29 August 2009

Malu KepadaMu



Setahun beberapa hari telah berlalu sejak saya melantunkan doa dan permohonan ampun yang menjadi hadiah hari jadi ke 40, doa kepada Sang Maha Pengasih. Berusaha menjalani sisa hidup yang diberikan Allah kepada saya dengan penuh syukur merupakan niat di dalam hati meskipun terkadang angin yang menghembus di sepanjang sisa perjalanan hidup ini demikian lembut dan menyejukkannya hingga dapat membuat saya terlena, namun kadang juga demikian kerasnya menerpa hingga sanggup membuat oleng atau dapat menumbangkan diri saya.

Lebih 40 tahun perjalanan hidup seorang manusia, tentunya banyak menorehkan catatan dalam buku kehidupan. Sebagian merupakan catatan pribadi saya sendiri, sebagiannya lagi merupakan pengamatan terhadap teman, sahabat, keluarga, saudara bahkan orang-orang yang termasuk kategori ‘musuh’ sekalipun. Saya mempunyai banyak teman, sahabat dan saudara yang selalu ingin saya pelihara hubungan baik dengan mereka, karena mereka turut memberikan ketentraman bagi saya, menambahkan arti dalam hidup saya. Meskipun demikian, tidak ada daya upaya saya untuk mengubah keadaan apabila suatu persahabatan, pertemanan atau bahkan persaudaraan sekalipun telah bertransformasi menjadi suatu permusuhan, kecuali jika memang Allah menghendaki sebaliknya.

Persoalan demi persoalan hidup menyertai kemana kita pergi, selama hayat dikandung badan adalah istilah klise yang kita kenal sejak kita kecil melalui salah satu lagu anak-anak yang menjadi hapalan kita ketika kecil.

Dalam satu titik terendah hidup ini saya mendapati betapa Allah menyayangi diri saya, betapa beruntungnya saya mendapatkan cobaan yang ketika itu seolah merupakan beban yang saya tidak sanggup memikulnya. Padahal Allah selalu mengatakan tidak akan datang suatu cobaan kepada seseorang kecuali ia sanggup memikulnya. Saat itu kalimat semacam itu terdengar sebagai sindiran, pelecehan, meledek jiwa yang sedang compang camping saat itu. Bagaimana mungkin kita sanggup? Kadang kita merasa kemampuan mengatasi persoalan hanya dimiliki oleh seorang alim, ulama, orang suci, yang pasti bukan kita. Kita lupa, alim ulama, orang suci, nabi, rasul juga orang biasa. Semua mengalami ujian atau cobaan hidup. Lantas, apa yang menjadikan mereka berbeda dengan kita ketika mengalami suatu ujian atau cobaan yang diberikan Allah?

Ketika mengalami ujian dalam hidup ini, saya sampai pada satu titik dimana ilmu yang selama ini saya ‘bangga-bangga’kan sungguh tidak mampu memberikan solusi bagi persoalan saya. Melalui perenungan yang panjang, melewati malam yang penuh amarah sampai isak tangis, sedu sedan keputusasaan seorang mahluk yang sungguh tidak berdaya, saya mendapati lagi jalan kembali kepadaNya. Alhamdulillah, kesulitan hidup yang pernah saya alami justru mempertemukan kembali saya dengan Sang Pencipta yang berkenan mencurahkan hidayahnya kepada saya.

Tahapan yang dilalui oleh seorang manusia ketika mengalami ujian dalam hidupnya biasanya sama. Dimulai dengan kenyataan yang tidak menyenangkan, kecewa, marah, murka, mengingkari kenyataan, menyalahkan keadaan, orang lain, bahkan berani menyalahkan Tuhannya. Proses tersebut terus berlanjut dan berlangsung dalam waktu yang sangat beragam, ada yang singkat ada yang lebih lama bahkan ada yang selamanya hingga akhir hayatnya dia tidak berhasil mengatasi ujian yang dihadapi, naudzubillah. Dalam satu titik terdapat persamaan dalam cara menyikapi persoalan yang dihadapi, yaitu sedih, marah atau kecewa. Namun, terdapat perbedaan hasil dari ujian tiap-tiap manusia, ada yang memperoleh kesuksesan tapi banyak pula yang berakhir dengan kehancuran. Sementara Allah telah mengingatkan, setiap orang yang mengaku beriman tidak akan luput dari cobaan, mengapa kita bisa lupa?

Saya menangkap terdapat benang merah dari segala bentuk ujian, apakah menyangkut pekerjaan, keluarga, penyakit, kemiskinan atau kekayaan sekalipun. Benang merah itu adalah perlawanan dalam diri kita. Kita lebih senang berjuang melawan ujian yang datang kepada kita sekuat tenaga kita. Memusuhi takdir yang sedang mendatangi kita berdasarkan pengetahuan yang ada pada kita padahal pengetahuan kita yang secuil itu sungguh tidak akan mampu mengatasinya.

Dalam fase perlawanan tersebut, kita sering melupakan suatu sikap yang justru dikehendaki Allah dari setiap umatnya, yaitu sikap bersyukur. Allah sangat menyenangi orang-orang yang bersyukur, orang-orang yang bisanya tidak cuma melantunkan tuntutan demi tuntutan dalam doanya. Orang yang mengawali keluh kesah, permohonan doanya dengan menyatakan syukur kepada Sang Rabb.

Bersyukur atas segala yang telah kita miliki, bersyukur atas segala keterbatasan yang kita miliki, bersyukur atas segala cobaan yang menghampiri. Sebenarnya kita sudah mengetahui betapa Allah menyukai orang yang bersyukur bahwa Allah akan menambah lagi kenikmatan demi kenikmatan kepada setiap orang yang bersyukur [QS: 14.7]. Allah akan mengurangi beban cobaan kita jika saja kita mau bersyukur.

Kadang cara kita untuk menyelesaikan suatu masalah justru membuat masalah tersebut jadi tambah runyam. Padahal apa yang diinginkan Allah hanyalah, kita mendatangiNya, tafakur, menyatakan syukur, memohon ampun dan meminta petunjukNya. Sesederhana pertanyaan Allah yang berulang kali tercantum dalam surah Ar Rahman, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Kalimat yang diulang-ulang tersebut merupakan pertanyaan sekaligus pengingat agar hendaknya kita memiliki rasa malu kepada Sang Maha Pemberi Karunia sebelum kita melanjutkan sikap protes kita. Dengan cara seperti itu agaknya proses yang tadinya berlarut-larut bisa dipersingkat. Jika saja kita mau merendahkan diri dan menundukkan hati kita di hadapan Sang Khalik, tidak perlu kita membiarkan hati kita berdarah-darah, keluarga kita porak poranda dalam waktu yang tidak jelas kapan berakhirnya.

Hal lain yang saya dapati ketika mengalami ujian dalam hidup ini adalah kenyataan betapa lemahnya diri kita. Ketidakberdayaan tersebut dapat mendekatkan diri kita kepada Allah namun dapat pula justru menjauhkan kita dariNya. Maksud saya, kadang dikarenakan rasa tidak berdaya, kita mencari penolong dari sesama golongan manusia, misalnya seorang lawyer untuk menuntut, seorang dokter untuk berobat, seorang kekasih untuk melipur lara, mengalihkan segala persoalan dengan suami atau istri kita, seorang pengedar narkoba untuk melenakan jiwa, seorang polisi untuk menakuti lawan, dan segudang profesi lainnya yang kita anggap mampu menolong kita.

Kadang memang sudah syariatnya kita mengambil jalan demikian, jika kita dituntut seseorang, maka kita memerlukan advokat untuk maju ke pengadilan, jika kita sakit, tentunya kita memeriksakan diri kepada dokter, semacam itu. Namun, kadang dalam mencari solusi, kita menjadi berkelebihan. Dalam menegakkan keadilan kita dapat menzalimi orang lain. Dalam mencari kebenaran justru kita memalsukan fakta yang sebenarnya. Memang fitrahnya seorang yang dilanda kesulitan merasakan kesempitan dan terkadang rasa frustrasi memberikan kita dasar pertimbangan dan dasar pembenaran yang menyesatkan.

Pada saat saya mengalami ujian dalam hidup saya, saya sampai pada tahap kontemplasi, merenung, kenapa Allah mendatangkan cobaan yang demikian berat kepada saya. Apa yang hendak disampaikanNya kepada saya. Pertanyaan itu terus menerus memenuhi hati dan pikiran saya. Akhirnya saya memahami kesalahan-kesalahan yang saya lakukan yang menghantarkan saya pada kesulitan tersebut. Banyak bentuk kesalahan yang kita tidak sadari, mungkin sikap yang terlalu percaya diri merupakan wujud dari sikap takabur yang tidak diridhai Allah, sikap riya, tinggi hati atau sombong, sungguh meracuni jiwa. Jika kita membaca sejarah para nabi sejak Adam hingga Rasulullah, belum pernah ada satupun kesombongan suatu bangsa yang menang melawan Allah, semua berakhir dengan kemusnahan, kehancuran. Lantas, apa yang membuat kita, umat akhir zaman yang telah berani bersikap sombong ini, luput dari murka Sang Pencipta?

Melalui tahap kontemplasi saya menemukan betapa kecilnya diri ini di mata Tuhan Yang Maha Perkasa, betapa tidak ada daya upaya kita yang berhasil tanpa persetujuannya. Allah Al Malikul Mulk, Maha Penguasa Semesta, tidak membutuhkan seonggok upeti yang biasa dimintakan pejabat korup kepada korbannya; ataupun perempuan bayaran yang diumpankan pengusaha bejat kepada pejabat hidung belang demi memuluskan bisnisnya. Allah tidak membutuhkan semua itu bahkan Allah tidak merasakan kerugian sedikit pun sekalipun kita membelakangiNya sama sekali. Justru kita sendiri yang membutuhkan Allah, kita yang merasakan kerugian dari tindakan kita yang mendurhakaiNya [QS: 27.40]. Kedurhakaan kita kepada sang Maha Pencipta hanya membuat diri kita semakin tersesat dalam rimba belantara kehidupan.

Tahap kontemplasi adalah tahap yang kritikal, sungguh penting, yang harus kita lalui menjelang memperoleh petunjuk mengenai solusi yang diharapkan. Satu sikap dasar yang wajib ada dalam diri setiap orang yang melakukan perenungan adalah kepasrahan. Pasrah merupakan wujud dari pernyataan keikhlasan jiwa kita. Ikhlas menerima ujian, ikhlas merasakan sakit, ikhlas menerima ketidakadilan, ikhlas menerima kenyataan. Jika kita mau berpikir dan merenung sejenak, intisari dari segala bentuk ujian yang menghampiri setiap manusia berujung pada satu hal yang sama yaitu keikhlasan.

Semua ujian mendatangkan rasa sakit yang sama, kekecewaan yang sama bagi setiap orang yang merasakannya. Masing-masing orang yang tengah diuji menganggap ujiannyalah yang terberat, padahal jika kita mau sedikit menoleh ke sekitar kita, barangkali ujian kita hanya seujung kuku dari ujian yang diterima orang lain tersebut. Namun, kita demikian bersikukuh, menganggap ujian yang kita hadapi lebih meyedihkan, menyeramkan dan demikian tidak tertahankan dibandingkan dengan segenap ujian penduduk bumi ini. Jika saja kita mau merenung, sebenarnya yang menjadi persoalan mendasar dalam setiap ujian dalam hidup ini tidak lebih dari persoalan yang menyangkut keikhlasan.

Melalui tahap perenungan semestinya kita sanggup memetakan masalah yang tengah kita hadapi dan berusaha mencari akar masalah yang sebenarnya. Menyelesaikan suatu persoalan yang bukan dari akarnya hanyalah memperpanjang persoalan itu sendiri tanpa ada kejelasan solusi. Ibaratnya seorang dokter yang tidak mengerti apa yang salah dari seorang pasiennya, mencobakan segala metode, jenis obat, melalui simptom-simptom yang ditunjukkan oleh si pasien. Menyembuhkan seorang pasien hanya berdasarkan symptom tanpa berusaha mencari penyebab munculnya symptom tersebut adalah sama saja dengan mencoba menyelesaikan suatu persoalan dari akibat. Bisa dipastikan dokter tadi akan gagal mengobati pasiennya sebagaimana gagalnya seseorang jika mencari penyelesaian berdasarkan akibatnya, bukan sebab dari segala akibat.

Seharusnya dalam merenung, kita harus berani jujur terhadap diri kita sendiri karena hanya modal kejujuran tersebutlah kita mampu menemukan inti persoalan yang harus kita selesaikan. Kadang sulit bagi sebagian kita untuk bersikap jujur, karena kita tahu kejujuran itu tidak menyenangkan hati kita, bahkan lebih sering bertentangan dengan keinginan dan harapan kita. Pada saat kita berani untuk jujur mengkoreksi diri, menyerahkan persoalan kepada Allah, memohonkan penyelesaian kepada Yang Maha Adil tersebutlah sesungguhnya kita baru mendapati kondisi hati kita yang dilandasi keikhlasan. IKHLAS merupakan bentuk penghambaan kita yang tertinggi kepada Sang Pencipta. Kata yang terdiri dari enam huruf tersebut menuntut pengorbanan total dalam diri kita yang pada akhirnya membawa kita hijrah kembali kepadaNya.

Seluruh ujian apapun bentuknya mendatangkan rasa sakit, dalam hal ini sakit hati, yang luar biasa kepada yang mengalaminya. Mari saya tanyakan satu pertanyaan sederhana kepada kita semua. Mulai dari semua industry farmasi canggih yang ada saat ini sampai dengan pengobatan alternatif, pengobatan herbal, tradisional, dan sebagainya, pernahkan manusia berhasil menemukan suatu obat yang dapat mengobati sakit hati, dalam pengertian kalbu, yang diderita manusia? Saya yakin jawabannya hanya gelengan kepala alias tidak ada. Manusia tidak mampu menemukan obat tersebut karena hanya Allah yang memilikinya. Tidak ada sakit hati yang bisa sembuh tanpa kita mengikuti resep yang dituliskan oleh Allah bersama dengan setiap ujian yang kita hadapi itu. Pada saat Allah mendatangkan ujian, sesungguhnya dalam ujian tersebut sudah diberikan kunci jawabannya atau obatnya yang bernama IKHLAS.

Ikhlas merupakan pernyataan ketaklukan mutlak kita kepada Allah, kerelaan kita menjadikan Allah satu-satunya penolong dan pelindung, sebagaimana halnya dengan doa Nabi Ibrahim dalam puncak kepasrahannya menghadapi cobaan yang dihadapinya [QS: 4.45]. Melalui segala cobaan yang diberikanNya Allah hendak berkata kepada kita agar kita melepaskan pegangan kepada tali-tali selain tali Allah dan dengan segenap keyakinan kita berpegang hanya kepada taliNya. Tali Allah tidak akan pernah mengecewakan kita karena pada saat kita memutuskan untuk berpegang pada tali Allah [QS: 22.78], saat itu pulalah kita berhasil mencapai tahap keikhlasan. Ikhlas menjalani ujian atau cobaan, ikhlas merasakan rasa sakit, dan ikhlas menerima ketetapan Allah atas persoalan, cobaan atau ujian hidup kita tersebut. Pada akhirnya kita berhasil keluar dari persoalan yang membelit tersebut dan jiwa kita terbebas dari rasa sakit.

Tiga elemen penting dalam hidup yang senantiasa harus kita pelihara adalah mempertahankan hidayah, membangun sikap bersyukur dan ikhlas. Dalam pandangan saya, Hidayah ibarat pelampung bagi seseorang yang terapung-apung di samudera, parasut bagi seorang penerjun payung. Syukur sebagai penetralisir kekecewaan kita, pengingat betapa masih banyak kenikmatan lainnya yang kita miliki disamping kesulitan yang sedang menghadang. Dan akhirnya, Ikhlas, jihad yang kita lakukan demi memperolah ridha Allah dan menerima ketetapanNya.

Jika kita sampai pada tahap keikhlasan, tanpa sadar kita telah menemukan jati diri kita yang baru. Menjadi orang yang berhasil bertransformasi, dari seorang penuntut menjadi seorang yang bersyukur, seorang yang sempit hatinya menjadi orang yang sangat lapang hatinya. Jika saat itu terjadi berarti kita baru saja berhasil hijrah kembali ke jalanNya.

Semoga sharing saya ini dapat memberikan manfaat buat kita semua dan jika ada kata-kata yang tidak berkenan mohon kiranya dimaafkan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua. Amin.

Rasuna, 29 Agustus 2009
Nela Dusan

No comments: