dengan sukarela memilih atau berpindah ke lajur kiri atau tengah. Namun, kenyataan yang kita lihat tidak demikian. Kerap kita temui kendaraan dengan kecepatan tanggung justru berada di jalur paling kanan dan tetap bertahan di jalur tersebut meskipun kendaraan di belakangnya sudah memberikan isyarat berupa menyalakan lampu beam sesekali atau bahkan sampai menyalakan klakson tanda meminta jalan. Saya pribadi sering menyaksikan sendiri betapa pengendara kendaraan yang lambat tersebut tetap bertahan tidak mengindahkan isyarat yang kita berikan. Akhirnya demi kelancaran, saya harus mencari jalan dengan berpindah ke jalur yang ada di sebelah kiri, ironis bukan, untuk melampaui suatu kendaraan lambat di jalur kanan, kita harus berpindah ke jalur kiri yang semestinya disediakan untuk kendaraan yang lebih lambat.

Saya sering membayangkan kendaraan seperti itu tidak ubahnya seorang pemimpin yang sebenarnya tidak memiliki kualitas seorang pemimpin namun ngotot ingin duduk di posisi sebagai pemimpin. Jika kita analogikan jalur kanan atau jalur cepat itu sebagai kursi pemimpin, maka kita sering menemui kenyataan dimana seseorang yang tidak cakap bersikeras ingin disebut pemimpin. Jika di jalan raya kadang kita temui kendaraan yang berjalan lambat disebabkan setidaknya dua faktor, yaitu (1) umur kendaraan atau kondisi kendaraan yang sudah uzur atau tidak dalam keadaan laik jalan; (2) secara phisik kendaraan tersebut masih baru namun kualitas pengendaranya sangat tidak cakap, entah tidak punya nyali untuk menekan pedal gas lebih dalam lagi, entah memang tidak memahami aturan main di jalan tol atau jalan raya, atau lebih parah lagi barangkali, memang menjadi ketetapan hatinya untuk bertahan di jalur kanan dan merasakan kepuasaan ketika menyaksikan dari kaca spionnya betapa panjang iringan kendaraan yang mengikuti di belakang mobilnya.

Sederhananya umur atau phisik kendaraan mewakili kesehatan jasmani seorang pemimpin sedangkan kecakapan pengendara menggambarkan mental atau jiwa kepemimpinan seseorang. Di jalan raya sudah terbukti bahwa tidak selalu kendaraan terbaru dan mewah merupakan kendaraan yang paling terampil menggunakan jalan raya. Banyak kendaraan yang memenuhi kedua syarat tersebut berjalan bak model di catwalk, terkadang sangat membuat saya geram. Demikian pula halnya dengan kehidupan politik di Negara kita ini, banyak orang-orang yang ngotot ingin memimpin negeri ini padahal sama sekali tidak punya kemampuan phisik dan mental. Di samping mental pemimpin yang masih plin plan, kita belum menemukan seorang pemimpin yang mampu membawa kita menjadi suatu bangsa yang memiliki visi. Sebagai konsekuensi dari kendaraan yang berjalan lambat, tentunya cepat atau lambat akan disusul oleh kendaraan lain. Demikian halnya mengenai posisi seorang pemimpin, jika tidak mampu membaca aspirasi rakyat, akan terjadi pengambilalihan posisi. Namun berbeda dari situasi jalan raya dimana jika kita ingin menyalib suatu kendaraan yang lambat, kita tinggal mencari peluang di jalur yang lainnya, kehidupan politik tidak sesederhana itu. Ada perangkat alat kekuasaan yang digunakan untuk mengamankan kekuasaan, sekedar menjaga posisi ‘kendaraan’ yang lambat itu agar tidak disalib kendaraan lain yang supirnya lebih cakap.

Orang-orang yang seperti itu menganggap diri mereka terlalu tinggi. Mereka terobsesi menjadi seorang pemimpin tanpa paham bagaimana mestinya seorang pemimpin sejati bersikap. Pemimpin sejati harusnya terampil menggunakan kekuasaannya untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan, bukan golongan apalagi pribadi. Namun sebelumnya, cita-cita itu harus diciptakan dulu dalam bentuk visi nasional yang semua orang Indonesia menerimanya dan berusaha untuk mewujudkannya. Jadi visi itu harus dimulai dari sang pemimpin itu sendiri. Sama halnya dengan seorang supir, dia harus memahami kemampuan kendaraan yang disetirnya, berapa kecepatan maksimum yang dipunyai, berapa bahan bakar yang tersisa, dan apa saja manuver yang bisa dilakukan oleh kendaraan yang dikemudikannya itu serta yang terpenting adalah memahami kapan dia harus menepi ke jalur yang lebih lambat untuk memberikan ruang bagi kendaraan lain yang mampu berlari lebih cepat darinya, semua demi keselamatan semua orang.

Jika kita lihat kehidupan politik dan bernegara di Indonesia saat ini, sangat mengingatkan kita pada kondisi jalan raya yang dipenuhi pengemudi yang sangat tidak cakap yang kebetulan penghasilannya membuatnya mampu untuk membeli kendaraan yang paling gress sekalipun. Secara sinis kadang saya menyebut kondisi seperti itu dengan istilah kemampuan ekonomi yang tidak didukung dengan kecerdasan sosial. Sungguh menggemaskan memang menyaksikan jalan raya dipenuhi oleh orang-orang yang tidak mempunyai skill berkendara yang memadai. Akibatnya jalanan menjadi kurang lancar dengan tumpah ruahnya pengendara mobil bodoh yang pongah. Jangan-jangan mereka sebenarnya bukan pula termasuk golongan yang patut memiliki kemampuan ekonomi untuk membeli kendaraan itu sekali pun, asal usul uang pembeli kendaraan juga menjadi pertanyaan. Makanya tidak heran, mental tetap primitif meskipun kemampuan ekonomi sangat mapan.

Membandingkan kehidupan berpolitik Negara Indonesia dengan jalan raya, bisa kita lihat persamaan selanjutnya. Kemampuan keuangan seseorang mampu membeli suara konsituennya, entah bagaimana caranya. Bahkan saat ini sudah ada suatu alat bantu politik yang telah membuktikan keampuhannya mendongkrak dan menjamin perolehan suara dalam setiap pilkada dan pemilu yang telah lampau. Jadi bagi para pemimpin karbitan itu yang terpenting adalah memiliki uang untuk menyumpal banyak mulut agar dirinya terpilih. Karena modalnya untuk menjadi seorang pemimpin mengandalkan uang, maka tidak heran orientasinya yang paling utama setelah terpilih adalah bagaimana cara yang paling cepat untuk memperoleh uang. Jika demikian kenyataan yang ada secara umum, lantas apalagi yang tersisa bagi kepentingan rakyat jelata seperti kita ini? Pemimpin yang seperti itu hanyalah pemimpin kualitas sampah yang tidak akan membawa manfaat bagi bangsa dan negaranya, malahan hanya akan mendatangkan mudharat demi mudharat. Seorang pemimpin semestinya mempunyai orientasi dunia dan akhirat karena pada akhirnya dia wajib mempertanggungjawabkan tindak tanduk serta keputusannya di hadapan Yang Maha Kuasa. Agaknya hal ini sudah diisyaratkan oleh Rasulullah sebagai salah satu tanda datangnya kiamat yaitu dimana seorang yang tidak memiliki kecakapan dipilih sebagai seorang pemimpin.

Hal lainnya yang dapat kita petik dari jalan raya adalah kerap kali kita temui iring-iringan kendaraan sampai berpuluh bahkan beratus meter. Kadang kita menyimpulkan bahwa terjadi kemacetan di depan kita. Jika saja kita punya kemampuan melihat seolah sedang menaiki suatu helikopter atau yang biasa disebut helicopter view, tentunya kita bisa mengetahui bahwa iring-iringan kendaraan yang kita sebut kemacetan itu sebenarnya hanya disebabkan oleh satu truk kontainer raksasa yang berjalan sangat lambat yang diikuti oleh kendaraan truk gandeng yang membawa plat baja yang beratnya berton-ton. Bisa kita bayangkan, karena ulah dua kendaraan yang berjalan super lambat tersebut telah mengakibatkan kemacetan sampai ratusan meter di belakang mereka. Jika menemui kondisi jalan seperti itu, maka sebagian dari kita secara naluriah akan mencoba mencari peluang agar dapat menyalib mobil yang ada di depan kita, dengan tetap memperhatikan keamanan dan keselamatan tentunya. Sering kali setelah melampaui kendaraan demi kendaraan yang menghalangi jalan di depan kita, akhirnya kita berhasil mengatasi iring-iringan tersebut dengan menyalib kendaraan penyebab kelambatan tersebut, misalnya kontainer atau truk gandeng atau sekedar mobil pribadi yang tidak laik jalan atau supirnya tidak cakap tadi.

Setelah melampaui krisis tersebut kita menemukan betapa jalan raya atau jalan tol di depan kita terbentang kosong. Jika demikian, maka kita dapat segera memacu kendaraan dengan kecepatan yang kita inginkan. Dengan cara demikian kita dapat mencapai suatu tempat tujuan dengan cara yang cepat. Kuncinya adalah efisiensi, bukan melulu masalah kecepatan yang digantungkan pada kinerja kendaraan kita. Mobil kita bisa jadi sedan atau SUV mewah keluaran pabrikan papan atas, bermodalkan mesin 2000 bahkan 3000 CC, namun kita tidak punya inisiatif untuk mencari peluang mendahului kendaraan di depan, maka kehebatan kinerja kendaraan itu menjadi terbuang percuma. Memang pada akhirnya dalam situasi demikian, the man behind the gun-lah yang berperan.

Saya bukan bermaksud membahas skill berkendara tetapi saya tergelitik ingin mengajak kita semua merenungkan iring-iringan di jalan raya yang kerap kita temui tersebut. Jika kita analogikan dengan kehidupan, iring-iringan kendaraan seperti itu menggambarkan krisis demi krisis yang kerap kita hadapi dalam hidup. Kadang kita larut dalam krisis tersebut, hasilnya kita tidak kunjung berhasil melampaui ujian hidup yang diberikan Sang Khalik kepada kita. Jika ujian itu diberikan kepada kita agar kita naik kelas, maka ketidakmampuan kita menyelesaikan ujian tersebut akan membuat kita terus menerus dalam kondisi yang sama, bahkan frustrasi. Dalam bayangan saya, krisis di jalan raya harus kita tempuh dan lalui, hasilnya ada jalan yang lancar di ujung sana. Sungguh sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam Surat Asy-Insyirah (Alam Nasyrah) yang berarti melapangkan, QS 94:5, “sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” lantas kenapa kita meragukannya?

Allah sudah memberikan petunjuk yaitu “dalam setiap kesulitan, pasti ada kemudahan”. Allah memberikan ujian kepada kita agar iman kita bertambah kuat kepadaNya. Pada saat kita diuji sesungguhnya pada saat itu puncak hubungan kita dengan sang Pencipta terjadi, Allah membukakan hijabnya kepada kita. Oleh karena itu memang sudah semestinya kita membuka doa kita dengan rasa syukur, dan semakin bersyukur pada saat kita menyadari betapa kita tengah dalam keadaan diuji olehNya. Bagi saya, cukuplah janjiNya bahwa kita akan menemukan kemudahan dibalik kesulitan yang kita hadapi. Untuk menemukan dan sampai pada kemudahan tersebut syaratnya hanya satu yaitu, jalani ujian tersebut agar dapat segera sampai di ujung sehingga kita dapat memperoleh kemudahan yang dijanjikan. Sebagaimana halnya dengan analogi ‘krisis’ di jalan raya tadi, kita tidak akan sampai pada kondisi jalan yang lowong jika kita tidak berupaya mencari peluang mendahului kendaraan yang ada di depan kita satu persatu.

Sikap yang hendaknya dimiliki oleh setiap orang yang sedang mengalami krisis kehidupan, apapun itu, adalah yakin bahwa Allah akan memberikan kemudahan setelah kita melampui kesulitan yang ada. Keyakinan bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian kepada seseorang melainkan orang yang bersangkutan sanggup memikulnya (QS 2:286) semestinya membuat kita sadar bahwa ujian yang diberikan kepada kita sudah dirancang sedemikian rupa sehingga pasti tepat bagi kita dan kita pasti mampu mengatasinya, dengan izinNya tentunya. Kadang kita menyaksikan orang-orang yang di sekitar kita yang dalam keadaan diuji. Sebagian mereka mengambil jalan pintas, memohon bantuan kepada manusia lain, sebagian lagi ngotot dengan pola pikirnya yang dianggapnya tepat untuk mengatasi persoalan atau ujian hidupnya saat itu. Sebagian dari kita ada yang merasa amat bangga dengan kemampuan intelektualnya, pendidikannya yang tinggi dianggapnya secara otomatis memampukannya mengatasi persoalan hidupnya, padahal kita semua tahu, meski banyak hal dapat diterangkan oleh logika, namun diperlukan kecerdasan nurani yang bersumber di kalbu yang bersemayam di hati kita untuk menyelesaikan banyak persoalan hidup. Orang seperti ini ibaratnya pengemudi yang masih belia yang belum cukup akal dan pertimbangannya namun mengendarai mobil sekelas Porsche, Ferrari, Maserati atau mobil-mobil kelas satu lainya. Mereka mampu bergerak sangat cepat namun sayangnya tidak mempunyai arah tujuan yang jelas. Sungguh sia-sia.

Ada juga orang yang langsung menyadari dan memohon ampun kepada Sang Maha Kuasa yang akibat kesalahannya sendirilah maka Allah mendatangkan ujian tersebut. Harus kita ingat bahwa sesungguhnya Allah tidak pernah menganiaya hambaNya, sesungguhnya hambaNya sendirilah yang membiarkan dirinya teraniaya. Sebagian dari kita menyikapi ujian yang dihadapi dengan rasa marah, merasa tidak sepatutnya mengalami ujian yang maha berat tersebut, bahkan berani menantang Tuhan dengan bersikap lebih durhaka terhadap ketetapanNya. Jika caranya saja masih salah, bagaimana mungkin kita mengharapkan diri untuk naik kelas.

Keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan atau ujian hidup baik yang ringan maupun yang berat adalah keterampilan berserah diri kepada Allah, menyadari sepenuhnya kelemahan kita, mengingat kekhilafan kita, memohon ampunan serta menyatakan tobat atas kesalahan dan dosa kita kepadaNya. Allah itu Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang, Maha Pengabul Doa, kenapa kita memilih melalui cara yang berliku dan berbatu tajam dengan resiko terhempas di tempat yang paling hina dalam hidup ini, sementara kita punya pilihan yang sangat mudah untuk menyelesaikan masalah yang kita hadapi, secara gratis pula. Semua cukup dengan membawa diri kita yang dalam keadaan porak poranda, jiwa yang compang camping, menghadap Sang Pencipta dalam shalat, dalam doa, bermunajat kepadaNya, memohonkan petunjuk hanya kepadaNya. Jangan kita lupa betapa manusia mahluk yang lemah, yang kadang tidak berdaya menghadapi hawa nafsu yang bergelora.

Diperlukan kecerdasan hati untuk menangkap petunjuk dari Allah swt selanjutnya kita menggunakan akal pikiran kita menindaklanjuti petunjuk tersebut. Dalam Mutiara Ayat yang termuat dalam Al Qur’an Bayan disebutkan penjelasan perihal sifat penghuni neraka dalam surat Al A’raaf ayat 179 yaitu bahwa manusia diberi akal pikiran oleh Allah untuk merenungkan diri pribadinya dan alam semesta ini. Orang yang diberi Allah petunjuk ialah orang yang dapat mempergunakan akal pikiran itu, sedangkan orang yang sesat ialah orang yang salah mempergunakannya. Selanjutnya disebutkan ciri orang yang sesat ialah orang yang tidak mempergunakan daya pikirnya, perasaannya dan kemauannya serta inderanya sesuai dengan fitrahnya.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Ibnu Mas’ud ra. Dari Rasulullah saw, beliau bersabda:

Apa pun yang menimpa seseorang, baik kesusahan maupun kesedihan lalu dia berdoa: Ya Allah, sungguh aku adalah hambaMu anak dari hambaMu (bapak) dan anak dari hambaMu (ibu). Ubun-ubunku berada di tanganMu. KeputusanMu padaku telah berlalu. KetetapanMu padaku pasti adil. Aku memohon padaMu dengan setiap namaMu yang Engkau sebut untuk diriMu atau Engkau turunkan dalam kitabMu atau Engkau ajarkan pada seseorang di antara makhlukMu atau Engkau simpan dalam pengetahuan gaib milikMu agar dengan Al Qur’an, Engkau menjadikan hatiku bersemi, dadaku bercahaya, kesedihanku hilang dan kesusahanku lepas. Maka pasti allah akan menghilangkan kesedihan dan kesusahannya dan akan menggantinya dengan kegembiraan.” Lalu Rasulullah ditanya: “Ya Rasulullah, bolehkan saya mempelajarinya?” beliau menjawab: Tentu, hendaknya seseorang yang mendengarkan doa ini harus mempelajarinya.” (Tafsir Ibnu Kasir: II, h.269) diambil dari Al Qur’an Bayan.

Dengan mengembalikan segala urusan kita kepada Allah swt, kita telah menyelesaikan seluruh persoalan kita. Bukanlah slogan omong kosong seperti yang menjadi slogan pemimpin karbitan “serahkan pada ahlinya” yang tidak pernah menjadi kenyataan. Menyerahkan segala urusan kepada Allah merupakan penyerahan urusan ke tangan Sang Ahlinya, insya Allah kita diberi petunjuk untuk melewati ujian hidup yang dihadapi sehingga kita berhasil mencapai ujung ujian dan menemukan kemudahan yang dijanjikan dibalik setiap kesulitan. Upaya kita yang terpenting adalah bermunajat dan mengikuti petunjuk yang diberikanNya. Jika kita tidak pernah memohon kepadaNya bagaimana mungkin kita memperoleh petunjuk. Jika kita tidak memiliki petunjuk dalam menghadapi kesulitan atau ujian hidup, kita akan menjadi segerombolan hewan ternak yang tersesat. Hasilnya, bukan kemudahan yang ditemukan malahan kesulitan demi kesulitan yang kian menjerat hidup kita. Jika kita berpegang pada tali selain tali Allah, maka kita akan mengalami kekecewaan, namun jika kita bertekad untuk hanya berpegang pada tali Allah, maka Allah akan menjadi pelindung kita, Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong (Hasbunallah wa Ni’amal Wakil Ni’amal Maula wa ni’amal Nasir”) QS: 22.78, demikianlah sikap takwa yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika menghadapi situasi yang sulit sekali. Setelah kita memahami betapa lemahnya kita sebagai manusia, sebagaimana dicontohkan oleh sikap tawakkal Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, lalu kenapa kita bisa merasa diri terlalu hebat sehingga tidak merasa perlu meminta pertolongan dan perlindungan dariNya.

Marilah kita semua menyingkirkan perasaan jumawa dari hati kita masing-masing, karena sebiji kesombongan sudah cukup menjauhkan kita dari Tuhan kita, menjadi hijab yang menghalangi antara hamba dengan Pemiliknya. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala melindungi kita semua dan senantiasa mencurahkan hidayahnya kepada kita selamanya. Amin ya rabbal ‘alamin.

Rasuna, 18 September 2010

Nela Dusan

Sifat-sifat penghuni neraka yang disebutkan dalam Surat Al A’raaf:

[7.179]

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

No comments: